Analisis Puisi:
Puisi “Catatan Tahun-Tahun yang Layu” karya M. Nurgani Asyik adalah sebuah elegi puitis yang mengalir lirih namun penuh daya reflektif. Puisi ini menyajikan semacam narasi kehidupan dan harapan yang pernah tumbuh subur, namun kini mulai layu, gugur, dan bahkan terlupakan. Dalam balutan metafora dan bahasa yang halus, penyair menangkap denyut waktu yang memudar, mimpi yang tak seluruhnya menjadi nyata, serta pertanyaan tentang kesetiaan di tengah kerasnya hidup.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kehilangan dan peluruhan harapan dalam pusaran waktu. Penyair mengangkat tentang masa lalu yang penuh kenangan, harapan-harapan yang pernah dijalin, dan akhirnya mulai pudar seiring kerasnya kehidupan. Selain itu, puisi ini juga memuat tema kesetiaan, keteguhan batin, dan pertarungan manusia dengan kenyataan hidup.
Puisi ini bercerita tentang dua manusia—kemungkinan pasangan—yang pernah merancang kehidupan bersama, membangun mimpi, membesarkan anak, dan membingkai harapan-harapan dalam keseharian. Ada penyebutan tentang “si Irna dalam buaian” yang memberi gambaran bahwa mereka pernah memiliki masa-masa awal yang penuh kebahagiaan dan pengharapan.
Namun, semua itu berubah. Waktu berjalan, tahun-tahun “layu”, dan ingatan akan masa lalu pun mulai “kumal dalam keranjang sampah.” Apa yang dulu ditulis dengan semangat kini terlipat dalam kecewa. Di ujung puisi, tokoh liris mempertanyakan seberapa kuat seseorang bisa bertahan setia dalam kehidupan yang keras—sebuah puncak renungan akan realitas.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam. Penyair menggambarkan bahwa tidak semua impian akan bertahan melintasi waktu. Meskipun masa lalu dipenuhi harapan dan kasih sayang, kenyataan hidup seringkali begitu pahit hingga memaksa orang untuk melupakan, bahkan mengabaikan, hal-hal indah yang pernah ada.
Ada juga pesan bahwa kenangan masa lalu bisa menjadi luka atau kerinduan yang terus membekas, terutama ketika hidup tak berjalan sesuai rencana. "Daun memori gugur" dan "lembar buku kita robek" menunjukkan bagaimana manusia kadang memilih untuk melupakan karena beratnya kehidupan. Namun, di balik itu semua, puisi ini juga berbicara tentang ketahanan batin dan pertanyaan akan makna setia di tengah terpaan ombak kehidupan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa melankolis, sendu, dan reflektif. Ada nuansa kontemplasi, seakan sang tokoh liris sedang duduk mengenang masa lalu sambil memandangi selembar demi selembar kenangan yang gugur seperti daun. Keheningan batin bercampur kegetiran hidup menjadi warna dominan dalam suasana puisi ini. Bahkan, ketika menyebut “Hidup ini, Mama, sangatlah keras,” suasana menjadi makin syahdu sekaligus getir.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan dari puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi bahwa hidup adalah perjalanan yang tak selalu indah. Kenangan bisa memudar, cinta bisa diuji oleh waktu, dan kesetiaan bisa terkikis oleh kerasnya realitas. Namun, dalam peluruhan itu, manusia diajak untuk tetap mengenang, tetap menghargai yang pernah ada, sekalipun mungkin tak lagi bisa dipertahankan. Ada harapan agar kita tetap tabah, walau tahun-tahun itu mungkin telah “layu”.
Imaji
Puisi ini sangat kuat dalam membangun imaji visual dan emosional:
- “Berlembar lontar catatan gugur”: menciptakan imaji tentang masa lalu yang tertulis dan kemudian gugur seperti daun, menggambarkan kenangan yang luruh.
- “Musim pun jingga dan ungu”: menciptakan imaji warna-warna senja, waktu transisi antara terang dan gelap, simbol dari perubahan atau peluruhan.
- “Menata puing-puing hati”: menguatkan imaji emosional tentang hati yang telah hancur dan mencoba diperbaiki.
- “Di rumput berembun pagi-pagi / sembari mengajar ‘Allahu Akbar’”: menciptakan imaji kehangatan, keseharian, dan nilai spiritual yang pernah hadir dalam keluarga.
- “Lembar buku... kumal dalam keranjang sampah”: imaji menyakitkan tentang kenangan yang terlupakan atau sengaja dibuang karena terlalu menyakitkan.
Majas
Puisi ini juga kaya dengan majas (gaya bahasa), antara lain:
Metafora:
- “Tahun-tahun yang layu” menggambarkan masa lalu yang telah berlalu dan tidak lagi segar atau menggembirakan.
- “Daun memori gugur” menjadi simbol dari kenangan yang hilang atau dilupakan.
- “Menata puing-puing hati” menggambarkan upaya untuk memulihkan perasaan yang telah hancur.
Personifikasi:
- “Catatan gugur”, “musim pun jingga dan ungu” memberi kesan bahwa waktu dan alam punya emosi, ikut merasakan peluruhan kehidupan tokoh dalam puisi.
Repetisi:
- Frasa “musim pun jingga dan ungu” diulang dua kali sebagai penguat suasana dan transisi dalam narasi puisi.
Hiperbola:
- “Kumal dalam keranjang sampah” adalah penguatan bahwa kenangan itu benar-benar diabaikan atau dianggap tak berguna lagi, padahal sebelumnya sangat berarti.
Puisi “Catatan Tahun-Tahun yang Layu” karya M. Nurgani Asyik adalah karya reflektif yang menyentuh sisi rapuh dari kehidupan manusia. Dalam larik-larik yang melankolis dan puitis, kita diajak menengok kembali masa lalu—bukan dengan romantisme semu, melainkan dengan kesadaran pahit bahwa waktu bisa menghapus bahkan kenangan terindah.
Namun, bukan berarti semuanya sia-sia. Dalam kenangan yang layu itu, masih ada jejak tentang cinta, pengasuhan, harapan, dan spiritualitas. Puisi ini adalah catatan getir tentang harapan yang mungkin tak semua terwujud, namun tetap layak dikenang.
Dalam hidup yang keras dan waktu yang terus mengikis, puisi ini menanyakan: seberapa sanggup manusia mempertahankan kesetiaan, bukan hanya pada pasangan, tapi pada mimpi, nilai, dan kenangan itu sendiri?
Karya: M. Nurgani Asyik