Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Cari (Karya Sutardji Calzoum Bachri)

Puisi "Cari" karya Sutardji Calzoum Bachri bercerita tentang kehancuran fisik dan batin suatu bangsa. Dari bait ke bait, pembaca disuguhkan citra ...
Cari

sisa-sisa api
sampiran pecah tanah
perih bebatuan
sedan abu dan ratap pasir
ludah saat
puing-puing diri
koyak moyak bangunan
menyatu
dalam legam malam
dalam legam siang

aku telah melihat muasal api
sebab abu dan bara ini
jauh sebelum api
sebelum bara dan abu
mencipta hamparan
kelam

aku telah melihat
bibit api dalam
buah air mata
pada lahan yang digusur
dari pemiliknya

pernah kubilang
waspadalah
jangan ikut menanam
bibit api
jangan sampai engkau
dipetik oleh buah
yang menyala

maka kini
lihatlah
pada sisasisa nyala
pada sampiran hangus
tanah lebam ini
pada lidah pasir pecah
dan kelu batuan
pada puingpuing diri
remah bangunan
pada pecah pot
dan tenggelam taman
pada sisasisa sangkur
dalam hangus daging
dan gosong tulang

yang tinggal hanya lengang
hanya lariklarik
yang pecah angan
hanya baitbait mayit
yang menggamitgamit
mengharap makna
lengang yang mendambakan suara
mengharap ujar
mencari kata

ah semoga cepat datang
teratai sebenar kata
dari hamparan kolam
kersang ini

lewat sisa-sisa jemari
kucoba menggurat aksara
di pecahan tembok
dan unggun pasir

yang ingin kutulis
masih terpendam
dalam bait-bait diam

yang kan kuucap
masih terperangkap
dalam kerongkongan
yang tenggelam

ah mana gairah
mana seloka
gurindam pantun
talibun bangsaku?

hanya irama debu
dalam arang patah
lengang langkah tapak darah
dalam jiwa membeku
puing henyak terbaring
sisa-sisa tari asap dan api

seloka luka gurindam lebam
pantun tak bangun
talibun tertimbun
abu dan asap

jadilah aku
hutan hangus dan asap
kota debu dan tulang
keluasan tanpa batas
dari remah angan
yang pernah ada
sampiran hancur
lengang dan hampa
mencari muatan makna
agar bisa kembali
menyatu berjiwa!

dan di balik timbunan
tahun-tahun tandus
di balik unggun debu
dan tulang
di larik-larik mayit
di puing angan
di kedalaman gosong
air mata
aku merasa
serasa bakal datang kata
kata yang segar
kata yang mencipta
bukan kata
sekedar menunjuk
apa yang sudah ada
bukan sebagaimana kata kuda
menunjuk kuda yang ada di bumi
bukan sebagai kata mawar
menunjuk mawar dan harumnya yang ada
tapi kata yang mencipta
yang muncul dari ketiadaan
meloncat dari kekosongan

dari balik puing-puing ini
dari balik gosong nyeri
dari balik abu dan tulang-tulang ini
cepat temukan kata!
sebelum cuaca makin memburuk
sebelum datang lagi El Niño
sebelum datang pula La Niña
agar tak kembali muncul El Dictador

wahai bangsaku
keluarlah engkau
dari kamus kehancuran ini
carilah kata
temukan ucapan
sebagaimana dulu
para pemuda menemukan
Kata
dalam sumpah mereka

1998

Sumber: Horison (Januari, 2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Cari" karya Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu bentuk ekspresi yang menggambarkan kehancuran, kekosongan, sekaligus harapan yang tertanam dalam kehampaan itu sendiri. Dengan gaya khas Sutardji yang eksperimental dan penuh muatan simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk tidak sekadar merenungi reruntuhan sejarah, tetapi juga untuk menemukan kembali makna sejati dari keberadaan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, puisi bukan hanya sarana ekspresi estetika, tetapi juga media pencarian spiritual, sosial, dan kebangsaan.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kehancuran dan pencarian makna baru dari reruntuhan. Sutardji menghadirkan gambaran pascakerusakan—baik secara fisik maupun batin—dan mengajak bangsa untuk mencari kembali "kata", sebagai simbol dari jati diri, kesadaran, dan kekuatan penciptaan yang semestinya dimiliki oleh suatu bangsa yang pernah besar. Kata menjadi metafora bagi makna yang hilang, semangat yang padam, dan identitas yang harus diperjuangkan kembali.

Makna Tersirat

Puisi ini mengandung makna tersirat tentang kondisi sosial dan politik bangsa yang telah mengalami kehancuran akibat keserakahan, penggusuran, penindasan, dan kekuasaan otoriter (El Dictador). Di balik semua reruntuhan, api, abu, dan tulang yang disebutkan berkali-kali dalam puisi, terselip sebuah pertanyaan besar: ke mana arah bangsa ini akan dibawa jika tidak segera menemukan kata yang mencipta? Sutardji ingin menyampaikan bahwa sebuah bangsa tanpa kesadaran makna, tanpa kata-kata yang hidup, hanya akan menjadi puing-puing sejarah tanpa jiwa.

Kata di sini bukan hanya alat komunikasi, melainkan lambang dari penciptaan: suatu kekuatan yang bukan hanya menunjuk benda, tapi menghadirkan realitas baru. Inilah filsafat puisi Sutardji—bahwa kata harus menjadi kekuatan yang hidup dan aktif, bukan sekadar pelabel pasif.

