Analisis Puisi:
Puisi "Cari" karya Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu bentuk ekspresi yang menggambarkan kehancuran, kekosongan, sekaligus harapan yang tertanam dalam kehampaan itu sendiri. Dengan gaya khas Sutardji yang eksperimental dan penuh muatan simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk tidak sekadar merenungi reruntuhan sejarah, tetapi juga untuk menemukan kembali makna sejati dari keberadaan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, puisi bukan hanya sarana ekspresi estetika, tetapi juga media pencarian spiritual, sosial, dan kebangsaan.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kehancuran dan pencarian makna baru dari reruntuhan. Sutardji menghadirkan gambaran pascakerusakan—baik secara fisik maupun batin—dan mengajak bangsa untuk mencari kembali "kata", sebagai simbol dari jati diri, kesadaran, dan kekuatan penciptaan yang semestinya dimiliki oleh suatu bangsa yang pernah besar. Kata menjadi metafora bagi makna yang hilang, semangat yang padam, dan identitas yang harus diperjuangkan kembali.
Makna Tersirat
Puisi ini mengandung makna tersirat tentang kondisi sosial dan politik bangsa yang telah mengalami kehancuran akibat keserakahan, penggusuran, penindasan, dan kekuasaan otoriter (El Dictador). Di balik semua reruntuhan, api, abu, dan tulang yang disebutkan berkali-kali dalam puisi, terselip sebuah pertanyaan besar: ke mana arah bangsa ini akan dibawa jika tidak segera menemukan kata yang mencipta? Sutardji ingin menyampaikan bahwa sebuah bangsa tanpa kesadaran makna, tanpa kata-kata yang hidup, hanya akan menjadi puing-puing sejarah tanpa jiwa.
Kata di sini bukan hanya alat komunikasi, melainkan lambang dari penciptaan: suatu kekuatan yang bukan hanya menunjuk benda, tapi menghadirkan realitas baru. Inilah filsafat puisi Sutardji—bahwa kata harus menjadi kekuatan yang hidup dan aktif, bukan sekadar pelabel pasif.
Puisi ini bercerita tentang kehancuran fisik dan batin suatu bangsa. Dari bait ke bait, pembaca disuguhkan citra tentang puing-puing, api, tulang, abu, dan kelengangan. Namun, dari antara semua reruntuhan itu, sang penyair mencoba "menggurat aksara" di tembok dan pasir yang terbakar. Ini adalah simbol dari semangat penciptaan yang belum padam. Puisi ini juga menyinggung luka kolektif seperti penggusuran tanah rakyat, ketimpangan sosial, kekerasan negara, dan hilangnya suara-suara kebudayaan tradisional seperti pantun, gurindam, dan talibun.
Dengan menyebut kembali bentuk-bentuk puisi tradisional, Sutardji seakan menegaskan bahwa kehilangan makna tidak hanya terjadi dalam ranah sosial, tapi juga kultural. Budaya lisan dan kata-kata lama yang penuh nilai dan kekuatan kini telah tertimbun oleh abu zaman.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat kelam, muram, dan penuh ketegangan batin. Kesan kehancuran total meliputi hampir seluruh baris puisi. Namun, ada juga rasa rindu yang membara untuk kembali membangun, rasa gelisah yang menggebu untuk segera menemukan harapan baru. Puisi ini tidak sepenuhnya menyerah dalam duka—sebab justru dari reruntuhan itu, penyair mencari dan memanggil "kata" sebagai harapan terakhir sebelum segalanya terlambat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah bahwa dalam kehancuran yang melanda bangsa—baik secara fisik maupun spiritual—masih ada harapan yang bisa dicari, yaitu melalui pencarian makna sejati. "Carilah kata, temukan ucapan," tulis Sutardji dengan penuh desakan. Kata adalah simbol dari kesadaran, kreativitas, perlawanan, dan harapan. Tanpa kata, tanpa makna, bangsa akan lumpuh dan menjadi abu sejarah. Maka, pesan moralnya adalah pentingnya kesadaran kolektif untuk bangkit kembali, menemukan suara sejati, dan tidak terjebak dalam kerusakan yang terus-menerus.
Puisi ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kritik terhadap generasi masa kini yang terlalu pasrah, apatis, dan tak lagi mampu menggali kekuatan bahasa sebagai alat perjuangan dan pembebasan.
Imaji
Puisi ini dipenuhi oleh imaji visual yang kuat, seperti:
- "puing-puing diri", "gosong tulang", "abu dan asap", "larik-larik mayit", "terpendam dalam bait-bait diam", "ludahan saat", "teratai sebenar kata", dan "kolam kersang."
Semua imaji ini menghadirkan lanskap kehancuran dan kekosongan, tetapi juga menampilkan ketegangan antara kehancuran dan penciptaan. Imaji teratai yang muncul di kolam kering, misalnya, menjadi lambang dari harapan dan pencerahan spiritual di tengah gurun yang mati.
Selain itu, ada imaji tentang "jemari menggurat aksara" yang sangat menyentuh, menunjukkan usaha terakhir manusia untuk menulis makna di atas reruntuhan, untuk mencipta meski dunia telah hangus.
Majas
Puisi ini banyak menggunakan majas personifikasi, metafora, dan repetisi. Berikut beberapa contohnya:
- Metafora: "kata yang mencipta", "ludahan saat", "larik-larik mayit", "pantun tak bangun", "talibun tertimbun". Di sini, kata-kata tidak hanya menjadi lambang komunikasi, tapi menjelma menjadi makhluk hidup yang membawa makna eksistensial.
- Personifikasi: "teratai sebenar kata", "debu dalam arang patah", "air mata tenggelam dalam kedalaman gosong". Segala benda dalam puisi ini seolah bernyawa, menyuarakan luka, kerinduan, dan kehampaan.
- Repetisi: Pengulangan frasa seperti "sisa-sisa", "kata", "puing-puing", dan "hangus" menguatkan suasana muram dan penekanan pada kondisi yang berulang-ulang tanpa perbaikan.
- Hiperbola: Digunakan untuk menegaskan penderitaan yang sangat dalam dan kehancuran yang seolah tak terbatas, seperti pada bait: "jadilah aku / hutan hangus dan asap / kota debu dan tulang / keluasan tanpa batas / dari remah angan yang pernah ada."
Puisi "Cari" adalah puisi panjang yang tidak hanya mengajak pembaca menyelami rasa kehilangan dan kehancuran, tetapi juga menyadarkan pentingnya mencari kembali kekuatan sejati dalam "kata". Tema tentang pencarian makna dari reruntuhan dibingkai dengan imaji yang tajam dan majas penuh daya magis. Melalui makna tersirat yang kuat, puisi ini bercerita tentang kegetiran bangsa yang lupa kata-katanya sendiri, namun tetap punya kesempatan untuk membangun kembali—asal berani menyuarakan, mencipta, dan menghidupkan makna sejati dari kata.
Dengan demikian, puisi "Cari" menjadi semacam seruan kebangkitan, bukan hanya untuk penyair dan pembaca sastra, tetapi untuk seluruh elemen bangsa. Sebab, jika tidak menemukan kembali kata-kata yang hidup, yang mencipta, maka satu bangsa hanya akan menjadi sejarah kelam yang ditulis dalam pantun tak bangun dan gurindam yang lebam.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.