Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Dalam Gerimis (Karya Adri Darmadji Woko)

Puisi “Dalam Gerimis” karya Adri Darmadji Woko bercerita tentang seorang tokoh yang merasa ditinggalkan dan tidak diperhatikan oleh orang ...
Dalam Gerimis

Kau tak mau mendengar juga, ketika kupanggil namamu
    di kebun itu.
Kau tak mau mencarikan pula, ketika kau merasa aku
    tidak ada di dekatmu.
Kau tak mau tahu, ketika dalam gerimis aku tergelincir di
    kebun itu dan seekor ular memberinya bisa.
Ular itu telah ke dalam celana dan tingal di sana.

1975

Sumber: Horison (April, 1977)

Analisis Puisi:

Puisi “Dalam Gerimis” karya Adri Darmadji Woko merupakan contoh puisi pendek yang menyimpan kedalaman emosional. Tersusun hanya dalam 1 bait dengan 7 baris, puisi ini menyampaikan nuansa keterasingan, luka batin, dan ketegangan relasi dalam balutan imaji yang tidak biasa. Dengan gaya lugas namun simbolik, penyair menghadirkan situasi yang mampu menggugah pembaca untuk menafsirkan lebih jauh dari sekadar apa yang tampak di permukaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesepian dalam relasi dan pengabaian emosional. Puisi menggambarkan seseorang yang merasa tidak dipedulikan, bahkan dalam keadaan sakit atau terancam. Ada rasa terluka secara fisik dan batin yang membayangi tiap larik puisi ini, diperkuat oleh gambaran gerimis, tergelincir, dan gigitan ular—semuanya menjadi simbol dari relasi yang renggang dan perasaan ditinggalkan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap hubungan yang tidak setara secara emosional. Tokoh aku dalam puisi mengalami kondisi bahaya—tergigit ular—namun tidak ada tanggapan dari sosok yang dipanggil. Ia merasa tidak dicari, tidak didengar, dan tidak dipedulikan.

“Kau tak mau mendengar juga… kau tak mau mencarikan… kau tak mau tahu…” adalah pengulangan yang membentuk irama penolakan. Ini bukan hanya soal fisik, tapi juga tentang batin yang merasa diabaikan dalam situasi genting. Kalimat terakhir yang mengejutkan—“ular itu telah ke dalam celana dan tinggal di sana”—secara simbolik bisa dibaca sebagai metafora traumatis, bahkan mungkin menyiratkan kekerasan, pelecehan, atau penderitaan yang disimpan secara diam-diam.

Puisi ini tidak harus dibaca secara literal. Justru, kedalaman makna hadir melalui kemungkinan tafsir simbolik yang beragam—yang masing-masing mengarah pada bentuk penderitaan, luka, atau trauma yang ditanggung dalam kesunyian dan pengabaian.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang tampak dalam karya ini meliputi:
  • Diksi: Kata-kata yang dipilih cenderung lugas dan langsung, namun tetap membuka ruang simbolik seperti “gerimis”, “tergelincir”, dan “ular”.
  • Tipografi: Bentuk visual puisi ini menunjukkan keheningan dan perenungan, dengan jeda yang panjang antar baris, mencerminkan jarak emosional antara aku dan kau.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang merasa ditinggalkan dan tidak diperhatikan oleh orang terdekatnya dalam situasi krisis. Ia memanggil, ia tak ditemukan, dan ketika ia tergelincir serta tergigit ular, sosok yang disebut ‘kau’ tetap tidak peduli. Pada akhirnya, situasi berbahaya itu dibiarkan terjadi dan menetap—secara harfiah maupun simbolik.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat suram, dingin, dan mencekam. Kata “gerimis” menambah kesan murung dan sepi, mempertegas perasaan ditinggalkan. Baris terakhir menciptakan kejutan sekaligus rasa ngeri, karena menggabungkan ancaman biologis (ular dan bisa) dengan ketidakberdayaan dan kesendirian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat puisi ini bisa dibaca sebagai peringatan tentang bahaya pengabaian dalam hubungan. Tidak mendengar, tidak mencari, dan tidak peduli ketika seseorang dalam kesulitan bisa berakibat fatal. Ada juga pesan tentang pentingnya peka terhadap penderitaan orang lain, karena ketidakhadiran atau ketidakpedulian bisa memperpanjang luka yang dalam. Di sisi lain, puisi ini juga bisa menjadi suara bagi mereka yang menderita diam-diam—tanpa terlihat, tanpa didengar.

Imaji

Puisi ini memunculkan imaji kuat yang bersifat visual dan kinestetik, seperti:
  • “dalam gerimis aku tergelincir” → menciptakan imaji gerak yang mengandung rasa jatuh, kehilangan keseimbangan.
  • “seekor ular memberinya bisa” → visualisasi biologis yang menyiratkan bahaya mendadak.
  • “ular itu telah ke dalam celana dan tinggal di sana” → imaji yang memunculkan rasa ngeri, tidak nyaman, dan trauma mendalam.
Imaji dalam puisi ini tidak indah dalam arti estetika, namun menggugah secara psikologis dan emosional.

Majas

Beberapa majas penting yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi: Tiga baris pertama dimulai dengan “Kau tak mau…” → memperkuat nuansa pengabaian dan ketegangan.
  • Simbolisme: “gerimis” → melambangkan kesedihan, kehampaan, atau kesepian; “ular” → bisa dimaknai sebagai simbol dari trauma, bahaya tersembunyi, atau kekerasan.
  • Metafora: Baris terakhir sangat mungkin metaforis—bukan sekadar soal ular fisik, tetapi trauma yang tinggal di tubuh dan batin.
  • Ironi: Situasi tragis “aku tergelincir dan tergigit ular” yang tetap tidak mengundang kepedulian dari ‘kau’ → menciptakan ironi emosional.
Puisi “Dalam Gerimis” karya Adri Darmadji Woko merupakan puisi pendek namun menyentuh sisi paling dalam dari emosi manusia. Dengan tema pengabaian, trauma, dan kesendirian, puisi ini mengajak pembaca menyelami luka batin yang sering tidak tampak namun membekas.

Lewat struktur yang sederhana, makna tersirat yang dalam, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini menjadi representasi penderitaan yang tidak selalu bersuara, namun hadir di antara gerimis dan keheningan. Ia bukan sekadar cerita tentang seekor ular, melainkan tentang luka yang diam-diam tinggal di tubuh dan tak seorang pun mau tahu.

Puisi: Dalam Gerimis
Puisi: Dalam Gerimis
Karya: Adri Darmadji Woko

Biodata Adri Darmadji Woko:
  • Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.