Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bangku di Ujung Rumahku (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi “Bangku di Ujung Rumahku” karya Agit Yogi Subandi bercerita tentang perjalanan seseorang menelusuri kembali jejak masa kecilnya, termasuk ...
Bangku di Ujung Rumahku

teruslah berkeliling menghapal nama-nama
rumah
                 dan pepohonan di jalan raya
sebelum akhirnya kaudikutuk menjadi bangku
di mana akan ada yang duduk kemudian pergi
kedatangan dan kepergian yang sederhana,
bukan?
tanpa kecupan atau gantungan kunci
bertuliskan nama
                         tanpa alamat juga
nomor telepon

dan kautahu, masa kanak yang kita lewati:
berjalan mencari kayu di hutan membawa
sebilah parang
                 tanpa tengok kanan-kiri
setelah pulang, kaki dan tubuh kelelahan
datanglah kita kepadanya tanpa basa-basi
dan duduk. lalu iseng mencacak ujung bangku

aku-kau pergi ke bangku lain
                       meninggalkan sayatan
perih
tapi ia tak bergeming
        dan tak bernafsu menjarah tubuhmu

manakala kautiba di depan rumahku,
dengan mata berkaca-kaca dan senja
mengatupkan kelopaknya,
katakanlah, berapa banyak pohon telah kau
rekam dalam ingatanmu
nama rumah dan cacakan parang
                 pada bangku

2007

Analisis Puisi:

Puisi “Bangku di Ujung Rumahku” karya Agit Yogi Subandi menyajikan perenungan eksistensial melalui citra-citra sederhana yang sarat makna. Dengan pendekatan reflektif dan nuansa melankolis, penyair membawa pembaca menyelami potret masa lalu, relasi manusia dengan kenangan, serta cara kita mengakrabi kehilangan dan kepergian yang tak selalu monumental.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kenangan masa kecil dan kepergian yang sederhana namun menyisakan luka yang dalam. Bangku menjadi simbol yang kuat dari peristiwa-peristiwa kecil yang menyusun narasi hidup: kehadiran dan kepergian yang tak selalu berpamitan, kebersamaan yang tidak dirayakan, serta jejak masa lalu yang membekas dalam diam.

Namun, di balik itu, tema lain yang muncul adalah soal identitas, pertumbuhan, dan waktu yang tak menunggu. Bangku, sebagai objek diam, menjadi metafora bagi manusia yang pasrah menerima peran sebagai tempat singgah, tapi bukan untuk tinggal. Ini membuka kemungkinan tafsir mendalam tentang bagaimana seseorang mengenang, ditinggalkan, dan tidak pernah benar-benar dimiliki.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat menyentuh dan filosofis. Bangku menjadi simbol eksistensial: objek pasif yang menunggu, menerima siapa pun yang datang, tapi tak pernah meminta siapa pun untuk tinggal. Dalam kehidupan manusia, posisi ini menggambarkan kerelaan menerima luka tanpa dendam, ketegaran menghadapi perpisahan tanpa pamit, dan kerinduan yang tidak disuarakan secara langsung.

Sayatan pada bangku yang tak dibalas oleh amarah atau dendam memperlihatkan nilai ketabahan dan pengertian mendalam terhadap sifat fana dari hubungan dan kedatangan-kepergian dalam hidup. Bangku menjadi cermin dari manusia yang pasrah, tapi kuat dalam diamnya.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan seseorang menelusuri kembali jejak masa kecilnya, termasuk kenangan mencari kayu di hutan, duduk di bangku dengan kelelahan, dan akhirnya menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan yang sementara. Bangku menjadi saksi dari kenangan masa lalu, tempat bersandar ketika lelah, dan objek yang menyimpan luka secara diam-diam.

Cerita dalam puisi ini sangat intim. Di balik deskripsi bangku, ada narasi tak terucapkan tentang perpisahan yang tak pernah dirayakan secara formal. Bangku yang dulu menjadi tempat duduk bersama, kini hanya menjadi sisa kenangan yang menyimpan sayatan parang sebagai lambang luka masa lalu.