Puisi ini bercerita tentang kehancuran fisik dan batin suatu bangsa. Dari bait ke bait, pembaca disuguhkan citra tentang puing-puing, api, tulang, abu, dan kelengangan. Namun, dari antara semua reruntuhan itu, sang penyair mencoba "menggurat aksara" di tembok dan pasir yang terbakar. Ini adalah simbol dari semangat penciptaan yang belum padam. Puisi ini juga menyinggung luka kolektif seperti penggusuran tanah rakyat, ketimpangan sosial, kekerasan negara, dan hilangnya suara-suara kebudayaan tradisional seperti pantun, gurindam, dan talibun.

Dengan menyebut kembali bentuk-bentuk puisi tradisional, Sutardji seakan menegaskan bahwa kehilangan makna tidak hanya terjadi dalam ranah sosial, tapi juga kultural. Budaya lisan dan kata-kata lama yang penuh nilai dan kekuatan kini telah tertimbun oleh abu zaman.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kelam, muram, dan penuh ketegangan batin. Kesan kehancuran total meliputi hampir seluruh baris puisi. Namun, ada juga rasa rindu yang membara untuk kembali membangun, rasa gelisah yang menggebu untuk segera menemukan harapan baru. Puisi ini tidak sepenuhnya menyerah dalam duka—sebab justru dari reruntuhan itu, penyair mencari dan memanggil "kata" sebagai harapan terakhir sebelum segalanya terlambat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah bahwa dalam kehancuran yang melanda bangsa—baik secara fisik maupun spiritual—masih ada harapan yang bisa dicari, yaitu melalui pencarian makna sejati. "Carilah kata, temukan ucapan," tulis Sutardji dengan penuh desakan. Kata adalah simbol dari kesadaran, kreativitas, perlawanan, dan harapan. Tanpa kata, tanpa makna, bangsa akan lumpuh dan menjadi abu sejarah. Maka, pesan moralnya adalah pentingnya kesadaran kolektif untuk bangkit kembali, menemukan suara sejati, dan tidak terjebak dalam kerusakan yang terus-menerus.

Puisi ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kritik terhadap generasi masa kini yang terlalu pasrah, apatis, dan tak lagi mampu menggali kekuatan bahasa sebagai alat perjuangan dan pembebasan.

Imaji

Puisi ini dipenuhi oleh imaji visual yang kuat, seperti:
  • "puing-puing diri", "gosong tulang", "abu dan asap", "larik-larik mayit", "terpendam dalam bait-bait diam", "ludahan saat", "teratai sebenar kata", dan "kolam kersang."
Semua imaji ini menghadirkan lanskap kehancuran dan kekosongan, tetapi juga menampilkan ketegangan antara kehancuran dan penciptaan. Imaji teratai yang muncul di kolam kering, misalnya, menjadi lambang dari harapan dan pencerahan spiritual di tengah gurun yang mati.

Selain itu, ada imaji tentang "jemari menggurat aksara" yang sangat menyentuh, menunjukkan usaha terakhir manusia untuk menulis makna di atas reruntuhan, untuk mencipta meski dunia telah hangus.

Majas

Puisi ini banyak menggunakan majas personifikasi, metafora, dan repetisi. Berikut beberapa contohnya:
  • Metafora: "kata yang mencipta", "ludahan saat", "larik-larik mayit", "pantun tak bangun", "talibun tertimbun". Di sini, kata-kata tidak hanya menjadi lambang komunikasi, tapi menjelma menjadi makhluk hidup yang membawa makna eksistensial.
  • Personifikasi: "teratai sebenar kata", "debu dalam arang patah", "air mata tenggelam dalam kedalaman gosong". Segala benda dalam puisi ini seolah bernyawa, menyuarakan luka, kerinduan, dan kehampaan.
  • Repetisi: Pengulangan frasa seperti "sisa-sisa", "kata", "puing-puing", dan "hangus" menguatkan suasana muram dan penekanan pada kondisi yang berulang-ulang tanpa perbaikan.
  • Hiperbola: Digunakan untuk menegaskan penderitaan yang sangat dalam dan kehancuran yang seolah tak terbatas, seperti pada bait: "jadilah aku / hutan hangus dan asap / kota debu dan tulang / keluasan tanpa batas / dari remah angan yang pernah ada."
Puisi "Cari" adalah puisi panjang yang tidak hanya mengajak pembaca menyelami rasa kehilangan dan kehancuran, tetapi juga menyadarkan pentingnya mencari kembali kekuatan sejati dalam "kata". Tema tentang pencarian makna dari reruntuhan dibingkai dengan imaji yang tajam dan majas penuh daya magis. Melalui makna tersirat yang kuat, puisi ini bercerita tentang kegetiran bangsa yang lupa kata-katanya sendiri, namun tetap punya kesempatan untuk membangun kembali—asal berani menyuarakan, mencipta, dan menghidupkan makna sejati dari kata.

Dengan demikian, puisi "Cari" menjadi semacam seruan kebangkitan, bukan hanya untuk penyair dan pembaca sastra, tetapi untuk seluruh elemen bangsa. Sebab, jika tidak menemukan kembali kata-kata yang hidup, yang mencipta, maka satu bangsa hanya akan menjadi sejarah kelam yang ditulis dalam pantun tak bangun dan gurindam yang lebam.

Sutardji Calzoum Bachri
Puisi: Cari
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Biodata Sutardji Calzoum Bachri
  • Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
  • Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.