Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Burung Malam (Karya Adri Darmadji Woko)

Puisi “Burung Malam” karya Adri Darmadji Woko bercerita tentang suara seekor burung yang terbang menuju barat dan tampaknya berhenti di pohon besar ..
Burung Malam

Suara burung itu menuju ke barat dan tampaknya hinggap di pohon besar sekitar kuburan. Sementara di halaman rumahmu kulihat bawang dan cabai merah pada sapu lidi.

Kuharap burung itu tidak kembali ke tempatmu menyebut namamu sekali lagi karena telah mendapatkan sesuatu.

1975

Sumber: Horison (April, 1977)

Analisis Puisi:

Puisi “Burung Malam” karya Adri Darmadji Woko adalah karya pendek namun sarat makna. Dengan gaya naratif yang sederhana dan simbolik, puisi ini mengajak pembaca menyelami kesunyian malam, mengamati gerak seekor burung yang terbang ke arah barat, dan menyaksikan halaman rumah yang menyimpan jejak kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak banyak menggunakan pernak-pernik gaya bahasa yang rumit, puisi ini berhasil membangun suasana hening dan renungan mendalam, terutama terkait kehilangan dan harapan yang tak disuarakan.

Burung, Rumah, dan Nama yang Pernah Disebut

Puisi ini bercerita tentang suara seekor burung yang terbang menuju barat dan tampaknya berhenti di pohon besar yang berada dekat dengan kuburan. Di saat yang bersamaan, si aku lirik memperhatikan halaman rumah seseorang—kemungkinan rumah orang yang sudah tiada—dan mendapati benda-benda sederhana: bawang, cabai merah, dan sapu lidi.

Baris terakhir puisi menyiratkan harapan agar burung itu tidak kembali lagi ke tempat itu, dan agar tidak lagi menyebut nama seseorang yang tampaknya sudah “pergi”—secara fisik atau simbolik.

Tema: Kehilangan dan Doa dalam Kesunyian

Tema utama dari puisi ini adalah kehilangan, kesunyian, dan pengharapan lirih. Burung malam yang menuju arah kuburan, menyebut nama seseorang, dan harapan agar ia tak kembali, membingkai puisi ini dalam suasana elegi atau ratapan diam-diam.

Tema lain yang bisa dibaca adalah kenangan dan kehidupan sehari-hari. Benda-benda seperti bawang, cabai, dan sapu lidi bukan hanya perlengkapan dapur—mereka bisa menjadi simbol dari kehidupan rumah tangga yang dulu hidup, dan kini hanya menjadi kenangan.

Makna Tersirat: Doa Diam bagi yang Telah Tiada

Secara makna tersirat, puisi ini tampaknya menggambarkan situasi di mana seseorang telah meninggal dunia, dan si aku lirik sedang merenungi kepergian itu. Burung malam yang hinggap di pohon dekat kuburan bisa dimaknai sebagai simbol roh, pesan dari alam, atau penanda kedatangan kembali kenangan yang menyakitkan.

Namun, si aku lirik berharap burung itu tidak kembali, seolah ingin mengatakan: biarlah kenangan itu tenang, jangan diusik lagi. Kalimat “karena telah mendapatkan sesuatu” pun menjadi enigmatis. Mungkin sesuatu yang dimaksud adalah kedamaian, ketenangan, atau bahkan kematian itu sendiri.

Puisi ini dapat dibaca sebagai bentuk doa tersembunyi: bukan ratapan keras, melainkan bisikan sunyi dari seseorang yang sudah berdamai dengan kehilangan.

Imaji: Visual dan Simbolik

Meskipun singkat, puisi ini memiliki beberapa imaji yang kuat:
  • “Suara burung itu menuju ke barat” — menciptakan bayangan gerak senyap menuju senja atau kematian (barat sering diasosiasikan dengan akhir atau tenggelamnya matahari).
  • “Hinggap di pohon besar sekitar kuburan” — menimbulkan imaji suram, angker, atau sakral.
  • “Bawang dan cabai merah pada sapu lidi” — imaji rumah tangga yang kuat, kehidupan domestik yang sederhana namun penuh makna.
Simbol-simbol ini saling berkait: burung sebagai utusan alam, pohon sebagai tempat singgah roh, dan halaman rumah sebagai sisa-sisa kehidupan yang pernah ada.

Majas: Simbolisme dan Ironi Halus

Puisi ini menggunakan beberapa majas, terutama:
  • Simbolisme: Burung malam bukan hanya burung, melainkan simbol dari kenangan, roh, atau pesan dari alam kematian. Pohon besar dan kuburan juga simbol ruang antara dunia hidup dan mati.
  • Ironi halus: Keberadaan benda-benda kehidupan (bawang, cabai, sapu lidi) dikontraskan dengan bayang-bayang kematian (kuburan, suara burung malam), menghasilkan ketegangan batin yang mendalam.
  • Metonimia tak langsung: “menyebut namamu sekali lagi” adalah cara halus untuk menyampaikan kerinduan atau kekhawatiran akan kenangan yang kembali menghantui.

Suasana dalam Puisi: Hening, Sunyi, dan Sedikit Mistis

Suasana dalam puisi ini tenang, hening, tetapi mengandung kedalaman emosional dan kesan mistis. Tidak ada suara manusia, hanya burung dan benda-benda yang diam. Pembaca seakan diajak masuk ke dalam rumah yang pernah ramai tapi kini sepi, melihat halaman dengan sisa-sisa aktivitas, dan merenung bersama si aku lirik.

Amanat: Biarkan yang Telah Pergi Beristirahat

Jika ditarik amanat atau pesan dari puisi ini, maka salah satu yang paling terasa adalah: belajarlah menerima dan melepaskan. Jangan selalu memanggil-manggil yang telah pergi, baik itu orang tercinta atau kenangan lama, karena mungkin mereka sudah “mendapatkan sesuatu” — kedamaian, tempatnya sendiri, atau waktu untuk istirahat.

Puisi ini mengajarkan bentuk kedewasaan emosional: mengenang dengan tenang, bukan dengan meratap. Membiarkan yang mati tetap damai, dan yang hidup melanjutkan hidup.

Puisi “Burung Malam” karya Adri Darmadji Woko adalah potret puitik tentang kehilangan, kenangan, dan kerelaan. Dengan tema yang kontemplatif, makna tersirat yang dalam, imaji yang kuat, serta majas simbolik yang menyelimuti narasi, puisi ini mengajak pembaca merenungi arti diam, kedamaian, dan doa yang tak bersuara.

Dalam bayangan burung malam dan halaman rumah yang sunyi, tersimpan pelajaran paling manusiawi: bahwa tidak semua yang menyakitkan harus digenggam terus. Ada kalanya, kita hanya perlu menatap diam-diam, lalu membiarkannya pergi dengan tenang.

Puisi: Burung Malam
Puisi: Burung Malam
Karya: Adri Darmadji Woko

Biodata Adri Darmadji Woko:
  • Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.