Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Cerita Burung (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Cerita Burung" karya Sapardi Djoko Damono bercerita tentang seekor burung yang melintasi sebuah kali (sungai kecil) yang pahit—sebuah ...
Cerita Burung

– ke mana mengalir kali yang getir
seekor burung terbang merendah
bening air selera tumpah

pepohonan di pinggir alir
diri sendiri punya rahasia
kali getir bumi pun getir
burung dahaga menyambar derita

– tuturkan, kapan, tuturkan
lagu bebas seorang penyair
bisa melayap di tiap desir
tuturkan, kapan, tuturkan

burung pingsan di tepi kali
yakin bertiup dari dukanya
– ke mana mengalir kali yang getir

Maret, 1958

Sumber: Majalah Merdeka (5 April 1958)

Analisis Puisi:

Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang mahir memadukan keheningan, alam, dan kerentanan manusia dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna. Puisi "Cerita Burung" adalah contoh kuat dari gaya khas Sapardi yang reflektif, minimalis, namun penuh filosofi. Meskipun hanya terdiri dari empat bait pendek dengan bentuk soneta modern, puisi ini menyimpan kedalaman eksistensial yang menyentuh: tentang penderitaan, kebebasan, dan kehilangan arah.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kegetiran hidup dan pencarian makna dalam dunia yang membisu dan menyakitkan. Kali yang getir adalah metafora dari aliran waktu atau perjalanan hidup yang pahit. Burung—sebagai simbol jiwa atau kebebasan—digambarkan berada dalam kondisi terbang rendah, dahaga, bahkan sampai pingsan. Ada kesan kegagalan dalam melampaui penderitaan, meski niat dan semangat untuk bertahan tetap hadir.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan perjuangan batin seorang individu dalam menghadapi getirnya kenyataan. Burung dalam puisi ini bukan sekadar fauna, tetapi simbol jiwa manusia yang mencari arti, mencari air—mencari ketenangan, mencari harapan. Kali yang getir melambangkan dunia yang tidak bersahabat, penuh rasa pahit dan ironi. Air yang mestinya menghidupkan justru menjadi lambang kegetiran, bahkan menyebabkannya “pingsan di tepi kali”.

Selain itu, terdapat makna tersirat mengenai peran penyair dan bahasa dalam menghadapi realitas. Kalimat “lagu bebas seorang penyair / bisa melayap di tiap desir” menunjukkan harapan bahwa puisi—meski tidak menyelesaikan masalah—bisa menjadi ruang pelarian, tempat bernapas, atau bentuk perlawanan terhadap kenyataan getir.

Unsur Puisi

Unsur-unsur puisi yang menonjol dalam karya ini meliputi:
  • Struktur: Soneta modern (3-4-4-3), menyimpang dari soneta klasik 4-4-3-3 atau 8-6, namun tetap menjunjung keharmonisan bentuk dan isi.
  • Diksi: Sederhana, namun simbolik dan sarat makna (“kali”, “burung”, “getir”, “pingsan”, “desir”).
  • Larik dan enjambemen: Beberapa larik mengalir ke baris selanjutnya, menciptakan kesan tak selesai, menegaskan suasana getir dan tak pasti.
  • Simbolisme: Burung, kali, pepohonan, dan lagu penyair dijadikan simbol kehidupan, kebebasan, penderitaan, dan harapan.
Puisi ini bercerita tentang seekor burung yang melintasi sebuah kali (sungai kecil) yang pahit—sebuah metafora tentang kehidupan yang keras, getir, dan penuh luka. Burung itu berusaha bertahan, mencari air (penawar), namun akhirnya justru pingsan. Kisah burung ini kemudian berbaur dengan pertanyaan-pertanyaan puitis tentang kapan suara (lagu penyair) bisa mengatasi dukanya, kapan tutur bisa menjadi penghibur yang menyapu penderitaan.

Burung itu bisa dibaca sebagai representasi siapa saja yang mengalami getirnya hidup: penyair, rakyat kecil, orang yang terasing, atau bahkan umat manusia yang kehilangan arah.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah sendu, getir, dan kontemplatif. Ada ketenangan palsu dari “pepohonan di pinggir alir”, namun di balik itu semua tersembunyi beban dan penderitaan batin. Kalimat seperti “burung pingsan di tepi kali” dan “kali getir bumi pun getir” menggambarkan suasana batin yang penuh luka dan nyaris menyerah. Tidak ada suara keras, hanya desir, hanya lirih—namun menyayat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah bahwa dalam hidup, kita akan menghadapi kegetiran yang tidak selalu bisa dijelaskan atau diselesaikan, namun kita tetap harus bertahan dan mencari suara sendiri untuk menyikapinya. Seperti burung yang tetap terbang meski rendah, seperti penyair yang tetap bernyanyi meski dukanya tak juga reda.

Puisi ini seolah menyuarakan bahwa meskipun hidup tidak selalu memberi jawaban, kita masih bisa menuturkan, bertanya, dan berharap—meski dalam desir paling lirih.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan suara:

Imaji visual:
  • “Seekor burung terbang merendah” — menggambarkan kelelahan dan kehati-hatian.
  • “Bening air selera tumpah” — air yang jernih justru menjadi tumpahan dari nafsu atau penderitaan.
  • “Burung pingsan di tepi kali” — imaji yang menggambarkan kegagalan atau kepasrahan.
Imaji auditif (suara):
  • “Lagu bebas seorang penyair”, “desir” — suara-suara lembut yang mewakili batin dan renungan.

Majas

Beberapa majas yang dapat dikenali dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “Kali yang getir” bukan sungai sungguhan, melainkan gambaran dari kehidupan yang pahit.
  • “Burung pingsan” mewakili keputusasaan manusia.
Personifikasi:
  • “Selera tumpah” — selera dihidupkan sebagai entitas yang bisa tumpah.
  • “Yakin bertiup dari dukanya” — keyakinan digambarkan seperti angin yang lahir dari duka.
Repetisi:
  • “Tuturkan, kapan, tuturkan” — pengulangan ini menegaskan kegelisahan dan kebutuhan untuk menyuarakan sesuatu yang terpendam.
Simbolisme:
  • Burung = jiwa manusia / penyair / kebebasan
  • Kali = hidup / penderitaan
  • Lagu = ekspresi batin / harapan
Puisi "Cerita Burung" adalah puisi pendek yang memuat narasi getir tentang makna hidup, pencarian suara, dan kerinduan akan ketenangan. Dalam gaya khas Sapardi Djoko Damono, puisi ini tidak menggurui, tidak meledak-ledak, tapi justru menggelitik batin pembaca melalui bahasa yang lirih dan simbolik. Dalam sunyi yang mendesir, puisi ini berkata: hidup mungkin pahit, tapi kita masih bisa bernyanyi—meski hanya dalam mimpi, dalam desir, dalam pingsan sekalipun.

Puisi ini adalah pengingat bahwa meskipun dunia memaksa kita merendah, menyakitkan kita, bahkan menjatuhkan kita, kita tetap bisa — dan harus — bertanya, menuturkan, dan mencoba memahami arah aliran hidup kita sendiri.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Cerita Burung
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.