Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga (Karya Syu’bah Asa)

Puisi "Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga" karya Syu’bah Asa bercerita tentang tangisan seorang bayi pada malam hari, tepatnya pukul setengah ...
Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga

Bayi menangis pada malam setengah tiga
Tuhan, katakan padaku
Betapa ihwal para malaikat yang mendukung arasyMu
Dalam tasbih yang senyap dan suci

Bayi menangis pada malam setengah tiga
Di langit bintang mengejap bintang
Benang-benang terurai di seluruh luasan
Inilah saatnya mimpi melayap ke tidur
Nenek-nenek gelisah, pohon-pohon bertambah umur
Manggeliat kelopak dan biji-biji
Sedang malaikat senyap menyanyi
Takdir turun ke perut bumi

Bayi menangis pada malam setengah tiga
Tuhan, katakan padaku
Apa yang sedang terjadi dengan anakku

1973

Sumber: Horison (Maret, 1973)

Analisis Puisi:

Puisi "Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga" karya Syu’bah Asa merupakan puisi yang menyentuh sisi terdalam perasaan manusia: keresahan, ketakpastian, dan pencarian makna di balik sebuah kejadian kecil namun sarat makna—tangisan seorang bayi di tengah malam. Dalam keheningan dan kesenyapan waktu yang sakral, penyair menyampaikan pertanyaan-pertanyaan eksistensial kepada Tuhan, sembari mengajak pembaca menyelami renungan spiritual dan batiniah yang penuh simbolisme.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kegelisahan spiritual dan pencarian makna ilahi dalam kehidupan manusia, khususnya yang tercermin dari peristiwa sederhana namun penuh makna: tangisan bayi di tengah malam. Puisi ini menyelami hubungan antara makhluk dengan Sang Pencipta, antara tangisan manusia kecil dengan gerak sunyi para malaikat dan hukum alam semesta.

Puisi ini bercerita tentang tangisan seorang bayi pada malam hari, tepatnya pukul setengah tiga, yang membuat penyair merenung dan bertanya kepada Tuhan. Ia mempertanyakan apa yang terjadi dengan anaknya, sembari mengaitkannya dengan realitas spiritual dan alam semesta, seperti para malaikat yang bertasbih, bintang yang bersinar, dan takdir yang turun ke perut bumi. Dari narasi ini, kita melihat peristiwa personal (bayi menangis) sebagai pemicu kontemplasi metafisik.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam:
  • Tangisan bayi tidak hanya dilihat sebagai respons biologis atau emosional, melainkan simbol dari penderitaan, kerentanan, dan misteri hidup yang belum terjawab.
  • Waktu “setengah tiga malam” bukan waktu sembarangan—dalam banyak tradisi spiritual, itu adalah waktu paling sunyi dan khusyuk, saat doa paling mungkin didengar, dan kesadaran ruhani berada dalam posisi paling murni.
  • Ada kegelisahan batin yang menyiratkan kekhawatiran orangtua, sekaligus pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan rahasia ilahi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sunyi, gelap, penuh keheningan mistis namun juga gelisah dan cemas. Penyair menghadirkan suasana hening malam yang kontras dengan suara tangisan bayi—menunjukkan kegaduhan batin di tengah keheningan luar. Ada nuansa sakral sekaligus personal dalam tiap larik.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang ingin disampaikan puisi ini antara lain:
  • Manusia harus senantiasa berserah dan mencari pemahaman kepada Tuhan dalam menghadapi hal-hal yang tidak mampu dijelaskan oleh nalar semata.
  • Peristiwa kecil bisa menjadi jendela untuk merenungkan makna besar kehidupan.
  • Puisi ini mengajak kita untuk tidak menyepelekan waktu-waktu sunyi dan peristiwa keseharian, karena justru di sanalah percikan-percikan makna ilahiah bisa muncul.
  • Ada harapan agar kesadaran spiritual tetap hidup dalam diri manusia, bahkan ketika berhadapan dengan kondisi pribadi yang mengguncang jiwa.

Imaji

Syu’bah Asa membangun imaji yang sangat kuat dan khas malam hari:
  • “Bayi menangis pada malam setengah tiga” – imaji suara tangis yang mengiris keheningan malam.
  • “Bintang mengejap bintang” – menghadirkan langit yang hidup dan penuh gerak.
  • “Benang-benang terurai di seluruh luasan” – gambaran semesta yang luas, tak terbatas, dan berlapis makna.
  • “Mimpi melayap ke tidur” – menghadirkan imaji lembut sekaligus surealis.
  • “Takdir turun ke perut bumi” – menghadirkan nuansa spiritual yang dalam dan tak terjangkau oleh indera biasa.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas atau gaya bahasa:
  • Personifikasi: "bintang mengejap bintang" dan "mimpi melayap ke tidur" memberikan kehidupan pada benda mati.
  • Metafora: “takdir turun ke perut bumi” adalah metafora untuk sesuatu yang tak terelakkan dan terjadi di luar kuasa manusia.
  • Repetisi: “Bayi menangis pada malam setengah tiga” diulang di awal setiap stanza sebagai pengikat suasana dan penegasan tema.
  • Apostrof: sapaan langsung kepada Tuhan menegaskan perenungan batin penyair dan keterlibatan emosi spiritual.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang menonjol:
  • Diksi: Pilihan kata-kata religius, simbolik, dan puitis seperti "tasbih", "malaikat", "takdir", memperkaya suasana kontemplatif.
  • Larik bebas: Struktur bait yang tidak terikat rima atau metrum ketat memperkuat kesan spontanitas batin penyair.
  • Nada: Nada puisi sangat personal, intim, religius, dan gelisah.
  • Gaya spiritual-simbolik: Gaya khas Syu’bah Asa yang menyatukan keagamaan dengan peristiwa kecil dalam kehidupan manusia.
Puisi "Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga" adalah contoh puisi religius-modern yang menyentuh dengan kedalaman makna dan kekuatan suasana. Syu’bah Asa tidak hanya menulis tentang kegelisahan seorang ayah, tetapi juga mengajak pembaca menyelami spiritualitas malam, menjadikan tangisan bayi sebagai pintu menuju refleksi eksistensial tentang Tuhan, kehidupan, dan takdir. Dalam puisi ini, kita diingatkan bahwa bahkan dalam suara paling kecil dan waktu paling sunyi, ada rahasia besar yang menunggu untuk disadari.

Puisi ini menyuarakan perjumpaan antara suara manusia yang ringkih dan kebesaran semesta yang diam, dan menegaskan bahwa puisi bisa menjadi bentuk doa yang paling tulus.

Syu’bah Asa
Puisi: Bayi Menangis pada Malam Setengah Tiga
Karya: Syu’bah Asa

Biodata Syu’bah Asa:
  • Syu’bah Asa lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 21 Desember 1941.
  • Syu’bah Asa meninggal dunia di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 24 Juli 2010 (pada usia 69 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.