Dasar Sampah
Tidak ada lagi kenyamanan yang dulu terasa
Setiap lorong tercium bau sampah yang tak biasa
Bau sampah tercium hingga kini
sampah-sampah semakin menggigit
Sampah-sampah kini lebih berkuasa dari penguasa
Jari-jari tak berani menyentuh sampah lagi
Menyentuh sampah bahaya mengancam nyawa
Dasar sampah.
Ruteng, 22 Juli 2025
Analisis Puisi:
Puisi “Dasar Sampah” karya Karno Dentius Oce tampak sederhana dalam bentuk dan pilihan katanya, namun menyimpan kritik sosial yang tajam dan penuh satire. Melalui diksi “sampah” yang diulang-ulang dalam tiap larik, penyair tak hanya menunjuk pada sampah dalam arti harfiah, tetapi juga pada figur atau sistem yang dianggap tak berguna, kotor, dan bahkan berbahaya.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kerusakan sosial dan ketimpangan kekuasaan. Dengan menggunakan metafora “sampah”, puisi ini menyampaikan kondisi masyarakat yang tidak lagi nyaman, karena kekuasaan telah dikuasai oleh pihak-pihak tak layak. Dalam konteks ini, “sampah” bukan sekadar benda buangan, melainkan simbol dari korupsi, kekotoran moral, dan dominasi kekuasaan yang merugikan rakyat.
Secara lebih luas, tema lain yang tersirat adalah rasa frustrasi terhadap kekuasaan yang membungkam, dan kebusukan sistemik yang tak bisa lagi ditutupi.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan banyak makna tersirat yang mengarah pada kritik terhadap kekuasaan atau sistem sosial-politik yang kotor dan menakutkan. Kalimat “sampah-sampah kini lebih berkuasa dari penguasa” secara implisit menyampaikan sindiran tajam bahwa orang-orang yang tidak layak, yang korup dan merusak, justru kini memiliki kuasa lebih besar daripada mereka yang seharusnya memimpin secara benar.
Kalimat “menyentuh sampah bahaya mengancam nyawa” memperkuat makna tersirat bahwa siapa pun yang mencoba melawan atau membongkar kebusukan itu akan berada dalam bahaya. Ini menunjukkan bahwa sampah bukan hanya ada di jalan atau lorong, melainkan telah merasuki sistem kekuasaan, dan siapa pun yang menyentuhnya bisa terancam keselamatan.
Puisi ini bercerita tentang kondisi masyarakat yang tercekik oleh situasi sosial yang penuh kebusukan dan ketakutan. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan sehari-hari tidak lagi nyaman karena “bau sampah” menyebar ke mana-mana—sebuah metafora dari kondisi yang membusuk, baik secara harfiah maupun simbolik. Ketika bahkan “jari-jari tak berani menyentuh sampah lagi”, itu mencerminkan masyarakat yang hidup dalam ketakutan dan keputusasaan.
Bangunan puisinya pendek, tapi narasi yang dibawa sangat politis: masyarakat yang semula nyaman kini hidup dalam cengkeraman kekuatan kotor dan tak bermoral, yang disebut dalam puisi secara sinis sebagai “sampah”.
Imaji
Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan cenderung bersifat olfaktori (penciuman) dan visual:
- “Setiap lorong tercium bau sampah yang tak biasa” → menciptakan imaji penciuman yang sangat mengganggu dan konkret.
- “sampah-sampah semakin menggigit” → imaji visual sekaligus metaforis yang memperlihatkan bahwa sampah kini bukan hanya benda mati, tapi telah menjadi makhluk buas yang menyakiti.
Dari imaji-imaji ini, pembaca bisa merasakan atmosfer sesak dan mencekam, serta ketakutan yang membayangi ruang publik dan batin warga.
Majas
Puisi ini sarat dengan majas metafora dan hiperbola, yang digunakan untuk memperkuat kritik sosialnya:
- Metafora: “sampah” sebagai metafora kekuasaan yang rusak, sistem yang membusuk, atau figur-figur korup yang mengendalikan hidup orang lain.
- Hiperbola: “sampah-sampah semakin menggigit” dan “menyentuh sampah bahaya mengancam nyawa” adalah bentuk pembesaran makna untuk mempertegas bahayanya sampah (baik nyata maupun simbolik).
- Personifikasi: Sampah diberi sifat seperti bisa menggigit dan mengancam, seolah-olah ia adalah makhluk hidup yang menyerang manusia.
Penggunaan majas-majas ini membuat puisi pendek ini terasa hidup, tajam, dan menusuk nurani pembaca.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi adalah pengap, mencekam, dan penuh ketakutan. Tak ada satupun bait atau larik yang memberikan kelegaan atau harapan. Setiap larik justru menguatkan rasa tidak aman. Bau sampah bukan hanya tidak enak, tetapi menyebar dan menguasai. Keberadaan sampah berubah dari gangguan menjadi ancaman. Akibatnya, terciptalah suasana yang paranoid dan sunyi, di mana masyarakat bahkan tak mampu menyentuh masalah karena takut pada risikonya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini sangat jelas meski disampaikan secara simbolik: ketika sistem yang seharusnya bersih dan melindungi justru dikuasai oleh “sampah”, maka masyarakat akan hidup dalam ketakutan dan ketidaknyamanan. Puisi ini ingin menggugah kesadaran kita bahwa membiarkan sampah (dalam arti moral, sosial, maupun struktural) merajalela sama dengan menyerahkan kehidupan kepada bahaya yang terus membayangi.
Lebih dalam, puisi ini juga memberi peringatan halus bahwa jika masyarakat terus diam, maka kekuasaan akan diambil alih oleh pihak-pihak yang tidak bermoral. Maka, ada dorongan tersembunyi agar pembaca tidak apatis, meski menyentuh “sampah” bisa berarti mempertaruhkan nyawa.
Puisi “Dasar Sampah” karya Karno Dentius Oce adalah puisi pendek namun padat kritik. Melalui metafora yang lugas dan suasana yang mencekam, puisi ini membuka ruang tafsir sosial yang dalam: tentang kekuasaan yang telah dibajak oleh moralitas rendah, tentang masyarakat yang terpenjara dalam ketakutan, dan tentang bagaimana “sampah” bisa menjadi penguasa ketika yang bersih memilih bungkam.
Dengan kekuatan pada tema, makna tersirat, serta penggunaan imaji dan majas yang tajam, puisi ini menjadi cermin dari banyak realitas sosial masa kini. Dan di balik larik terakhirnya yang menghardik “Dasar sampah.”, tersimpan pertanyaan besar bagi kita semua: siapa yang sesungguhnya membiarkan semua ini terjadi?
Karya: Karno Dentius Oce
Biodata Karno Dentius Oce:
- Karno Dentius Oce saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Teologi, di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Ia sering menulis laporan jurnalistik di TribunFlores.com dan Floresa.co, juga bergabung dalam UKM Jurnalistik Kampus Unika St. Paulus Ruteng pada tahun 2025.