Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ayam Aduan (Karya Rahman Arge)

Puisi “Ayam Aduan” karya Rahman Arge bercerita tentang seorang tokoh (aku lirik) yang terganggu oleh kokok ayam aduannya di malam hari, lalu ...
Ayam Aduan

Jam duabelas lewat lima
Tengah malam. Ayam aduaaku
berkokok dalam kandang. Mengusik
sepi yang menghadangku di pintu
tidur.

Jam delapan pagi besoknya
Di saat ia tengah diadu. Kularikan
diri sembunyi di antara patuk, kelepak-kelepak
sayap serta terjangan kaki-kakinya.
Sesaatpun jadi terlupa
sepi yang berketerusan diadu
dengan diriku.


Makassar, 1970

Sumber: Horison (Desember, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi "Ayam Aduan" karya Rahman Arge tampak sederhana dari segi struktur dan narasi, namun menyimpan perenungan eksistensial yang dalam. Melalui metafora seekor ayam aduan dan peristiwa di sekitarnya, puisi ini berbicara banyak tentang kesepian, pelarian, dan konflik batin manusia dalam menghadapi dunia yang keras.

Tema

Tema utama puisi ini adalah konflik batin manusia terhadap kesepian dan pencarian pelarian sesaat dari penderitaan. Ayam aduan bukan sekadar binatang peliharaan, melainkan simbol dari pertarungan yang terus-menerus terjadi dalam diri manusia—baik melawan kesepian, kekerasan, maupun tekanan hidup.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan makna tersirat tentang bagaimana manusia terkadang mencari pelarian emosional bahkan dalam kekerasan dan penderitaan makhluk lain. Sang penyair, yang merasa dihantui oleh sepi saat malam, justru menemukan "pelarian" dari sepinya dengan menyaksikan ayamnya diadu esok paginya. Tapi ironisnya, perkelahian itu justru merefleksikan konflik batinnya sendiri.

Dengan kata lain, ayam aduan menjadi simbol dari diri penyair sendiri, yang dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit dan terus-menerus "diadu" oleh keadaan hidup.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh (aku lirik) yang terganggu oleh kokok ayam aduannya di malam hari, lalu keesokan paginya, ayam tersebut diadu. Dalam pertarungan itu, si “aku” justru menyembunyikan diri di balik kegaduhan dan kekerasan, seolah ia ingin melarikan diri dari kesepiannya sendiri. Dalam hingar-bingar aduan, sepi itu terlupakan sesaat—tapi hanya sesaat.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah gabungan antara kesunyian malam dan hiruk-pikuk brutal pertarungan pagi. Malam terasa sunyi dan personal, sementara pagi dipenuhi dengan kegaduhan, ketegangan, dan kekerasan dari arena aduan. Kontras inilah yang memperkuat ketegangan batin tokoh "aku".

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap cara manusia menghadapi kesepian atau penderitaan batin—yakni dengan mencari pelarian yang terkadang destruktif. Penyair tampaknya ingin mengatakan bahwa mengalihkan penderitaan dengan menyaksikan penderitaan lain bukanlah solusi, melainkan cermin dari kondisi psikologis yang rapuh.

Selain itu, puisi ini juga menyentil sisi empati terhadap hewan, khususnya dalam praktik adu ayam yang bukan hanya menyiksa binatang, tapi juga menyimbolkan kebrutalan yang kita pelihara dalam budaya kita sendiri.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditori yang sederhana namun tajam:
  • “Jam duabelas lewat lima / Tengah malam. Ayam aduaaku / berkokok dalam kandang” → imaji waktu dan suara kokok ayam yang mengganggu keheningan malam.
  • “patuk, kelepak-kelepak sayap serta terjangan kaki-kakinya” → visual kekerasan dan dinamika adu ayam tergambar jelas.
  • “sepi yang menghadangku di pintu tidur” → metafora yang menciptakan imaji abstrak, namun kuat, akan kesepian yang membayangi.
Imaji-imaji ini membuat puisi terasa hidup dan menghadirkan pengalaman batin yang konkret.

Majas

Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
  • Personifikasi: “sepi yang menghadangku di pintu tidur” — sepi digambarkan seperti makhluk hidup yang bisa menghadang, menambah efek dramatis dari sunyi malam.
  • Metafora: “sepi yang berketerusan diadu / dengan diriku” — menyamakan sepi dengan lawan tanding yang terus menghajar tokoh “aku”.
  • Ironi: Ayam aduan—makhluk yang menderita karena dipaksa bertarung—menjadi tempat pelarian dari penderitaan batin manusia. Ini bentuk ironi emosional yang menggugah.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang dapat dikenali di sini:
  • Diksi: Kata-kata seperti “berkokok”, “patuk”, “kelepak-kelepak”, dan “terjangan” menggambarkan suasana adu ayam secara konkret.
  • Tipografi: Dibagi dalam dua bagian waktu—malam dan pagi—menegaskan perubahan suasana dan konflik yang berkembang.
Puisi “Ayam Aduan” karya Rahman Arge adalah puisi pendek yang berhasil menyampaikan kedalaman emosional dan refleksi sosial dengan cara yang simbolik dan sederhana. Ayam aduan bukan hanya binatang peliharaan, tapi simbol dari pertarungan batin manusia, dari pelarian terhadap kesepian yang menyakitkan. Dalam hingar kekerasan, justru pembaca diajak bertanya: siapa yang benar-benar sedang diadu di sini—ayam itu ataukah jiwa manusia itu sendiri?

Puisi ini adalah pengingat halus tapi menggugah tentang bagaimana manusia menghadapi penderitaan dalam dirinya sendiri, dan sejauh mana kita sanggup mencari jalan yang lebih manusiawi untuk menghadapinya.

Rahman Arge
Puisi: Ayam Aduan
Karya: Rahman Arge

Biodata Rahman Arge:
  • Rahman Arge (Abdul Rahman Gega) lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Juli 1935.
  • Rahman Arge meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 2015 (pada usia 80).
  • Edjaan Tempo Doeloe: Rachman Arge.
© Sepenuhnya. All rights reserved.