Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku Dimana (Karya M. Nasir Bako)

Puisi “Aku Dimana” karya M. Nasir Bako bercerita tentang pengalaman eksistensial seseorang dalam memaknai dirinya, terutama saat berhadapan dengan ...
Aku Dimana

Sebuah gelas bening terlihat
Tinggi di angkat putih bercahaya
Di isi air penuh memuat
Tak ada sifat kalau diterka

Apa berisi di dalam padat
Jauh terlihat tak tau sama
Karna menyatu sama berkilat
Tidak terhambat kotoran tiada

Saat ku hampa tinggalkan jasad
Kala ku sadar terpisah dua
Saat menyatu Aku dengan Zat
Fanalah jasad aku dimana

Hancur lebur seluruh jasad
Tiada tempat Tiada rasa
Begitu asyik di dalam lezat
Itu ibarat air dan kaca.

2 September 2009

Analisis Puisi:

Puisi “Aku Dimana” karya M. Nasir Bako adalah refleksi filosofis dan spiritual yang mengajak pembaca menyelami perenungan mendalam tentang eksistensi, kehadiran, dan kefanaan manusia. Dengan struktur sederhana namun makna yang berlapis-lapis, puisi ini menyajikan perbandingan metaforis antara jasad dan roh, serta antara zat dan wujud dalam semesta. Dalam struktur 4 bait, masing-masing 4 baris, puisi ini membawa kita menuju perenungan yang mendalam tentang siapa kita sebenarnya dan di mana “aku” sejati berada ketika tubuh ini sudah tak lagi menjadi tempat tinggal.

Tema

Tema utama puisi ini adalah eksistensi dan kefanaan. Penulis mengeksplorasi hubungan antara jasad (tubuh fisik), ruh (jiwa atau zat sejati manusia), dan pencarian identitas spiritual yang hakiki. Lewat imaji sederhana namun dalam, penyair menyampaikan bahwa keberadaan manusia bukan hanya terletak pada tubuh yang terlihat, tapi pada sesuatu yang lebih halus, lebih menyatu dengan asal-muasal penciptaannya.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman eksistensial seseorang dalam memaknai dirinya, terutama saat berhadapan dengan kefanaan. Penyair menggunakan perumpamaan gelas bening berisi air untuk menggambarkan hubungan antara wujud dan esensi. Ketika tubuh tak lagi menjadi pusat kesadaran, "aku" bertanya: Aku dimana?.

Dalam bait ketiga dan keempat, puisi berubah nada dari deskriptif menjadi reflektif—berbicara tentang momen ketika jiwa terlepas dari jasad dan mengalami "kesatuan dengan Zat", yang dalam tafsir spiritual dapat dimaknai sebagai pertemuan dengan Tuhan. Ini memperlihatkan bahwa keberadaan sejati manusia tidak bisa ditemukan melalui indera biasa, tapi melalui perjalanan batin dan pencerahan ruhani.

Makna Tersirat

Secara makna tersirat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dimensi terdalam dari keberadaan manusia. Bahwa yang disebut "aku" sejati bukanlah tubuh yang bisa dilihat, disentuh, atau diukur, melainkan sesuatu yang tak kasat mata: jiwa atau ruh yang menyatu dengan realitas tertinggi.

Kiasan tentang gelas bening berisi air menjadi simbol dari keberadaan yang tak terpisahkan antara wadah dan isi, antara jasad dan ruh. Namun begitu air (esensi) keluar, gelas menjadi kosong. Sama halnya ketika ruh keluar dari tubuh, tubuh menjadi fana dan kehilangan makna. Dengan itu, puisi ini menyiratkan bahwa identitas manusia bukanlah apa yang tampak secara fisik, tetapi sesuatu yang lebih dalam dan transenden.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang dominan dalam karya ini meliputi:
  • Diksi: Kata-kata yang digunakan sederhana namun mengandung makna spiritual dan filosofis seperti “zat”, “hampa”, “jasad”, “berkilat”, “fanalah”.
  • Gaya bahasa: Penuh simbol dan kiasan, menunjukkan kedalaman kontemplatif penulis.
  • Struktur: 4 bait masing-masing 4 baris, yang menjadikan puisi ini padat namun dalam.

