Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Buku Harian (Karya Leon Agusta)

Puisi "Buku Harian" karya Leon Agusta bercerita tentang perjalanan kontemplatif seorang penyair ke berbagai kota di dunia, dari India hingga ...
Buku Harian (1)

Di Greater Kailash
selalu terdengar Asia menyanyi
derita adalah ibadah
gemanya menghilangkan asal suara
di Agra, dengan Taj Mahal
Shah Jehan mengabadikan agungnya cinta
memahatkan berlian di pusara kekasihnya
dukanya mewariskan mukjizat
karena demi cinta perbudakan pun dimaafkan
penyanyi jalanan berkisah panjang
tak berhenti meratap diiringi kecapi
keindahan bangkit dari pelukan sang maut

Buku Harian (2)

Di Asia yang renta
manusia menjelma jadi pabrik-pabrik beragama
tak peduli pada teka-teki bencana, banal dan penuh
keluhan: cinta tetap saja angkuh, meski duka bisa agung
dan lihatlah, Calcuta tak mau disapa, “Oh, Calcuta”

malam menggeliat di Broadway, “Oh, Calcuta”
jeritan keperihan melaju di atas panggung suram dengan
bintang-bintang bugil yang tak berhenti menari, menyanyi
menjerit dan menangis, “Oh, Calcuta”

nyanyian itu terus menderu, terbanting dalam sepi
malam-malam beku oleh salju dan menghilang ditelan
hutan gedung-gedung belantara Manhattan
di manakah cinta bagimu, New York?
Pertanyaan hanyalah igauan dari kesunyian
New York lebih mengerikan

Buku Harian (3)

Di Jakarta
gedung-gedung pun menjelma jadi pohon raksasa
Megapolitan hanyalah nama lain dari keangkuhan
di sini anak-anak muda, anak-anak remaja, anak-anak tua
anak-anak tua bangka, anak-anak jompo, mabuk
Kunang-kunang terbius lampu-lampu
siang dan lampu-lampu malam
mereka menjalar bagai ular, jumpalitan bagai ular
menggerayangi toko-toko kelontong dan elektronika
menerjunkan diri ke dalam tas-tas plastik
melagukan beribu mimpi dalam bahasa asing
lainnya lumat ditelan boneka-boneka plastik
buatan Jepang, direbus dan dibakar di dalamnya
memacetkan jalan raya 40 jam dalam sehari.

1981

Sumber: Gendang Pengembara (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Buku Harian" karya Leon Agusta adalah refleksi kosmopolit dari kegelisahan penyair terhadap dunia yang semakin kehilangan nilai-nilai hakiki. Terdiri dari tiga bagian, puisi ini berkelana dari Greater Kailash dan Agra di India, menuju Broadway dan Manhattan di Amerika, lalu menutup perenungan di Jakarta. Ketiga bagian ini seperti catatan-catatan perjalanan batin penyair yang penuh dengan kritik sosial, kegelisahan spiritual, dan rasa kehilangan atas makna cinta serta kemanusiaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan di tengah gemerlap kemajuan peradaban modern. Melalui lanskap India, Amerika, dan Indonesia, Leon Agusta menggambarkan dunia yang tidak lagi menempatkan cinta, nilai spiritual, dan belas kasih sebagai fondasi utama kehidupan. Di balik monumen agung, gedung-gedung tinggi, dan cahaya lampu kota, tersimpan nestapa, keterasingan, dan kekosongan.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang kuat dalam puisi ini adalah kritik terhadap kapitalisme global dan modernitas yang meminggirkan nilai kemanusiaan dan cinta sejati. Cinta menjadi angkuh, agama menjadi pabrik-pabrik, dan kota menjadi hutan beton yang menelan manusia. Puisi ini tidak sekadar mencatat peristiwa atau tempat, tetapi menyampaikan kekecewaan eksistensial terhadap dunia yang kehilangan keseimbangan antara lahir dan batin.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan kontemplatif seorang penyair ke berbagai kota di dunia, dari India hingga New York dan Jakarta. Di setiap tempat, penyair menyaksikan realitas sosial yang ironis: cinta yang abadi tetapi menghalalkan perbudakan, agama yang menjadi mesin tanpa empati, seni yang kehilangan roh, dan manusia yang semakin terasing di tengah kemajuan. Di Jakarta sendiri, bahkan identitas dan mimpi anak-anak bangsa hancur oleh komodifikasi dan budaya konsumtif.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, getir, dan reflektif. Ada kesedihan mendalam yang tersembunyi di balik observasi cerdas dan deskriptif penyair. Kesunyian, ratapan, dan ketidakberdayaan adalah nada dasar dari keseluruhan puisi, meskipun disampaikan dalam irama yang dinamis dan padat citraan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini menyentuh kesadaran kritis tentang bagaimana dunia modern sedang berjalan tanpa arah spiritual dan moral yang jelas. Puisi ini seolah ingin bertanya: Apa arti kemajuan bila derita menjadi ibadah, cinta menjadi alat kekuasaan, dan manusia terjerembab dalam budaya konsumsi tanpa jiwa?

