Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bertamu di Kamar Sunyi (Karya Moh. Wan Anwar)

Puisi “Bertamu di Kamar Sunyi” karya Moh. Wan Anwar bercerita tentang seorang manusia yang datang menghadap, menyiapkan diri lahir dan batin, untuk ..
Bertamu di Kamar Sunyi

kubersihkan diri, kurapikan baju, bertamu
di kamar sunyi. Tapi tak ada Tuan rumah
yang tiap malam menggedor jantung, merobek
sarang rindu, mengoyak-moyakkan hati kering ini.

aku hanya bertemu kelam, kelam, dan kelam saja
sedang air mata telah jadi sungai perih
di sajadah yang melapuk. Mataku letih
menghamilkan rindu, dendam, cemburu, kecewa
dan sakit, bertahun-tahun. Tangis dan sujud
menjadi fana, nyaris sia-sia
seperti surat-surat yang tak pernah kau balas itu
kekasih, bagaimanakah aku menggapaimu
dan Cahaya padaku menjelma?

Bandung-Cianjur, 1994/1995

Sumber: Sebelum Senja Selesai (2002)

Analisis Puisi:

Puisi “Bertamu di Kamar Sunyi” karya Moh. Wan Anwar adalah ungkapan perenungan batin yang dalam, spiritual, dan penuh emosi. Dalam bait-baitnya, penyair menggambarkan pergulatan jiwa yang mengunjungi ruang keheningan untuk mencari sesuatu yang suci atau agung, namun justru bertemu dengan kehampaan dan luka yang tak kunjung sembuh. Ini adalah puisi yang lirih, melankolis, dan sarat makna—menyampaikan kerinduan pada Yang Maha Hadir, namun terasa jauh.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual yang tak kunjung sampai, atau kerinduan kepada Tuhan yang terasa tidak terbalas. Puisi ini menggambarkan perasaan seorang manusia yang sudah membersihkan diri secara lahir dan batin untuk “bertamu” ke dalam ruang sunyi—ruang spiritualitas—namun tak menemukan jawaban yang ia cari. Ia tidak menemukan “Tuan rumah”, yaitu Tuhan atau sosok Ilahi, yang biasanya mengetuk hatinya. Maka, ruang sunyi itu justru menjadi tempat perjumpaan dengan kelam, kecewa, dan duka.

Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang datang menghadap, menyiapkan diri lahir dan batin, untuk bertemu dengan Yang Maha Agung di ruang perenungan atau ruang sembahyangnya (“kamar sunyi”). Namun, bukannya perjumpaan suci yang didapat, ia justru bersua dengan kesunyian dan ketiadaan. Ia bertanya-tanya, ke mana perginya suara Ilahi yang dulu selalu mengetuk jiwanya. Ia menangis, menumpahkan luka dan kerinduan, bahkan menumpuk dendam, cemburu, dan sakit hati karena merasa ditinggalkan, meski ia telah lama bersujud dan berharap.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam. Ia mencerminkan kegelisahan eksistensial dan spiritual seorang manusia yang merasa hubungannya dengan Tuhan kian renggang, meski ia sudah berusaha keras mendekat. Puisi ini juga menyuarakan krisis iman atau kebuntuan rohani, di mana seseorang merasa kosong, sepi, dan putus asa dalam pencarian ilahiah. Baris seperti “tangis dan sujud menjadi fana, nyaris sia-sia” dan “seperti surat-surat yang tak pernah kau balas itu” menyiratkan keputusasaan seseorang yang merasa doanya tak didengar, meski ia terus bersujud dan menangis.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini sangat sunyi, gelap, dan melankolis. Ada perasaan kehampaan, keputusasaan, serta kesedihan yang mendalam. Tidak hanya sunyi secara fisik, tetapi juga batin yang terasa tidak dipedulikan, tidak dijawab, dan tidak diterangi oleh “Cahaya”.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa dalam pencarian spiritual yang panjang, terkadang manusia diuji dengan kesunyian dan kekosongan, namun bukan berarti pencarian itu sia-sia. Keheningan bukanlah ketiadaan; bisa jadi itu cara Tuhan menguji keteguhan cinta dan kerinduan. Puisi ini mengajak kita merenung: apakah kita siap menerima cinta Ilahi dalam bentuk keheningan dan kelam? Atau kita hanya berharap Tuhan hadir saat kita merasa butuh?

Imaji

Puisi ini menyuguhkan imaji yang sangat kuat dan menyentuh secara emosional:
  • “Kubersihkan diri, kurapikan baju, bertamu di kamar sunyi”: Imaji seorang manusia yang ingin menghadap Tuhan, penuh kesiapan dan ketundukan.
  • “Air mata telah jadi sungai perih di sajadah yang melapuk”: Imaji yang kuat akan penderitaan dan ketekunan dalam ibadah, menunjukkan kesedihan yang terakumulasi lama.
  • “Mataku letih menghamilkan rindu, dendam, cemburu, kecewa dan sakit”: Imaji kompleks tentang betapa dalam dan penuh warna luka batin yang dialami penyair.
  • “Surat-surat yang tak pernah kau balas”: Imaji relasi antara hamba dan Tuhan yang seolah tak berbalas, seperti doa-doa yang tak sampai.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:

Metafora:
  • “Air mata telah jadi sungai perih” menggambarkan kesedihan yang begitu dalam, mengalir terus seperti sungai.
  • “Kamar sunyi” sebagai metafora dari ruang batin atau ruang sembahyang tempat perenungan.
  • “Mataku letih menghamilkan rindu”—menggambarkan proses batin yang begitu panjang dan melelahkan, seperti kehamilan, namun berupa rindu yang tak kunjung lahir jadi kebahagiaan.
Personifikasi:
  • “Tiap malam menggedor jantung, merobek sarang rindu”: Tuhan atau sosok Ilahi digambarkan seolah-olah memiliki tindakan manusiawi yang dahulu terasa dekat dan nyata, tapi kini tak lagi hadir.
  • “Tangis dan sujud menjadi fana”—tangis dan sujud digambarkan seperti makhluk yang hidup dan kemudian mati, menandakan ketidakbermaknaan yang dirasakan penyair.
Repetisi:
  • “Kelam, kelam, dan kelam saja”: pengulangan ini menguatkan kesan kehampaan dan kegelapan yang dialami oleh sang aku lirik.
Puisi “Bertamu di Kamar Sunyi” karya Moh. Wan Anwar adalah sebuah refleksi batin yang sangat mendalam tentang kerinduan kepada Tuhan atau kekasih spiritual yang terasa menjauh. Di tengah upaya spiritual dan sembahyang yang terus-menerus, penyair justru bertemu dengan kelam dan sunyi. Namun, justru di situlah kejujuran puisi ini terasa kuat—ia tidak menawarkan kepastian, melainkan memperlihatkan bagaimana iman, cinta, dan pengharapan bisa digerus waktu, rasa sakit, dan sunyi.

Puisi ini mengajarkan bahwa dalam proses menuju cahaya, kita harus siap berjalan di lorong gelap. Kesunyian bisa jadi bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pengertian yang lebih dalam. Dalam tangis dan sujud yang terasa sia-sia, mungkin justru ada makna sejati yang belum kita pahami.

Puisi: Bertamu di Kamar Sunyi
Puisi: Bertamu di Kamar Sunyi
Karya: Moh. Wan Anwar

Biodata Moh. Wan Anwar
  • Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
  • Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.
© Sepenuhnya. All rights reserved.