Imaji

Meskipun tidak eksplisit memunculkan gambaran alam atau benda secara deskriptif, puisi ini membentuk imaji filosofis dan simbolik yang kuat. Beberapa contoh:
  • “Gelas bening terlihat” dan “diisi air penuh memuat” membentuk imaji visual yang sederhana namun melambangkan makna mendalam tentang wadah dan isi (jasad dan ruh).
  • “Hancur lebur seluruh jasad” menciptakan imaji kehancuran total, menunjuk pada kematian fisik.
  • “Begitu asyik di dalam lezat” memberikan imaji rasa—menunjukkan kenikmatan spiritual saat jiwa terlepas dari tubuh dan menyatu dengan sumber sejatinya.

Majas

Puisi ini sangat kaya dengan majas yang memperkuat kedalaman maknanya:

Metafora:
  • Gelas dan air sebagai metafora jasad dan ruh.
  • Air dan kaca pada baris terakhir sebagai metafora kesatuan tak terlihat antara wujud dan zat.
Personifikasi:
  • Fanalah jasad aku di mana—seakan jasad bisa hilang dan penanya masih hidup untuk bertanya, memberikan personifikasi kepada eksistensi ruhani.
Paradoks:
  • Aku menyatu dengan Zat, fanalah jasad — menyatunya sesuatu yang fana dengan yang kekal adalah paradoks spiritual yang sering muncul dalam literatur mistik.
Simbolisme:
  • Cahaya putih, zat, lezat, air dan kaca—semua ini menyimbolkan kehadiran spiritualitas, kenikmatan ilahiah, dan kebeningan eksistensial.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hening, reflektif, dan mistis. Ada ketenangan dalam kata-kata, namun juga kedalaman emosional yang menyelimuti bait-baitnya. Tidak ada ratapan, tidak ada ketegangan—yang ada hanyalah perenungan tenang seorang jiwa yang mengerti bahwa hidup dan mati bukanlah ujung, tapi kelanjutan dari pencarian “aku”.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan amanat bahwa manusia hendaknya tidak terjebak dalam identitas fisik semata, karena keberadaan sejatinya adalah ruh atau zat yang lebih halus dari tubuh. Dalam kehidupan yang penuh keraguan dan ketidakpastian, hanya dengan mengenal "zat" diri dan menyatu dengannya, manusia akan mencapai keutuhan makna hidup.

Pesan lainnya adalah agar kita merenungi makna hidup dan kematian, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kebeningan hati. Karena sebagaimana air di dalam gelas, saat menyatu dengan kaca ia tak terlihat, tetapi tetap ada. Demikian pula jiwa kita dalam dimensi yang lebih tinggi.

Puisi “Aku Dimana” karya M. Nasir Bako adalah contoh karya sastra kontemplatif yang menyederhanakan filsafat eksistensi menjadi baris-baris puitis yang bersahaja. Ia tak memerlukan metafor rumit untuk menyampaikan perenungan mendalam tentang kehidupan dan kematian. Melalui kiasan air, gelas, zat, dan jasad, penyair mengajak kita merenungkan di mana letak “aku” sejati.

Apakah kita hanya sebentuk tubuh yang terlihat? Atau kita adalah sesuatu yang tak tampak tapi tetap ada—seperti air yang menyatu dalam kaca? Melalui puisi ini, M. Nasir Bako tak memberi jawaban mutlak, tapi membuka ruang bagi kita untuk bertanya dalam hati: Aku... di mana sebenarnya aku?

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Aku Dimana
Karya: M. Nasir Bako
© Sepenuhnya. All rights reserved.