Biarkan
para serdadu
biarkan
muda mudi
memasukkan diri mereka
dalam mulut meriam
para serdadu
jangan ganggu
biarkan mereka
saling merapat
menggosokgosok
dalam
cerobong meriam
menyingkir
dan
berbaringlah para serdadu
istirahatlah!
bantalkan telapak tangan
sedapsedaplah!
bersiul
kalau kalian mau
ambil lalang
bantu siul
bersiullah
pada lembah
pada langit
pada padang
pada rumah
para serdadu
kerjakan
semau kalian
apa yang mau
kalian kerjakan
enakenakan
tapi
para serdadu
jangan ganggu
mereka
yang
menyumbatkan cinta dalam mulut meriam
biarkan mereka gosokmenggosok
biarkan mereka memanaskannya
biarkan mereka meledak
itu lebih sedap
daripada kalian
mengkotakkatikkan
pelatuk meriam
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Analisis Puisi:
Puisi "Biarkan" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah pernyataan simbolik dan puitik yang sarat dengan kritik sosial dan kontras antara kekuatan destruktif perang dan kekuatan membangun dari cinta. Dalam puisi ini, Sutardji seperti biasa melampaui batas struktur puisi konvensional dan menggali lapisan makna yang menggugah dan penuh teka-teki. Melalui pilihan kata yang nyentrik dan pencitraan yang intens, Sutardji menghadirkan gambaran subversif yang mendorong pembaca merenungkan ulang tentang perang, hasrat, dan kehidupan itu sendiri.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kontras antara cinta dan kekerasan, atau lebih tepatnya antara kekuatan destruktif perang dan kekuatan kreatif dari cinta manusia. Puisi ini juga membawa tema pemberontakan terhadap otoritas militer, dan bagaimana cinta — dalam maknanya yang paling manusiawi, erotis, dan intim — bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang represif.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat dengan makna tersirat. Kalimat-kalimat seperti "biarkan mereka menyumbatkan cinta dalam mulut meriam" adalah simbol dari bagaimana generasi muda menolak perang dan kekerasan, dan memilih untuk mengekspresikan cinta bahkan di tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk membunuh. "Mulut meriam" bukan lagi alat pembunuh, tetapi berubah menjadi tempat pertemuan cinta. Ini bisa dimaknai sebagai protes terhadap perang dan militerisme, yang secara historis telah merenggut kemanusiaan.
Sutardji seakan menyuarakan bahwa daripada mengisi meriam dengan peluru, lebih baik mengisinya dengan cinta. Daripada menjadi alat pembunuh, biarlah senjata menjadi alat ekspresi hidup, hasrat, dan keberanian untuk mencintai di tengah dunia yang brutal.
Puisi ini bercerita tentang generasi muda — digambarkan sebagai “muda mudi” — yang memilih untuk mencintai, bermesraan, dan bahkan "meledakkan" cinta mereka di dalam "mulut meriam", simbol perang. Di sisi lain, para serdadu (tentara) diminta untuk tidak mengganggu dan menyingkir, karena perjuangan cinta ini lebih otentik dan bermakna daripada kekerasan yang selama ini dijalankan atas nama negara atau kekuasaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh dengan ironi, sensualitas, dan pemberontakan. Di satu sisi, ada kegairahan yang erotis dan hidup dalam aktivitas para muda-mudi. Di sisi lain, suasana itu dibayangi oleh ketegangan dari kehadiran senjata (meriam) dan militerisme. Namun, justru karena ironi inilah puisi ini menggugah. Ia menantang norma dan menghadirkan vitalitas cinta di tengah arena kematian.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama puisi ini adalah bahwa cinta lebih bermakna daripada kekerasan. Biarkan manusia memilih untuk mencintai, bukan membunuh. Sutardji juga ingin menyampaikan bahwa kekuatan cinta bisa mengubah sesuatu yang dirancang untuk menghancurkan menjadi sesuatu yang membangun dan mempersatukan. Puisi ini juga mengkritik lembaga kekuasaan (militer), dengan menyarankan agar para serdadu “beristirahat saja”, dan membiarkan mereka yang benar-benar hidup (muda-mudi) melakukan revolusi dengan cinta.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji visual dan sensual yang sangat kuat, seperti:
- "muda mudi memasukkan diri mereka dalam mulut meriam" — sebuah citraan yang mengejutkan dan menggugah, memperlihatkan tindakan yang biasa diasosiasikan dengan kematian berubah menjadi simbol kehidupan dan hasrat.
- "menggosok-gosok dalam cerobong meriam" — membangkitkan imaji sensual yang penuh gairah.
- "biarkan mereka memanaskannya… meledak" — imaji ledakan cinta yang kontras dengan ledakan senjata.
- "bantalkan telapak tangan… bersiullah!" — imaji ketenangan dan ketidakpedulian para serdadu yang disarankan untuk meninggalkan tugasnya.
Seluruh puisi penuh dengan imaji tubuh, hasrat, dan ruang-ruang simbolik yang biasanya maskulin dan militeristik, yang dibalik fungsinya oleh kekuatan cinta.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Meriam diperlakukan seperti entitas yang bisa memiliki "mulut" dan menjadi tempat ekspresi cinta.
- Metafora: “Mulut meriam” sebagai metafora dari tempat kehancuran yang kini menjadi tempat kehidupan dan cinta.
- Hiperbola: Penggambaran ledakan cinta dan aktivitas seksual di dalam meriam terasa dilebih-lebihkan untuk menegaskan kontras yang ekstrem antara cinta dan kekerasan.
- Ironi: Seluruh puisi mengandung ironi mendalam — bagaimana simbol kematian dijadikan sarang cinta. Ironi ini menyampaikan kritik dengan cara yang tidak frontal tetapi sangat tajam.
Puisi “Biarkan” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang dikuasai oleh kekerasan dan militerisme. Dengan gaya puitiknya yang khas, Sutardji tidak hanya menciptakan puisi, tetapi juga semacam manifesto: bahwa di tengah dunia yang penuh perang, cinta harus menjadi revolusi. Lewat bahasa yang eksplisit namun puitis, ia menggugat norma, menyentil kekuasaan, dan menempatkan cinta di tempat paling tak terduga — di mulut meriam. Sebuah pesan yang tetap relevan di tengah zaman yang masih menyisakan banyak senjata, perang, dan kekuasaan yang haus darah.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
