Analisis Puisi:
Puisi “Arjuna Menikahi Fortuna” karya Lasinta Ari Nendra Wibawa menghadirkan tafsir baru atas tokoh legendaris Arjuna dari wiracarita Mahabharata. Alih-alih digambarkan sebagai ksatria ideal yang tak terkalahkan, dalam puisi ini Arjuna tampil sebagai sosok manusiawi yang lelah oleh kutukan, pengorbanan, dan beban takdir. Ia mendambakan keberuntungan tanpa konsekuensi, dan menyesali bahwa tiap kejayaan selalu disertai dengan luka dan kehilangan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah konflik batin antara takdir kepahlawanan dan keinginan akan hidup yang damai. Arjuna, simbol ksatria Mahabharata yang penuh tugas dan peperangan, digambarkan mulai mempertanyakan makna kemenangan yang selalu diikuti duka. Puisi ini mengeksplorasi kegelisahan eksistensial seorang pahlawan yang letih oleh jalan takdirnya sendiri.
Puisi ini bercerita tentang Arjuna yang dalam liris puitisnya menyatakan keinginannya untuk “menikahi Fortuna”—dewi keberuntungan Romawi yang identik dengan kebahagiaan, kelimpahan, dan nasib baik. Dalam puisi ini, Arjuna mengandaikan betapa lebih baik hidupnya jika ia tidak perlu menikahi Drupadi, Srikandhi, atau Sembadra—istri-istri yang masing-masing membawa konsekuensi politik, perang, dan penderitaan—melainkan menikahi Fortuna yang bisa memberinya karunia tanpa syarat, seperti kornukopia, tanduk keberlimpahan.
Melalui narasi tersebut, penyair menunjukkan dilema Arjuna: di satu sisi ia adalah kesatria yang harus mematuhi tugas dan peran ilahiah, tetapi di sisi lain ia adalah manusia yang menginginkan hidup sederhana, penuh cinta, dan terbebas dari pengorbanan demi orang lain.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini cukup kompleks dan menyentuh banyak aspek:
- Penolakan terhadap glorifikasi kepahlawanan: Arjuna yang diangkat dalam epos sebagai pahlawan agung justru di sini mengkritisi hidupnya sendiri. Ia menganggap keberuntungannya sebagai kesatria tidak benar-benar membuatnya bahagia—karena selalu dibarengi kutukan, kematian, dan perpisahan.
- Sindiran terhadap takdir yang kejam: Arjuna menyebut pengorbanan dan tugasnya sebagai ksatria sebagai sesuatu yang lebih banyak mendatangkan penyesalan dibanding kemuliaan. Ia bahkan menyindir ajaran Bhagawadgita—yang dalam Mahabharata merupakan pedoman luhur dari Kresna tentang kewajiban dan dharma—sebagai “berbuah penyesalan”.
- Refleksi manusia modern terhadap nasib: Arjuna dalam puisi ini dapat dibaca sebagai simbol siapa pun yang merasa terjebak dalam sistem yang menuntut pengorbanan terus-menerus, namun jarang memberi ruang untuk kebahagiaan pribadi.
- Kritik terhadap sistem patriarki kepahlawanan: Penolakan terhadap peran sebagai "lelaki sejati" ditunjukkan dengan ironi ketika Arjuna menyebut dirinya pernah harus menjadi banci (dalam penyamaran saat pengasingan), dan betapa semua keperkasaannya pada akhirnya hanya menjadi beban.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah penuh kelelahan batin, getir, dan reflektif. Puisi ini dibalut dengan nuansa kontemplatif dan tragis, namun juga diselipi sindiran yang cerdas dan pahit. Tidak ada heroisme yang dielu-elukan di sini—yang ada hanyalah renungan dari seorang kesatria yang ingin melarikan diri dari gelar dan beban yang selalu melekat padanya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan penyair bisa dibaca dalam beberapa lapis:
- Bahwa keberuntungan sejati bukanlah kemenangan, melainkan kedamaian.
- Bahwa pengorbanan terus-menerus demi tugas, dharma, atau kebanggaan tidak selalu berujung pada kebahagiaan.
- Bahwa kesatria, pahlawan, atau siapa pun yang selalu dipuja karena kekuatan dan keberanian, adalah manusia yang juga bisa merasa lelah dan ingin keluar dari perannya.
- Bahwa kehidupan yang sederhana, jauh dari perang, lebih pantas dirayakan dibanding ambisi besar yang selalu mengorbankan rasa manusiawi.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji kuat yang menyentuh sisi mitologi, epos, dan dunia modern secara bersamaan:
- “Kutukar panah pasupati dengan keberuntunganmu” – membangkitkan bayangan tentang Arjuna yang siap meninggalkan senjata sakti demi hidup yang lebih tenang.
- “Pijakanmu bola bulat bak kasih yang padat” – menyiratkan keberuntungan sebagai sesuatu yang konkret, padat, dan menyeluruh.
- “Langit hastinapura tentu akan hujan” – memberi gambaran suram bahwa meski langit tampak cerah, kehancuran dan perang tetap tak terhindarkan.
- “Putraku sibuk menggembala domba sambil membaca buku” – kontras yang indah dan ironis dari dunia Kurusetra yang penuh darah, menandakan keinginan untuk hidup sederhana dan berpendidikan.
- “Berperan banci di pengasingan yang maha sunyi” – imaji yang menggambarkan betapa menyedihkannya peran yang harus dijalani demi sebuah harga diri yang semu.
Majas
Puisi ini sarat dengan majas-majas artistik dan bermakna dalam:
- Metafora: “Menikahi Fortuna” sebagai kiasan untuk menginginkan hidup yang penuh keberuntungan dan bebas dari beban.
- Ironi: Banyak bagian puisi menyampaikan gagasan bertentangan, seperti ksatria hebat yang ingin menjadi petani, atau pahlawan perang yang justru mendambakan kedamaian total.
- Hiperbola: “Langit hastinapura tentu akan hujan”, “hutan kandawa yang ditakdirkan musnah dilalap api”, untuk menggambarkan besarnya penderitaan akibat perang.
- Personifikasi: “Putra bernama kesempatan” memberi gambaran bahwa kesempatan adalah sesuatu yang hidup dan berharga, seakan bisa dipelihara seperti anak.
Puisi “Arjuna Menikahi Fortuna” karya Lasinta Ari Nendra Wibawa adalah puisi kontemporer yang menghidupkan kembali tokoh epik Mahabharata dengan sudut pandang baru—manusiawi, getir, dan penuh kritik terhadap sistem nilai tradisional. Tema yang diangkat adalah kerinduan akan kedamaian dan kebebasan dari takdir heroik yang penuh luka.
Puisi ini bercerita tentang Arjuna yang ingin menukar segalanya demi keberuntungan dan hidup yang biasa-biasa saja, tanpa perang, tanpa perintah dewa, dan tanpa tragedi. Dalam makna tersiratnya, puisi ini menyerukan pertanyaan eksistensial tentang apa makna menjadi pahlawan jika pada akhirnya tak ada kebahagiaan sejati.
Dengan imaji dan majas yang kaya, serta suasana reflektif yang kuat, puisi ini menjadi kritik lembut sekaligus perenungan mendalam tentang kehidupan, nasib, dan keinginan manusia untuk lepas dari belenggu peran-peran yang dibebankan oleh dunia, mitologi, dan sejarah.
Karya: Lasinta Ari Nendra Wibawa