Leon Agusta mendorong kita untuk kembali mempertanyakan relasi kita dengan cinta, dengan Tuhan, dengan kota, dengan sesama, dan—yang paling penting—dengan diri kita sendiri.

Unsur Imaji

Puisi ini sarat imaji visual, pendengaran, dan simbolis. Beberapa contoh yang kuat antara lain:
  • “Shah Jehan mengabadikan agungnya cinta / memahatkan berlian di pusara kekasihnya”: imaji visual yang indah namun sarat ironi.
  • “penyanyi jalanan berkisah panjang / tak berhenti meratap diiringi kecapi”: imaji suara dan emosi yang dalam.
  • “kunang-kunang terbius lampu-lampu”: metafora manusia yang kehilangan arah akibat godaan duniawi.
  • “gedung-gedung pun menjelma jadi pohon raksasa”: penggabungan alam dan buatan yang surreal.
  • “melagukan beribu mimpi dalam bahasa asing”: imaji alienasi kultural dan kehilangan jati diri.

Majas

Leon Agusta menggunakan berbagai majas (gaya bahasa) yang memperkaya makna dan memperdalam emosi puisi:

Metafora:
  • “manusia menjelma jadi pabrik-pabrik beragama”: kritik terhadap agama yang hanya menjadi alat sistem.
  • “gedung-gedung pun menjelma jadi pohon raksasa”: simbol kota yang tumbuh liar, menelan yang lemah.
Personifikasi:
  • “Calcuta tak mau disapa”: kota digambarkan sebagai entitas yang memiliki sikap.
  • “malam menggeliat di Broadway”: malam menjadi makhluk hidup yang menyaksikan kegelisahan kota.
Ironi:
  • “di Asia yang renta” dan “dukanya mewariskan mukjizat”: kontras antara penderitaan dan keindahan.
  • “anak-anak tua bangka, anak-anak jompo”: frasa yang mencampur usia muda dan tua secara paradoksal.
Simbolisme:
  • “Oh, Calcuta” dan “New York lebih mengerikan”: simbol kota modern sebagai tempat kehancuran spiritual.
  • “tas-tas plastik”, “boneka-boneka Jepang”, “bahasa asing”: simbol dari budaya massa dan konsumsi tanpa arah.
Puisi "Buku Harian" karya Leon Agusta adalah narasi puitik yang menyatukan perjalanan lintas benua dengan perenungan moral, spiritual, dan kultural. Dari Taj Mahal hingga Manhattan, dari Greater Kailash hingga Jakarta, penyair tidak hanya mencatat tempat, tetapi juga menggugat nilai-nilai yang membentuk peradaban kontemporer.

Puisi ini menjadi saksi bisu dari dunia yang kehilangan cinta sebagai poros, dan menjadikan manusia sebagai produk dari sistem ekonomi, ideologi, dan teknologi. Dengan kekuatan imaji, majas, dan struktur puitik yang reflektif, Buku Harian bukan hanya puisi tentang perjalanan—tetapi tentang kerinduan akan keutuhan manusia di tengah zaman yang terbelah.

Leon Agusta
Puisi: Buku Harian
Karya: Leon Agusta

Biodata Leon Agusta:
  • Leon Agusta (Ridwan Ilyas Sutan Badaro) lahir pada tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2015 (pada umur 77) di Padang, Sumatra Barat.
  • Leon Agusta adalah salah satu Sastrawan Angkatan 70-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.