Cinta Rabiah
Rabiah, kau kecewa
pada peradaban
manusia
buru-buru merujuk Tuhan
bercinta
gemerincing rebana dan tarian
dendangan sepanjang jalan
sebagai sahaya kesepian
samalah seperti
ketika kau berlari-lari
menating semangkok air
dan setitik api
imajinasi
cinta yang menghanguskan surga
adalah sepercik angan
yang dusta
angkuh dalam kelembutan
kata-kata
rela sepenuh-penuh neraka
menyingkap hijab
kau
manusia
Analisis Puisi:
Puisi “Cinta Rabiah” karya Damiri Mahmud adalah meditasi puitik yang mengangkat sosok Rabi’ah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan legendaris dari Basrah, yang terkenal karena cintanya yang murni dan absolut kepada Tuhan. Dalam puisi ini, penyair tidak sekadar mengenang Rabiah sebagai simbol spiritualitas, tetapi juga menjadikannya personifikasi kritik terhadap cinta-cinta palsu yang dibungkus simbolisme agama dan formalitas spiritual.
Dengan gaya puitik yang kontemplatif dan simbolis, puisi ini menghadirkan suara yang lirih, getir, dan penuh refleksi, sekaligus membuka perenungan tentang hakikat cinta yang sejati — cinta yang melampaui pahala dan siksa, cinta yang menghanguskan surga, dan cinta yang hanya ingin melebur dalam kehadiran-Nya.
Kritik Terhadap Kepalsuan dan Pemujaan Palsu
Puisi ini bercerita tentang Rabiah, seorang sufi perempuan yang dalam sejarah spiritual Islam dikenal karena mencintai Tuhan tanpa pamrih, bahkan tanpa ingin masuk surga atau takut neraka. Ia ingin mencintai Tuhan bukan karena pahala atau ancaman, tetapi murni karena Tuhan layak dicinta.
Dalam puisi ini, Rabiah digambarkan kecewa pada peradaban manusia yang terburu-buru menyebut Tuhan, tapi tidak benar-benar mencintai-Nya. Mereka hanya memakai simbol: rebana, tarian, dendangan, tapi jiwa mereka kosong, sepi. Dalam ketidaktulusan itu, Rabiah berlari — membawa semangkuk air dan setitik api — yang dalam sejarah sufisme dimaknai sebagai api untuk membakar surga dan air untuk memadamkan neraka, agar manusia mencintai Tuhan bukan karena imbalan atau hukuman.
Tema: Cinta Ilahiah yang Murni dan Kritik terhadap Religiusitas Palsu
Tema utama puisi ini adalah cinta Ilahiah yang tulus dan melampaui motivasi duniawi, terinspirasi dari ajaran Rabiah. Ia ingin mengajak manusia untuk meninggalkan cinta yang semu dan penuh kepentingan, serta menemukan cinta sejati yang jujur dan bebas dari kemunafikan.
Tema lain yang menguat adalah kritik terhadap keberagamaan yang formalistis, yang sibuk dengan ritual tanpa kedalaman. Kata-kata seperti "gemerincing rebana", "tarian", dan "dendangan" di sepanjang jalan mengisyaratkan pemujaan yang mungkin meriah, tapi hampa secara spiritual.
Makna Tersirat: Cinta Sejati Tidak Menagih, Ia Melebur
Puisi ini mengandung makna tersirat bahwa cinta sejati adalah penghilangan ego dan pembebasan diri dari keinginan. Dalam cinta Rabiah, surga dan neraka bukan lagi tujuan, melainkan hanya bayang-bayang. Yang penting adalah menghadirkan diri secara total untuk Tuhan.
Makna lainnya adalah bahwa manusia modern — termasuk yang tampak religius — sering kali sekadar memainkan simbol dan kehilangan inti, yaitu hubungan yang intim, hening, dan jujur dengan Tuhan.