Imaji

Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan menciptakan suasana yang reflektif. Beberapa imaji yang mencolok antara lain:
  • “berkeliling menghapal nama-nama rumah dan pepohonan di jalan raya” → menimbulkan bayangan perjalanan masa kecil yang akrab dengan lingkungan sekitarnya.
  • “mencacak ujung bangku” dan “sayatan perih” → membangun imaji visual dan taktil yang sangat konkret, seolah pembaca bisa merasakan luka yang ditorehkan tanpa makna, hanya sekadar iseng atau mungkin tanda keberadaan.
  • “senja mengatupkan kelopaknya” → menghadirkan suasana menjelang malam yang penuh kesedihan dan kelelahan, juga memperkuat kesan bahwa segalanya sudah berlalu.
Imaji-imaji ini memperkuat efek puitik puisi serta membantu pembaca masuk ke dalam dunia batin penyair.

Majas

Puisi ini kaya akan majas simbolik dan metafora, yang digunakan untuk memperdalam makna:
  • Metafora: “bangku” digunakan sebagai metafora untuk eksistensi manusia yang menerima dan merelakan, menjadi tempat singgah tapi bukan tempat menetap.
  • Personifikasi: “senja mengatupkan kelopaknya” memberi sifat manusia pada waktu, yang menutup harinya seperti mata.
  • Simbolisme: “parang”, “hutan”, “bangku”, dan “pohon” bukan hanya benda-benda konkret, tapi juga simbol dari pengalaman hidup, luka, dan pertumbuhan.
  • Ironi: penggunaan kalimat seperti “tanpa kecupan atau gantungan kunci / bertuliskan nama / tanpa alamat juga / nomor telepon” menyiratkan bahwa perpisahan kadang terjadi begitu saja, tanpa drama, dan justru menyakitkan karena seolah dianggap tak penting.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini sarat dengan melankolia, kesepian, dan renungan. Ada kedalaman emosi yang tidak meledak-ledak, tapi membekas secara halus. Suasana ini tercipta melalui penggunaan kata-kata seperti “kutuk”, “perih”, “senja”, “berkaca-kaca”, yang semuanya mengisyaratkan suasana hati yang berat namun tenang.

Bangku menjadi simbol dari keheningan yang memahami segalanya, tempat segala rasa lelah dan perpisahan ditinggalkan tanpa keluh.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah tentang kerelaan menerima luka dan perpisahan, pentingnya mengenang tanpa membebani, dan kekuatan dalam diam serta kesetiaan terhadap masa lalu. Ada ajakan halus untuk tidak melupakan jejak hidup yang sederhana, karena di sanalah kenangan terbentuk. Juga, ada kritik tersembunyi terhadap kehidupan modern yang cepat dan serba tergesa, hingga perpisahan pun tidak sempat diberi makna.

Puisi ini seolah ingin berkata: tak semua kepergian membutuhkan pesta air mata atau surat selamat jalan. Kadang yang sederhana justru paling membekas.

Puisi “Bangku di Ujung Rumahku” karya Agit Yogi Subandi adalah puisi yang sederhana secara bentuk, namun kompleks dalam makna. Dengan mengangkat simbol bangku sebagai pusat narasi, penyair membawa pembaca ke dalam perjalanan waktu dan perenungan mendalam tentang makna kehadiran, perpisahan, dan jejak yang ditinggalkan dalam diam.

Melalui tema kenangan dan kepergian, makna tersirat yang puitis, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini menjadi refleksi universal tentang bagaimana kita diingat, bagaimana kita mengingat, dan betapa banyak hal yang kita tinggalkan tak sempat diberi nama.

Agit Yogi Subandi
Puisi: Bangku di Ujung Rumahku
Karya: Agit Yogi Subandi
© Sepenuhnya. All rights reserved.