Suasana dalam Puisi: Hening, Getir, dan Mistikal
Suasana dalam puisi terasa hening dan mistikal, dengan lapisan kekecewaan yang dalam. Ada kesunyian spiritual ketika Rabiah digambarkan sebagai "sahaya kesepian", dan juga keteguhan yang membara saat ia rela menyingkap hijab demi menemukan kebenaran cinta.
Getir muncul dalam baris “cinta yang menghanguskan surga / adalah sepercik angan yang dusta”, yang menyiratkan bahwa bahkan cinta yang terdengar mulia bisa jadi hanya ilusi jika masih terikat ambisi pribadi.
Amanat / Pesan: Temukan Cinta Tanpa Pamrih, Tanpa Topeng
Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini adalah: jadikan cinta kepada Tuhan sebagai perjalanan tulus tanpa syarat, bukan karena takut neraka atau ingin surga. Cinta yang sejati tidak menuntut, tetapi rela memberikan segalanya bahkan kehancuran, jika itu untuk menyatu dengan Yang Dicintai.
Puisi ini juga menyampaikan kritik bahwa manusia sering kali berpura-pura mencintai Tuhan, padahal sesungguhnya hanya mencintai dirinya sendiri dan keinginannya.
Imaji: Semangkuk Air dan Setitik Api, Rebab dan Tarian, Hijab dan Neraka
Puisi ini kaya imaji simbolik dan sufistik:
- “Semangkuk air dan setitik api” → simbol cinta Rabiah untuk membakar surga dan memadamkan neraka, agar tidak menjadi motif cinta.
- “Gemerincing rebana dan tarian / dendangan sepanjang jalan” → menghadirkan suasana ritual yang semarak tapi tanpa kedalaman spiritual.
- “Menyingkap hijab” → simbol proses pencapaian spiritual tertinggi, yaitu melewati tabir dunia dan menemukan wajah Tuhan.
- “Angkuh dalam kelembutan kata-kata” → menggambarkan kontradiksi cinta mistik: lembut tapi juga penuh keberanian.
Majas: Metafora, Simbol, dan Paradoks Mistikal
Puisi ini menggunakan majas khas sufistik dan filosofis:
Metafora:
- “Cinta yang menghanguskan surga” → menggambarkan cinta yang transenden dan ekstrem dalam pengorbanan.
- “Sahaya kesepian” → menampilkan Rabiah sebagai budak cinta Tuhan, tetapi juga kesepian dalam perjalanan spiritualnya.
Simbolisme:
- “Hijab”, “semangkuk air”, “setitik api”, “rebana” → adalah simbol khas dunia tasawuf yang menunjukkan perjalanan spiritual dan pembebasan diri.
Paradoks:
- “rela sepenuh-penuh neraka” → cinta yang tulus bahkan sanggup menanggung neraka dengan ikhlas.
- “angkuh dalam kelembutan” → menggambarkan keberanian spiritual dalam kelembutan hati.
Sebuah Perenungan tentang Cinta, Tuhan, dan Manusia
Puisi “Cinta Rabiah” karya Damiri Mahmud bukan hanya puisi tentang cinta kepada Tuhan, tapi juga kritik spiritual yang tajam terhadap kemunafikan dan kepalsuan cinta di tengah peradaban modern. Dengan gaya sufistik dan kontemplatif, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung: apakah cinta yang kita ucap benar-benar murni, atau hanya dibalut kepentingan?
Tema cinta mistik, makna tersirat yang mendalam, suasana spiritual dan melankolis, serta imaji dan majas yang simbolik dan metaforis, membuat puisi ini menjadi zikir lirih yang mengguncang jiwa. Ia tidak hanya mengutip sosok Rabiah sebagai sejarah, tetapi menjadikannya cermin yang menyentuh hati setiap pencari Tuhan — yang rindu mencinta dengan jujur, tanpa syarat, dan tanpa pamrih.
Puisi: Cinta Rabiah
Karya: Damiri Mahmud
Biodata Damiri Mahmud:
- Damiri Mahmud lahir pada tanggal 17 Januari 1945 di Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara.
- Damiri Mahmud meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2019 (pada usia 74) di Deli Serdang, Sumatra Utara.