Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Depan Pusara (Karya Wing Kardjo)

Puisi “Depan Pusara” karya Wing Kardjo bercerita tentang seseorang yang berdiri di depan pusara (makam) dan merenungi kembali jalan hidupnya.
Depan Pusara

Selama ini mungkinkah sasar jalan
memuja hidup, mengejar
bayang-bayang

Memang ajal urusan masing-masing
bisakah kau bicara setelah
begitu terbaring

Kutinggalkan jalan sederhana, benang
kusut rumit kuurai dengan waktu
Hari tak kunjung terang, benang
tak lagi bisa kurentang.

Telah kutinggalkan jalan sederhana, setapak
jelas menuju dirimu. Ajal memang urusan
masing-masing. Masih juga bicara
setelah begitu terbaring.

Sumber: Fragmen Malam, Setumpuk Soneta (1997)

Analisis Puisi:

Puisi “Depan Pusara” karya Wing Kardjo merupakan sebuah soneta dengan struktur 3344, yang menggambarkan kontemplasi mendalam di hadapan makam seseorang. Dengan gaya khasnya yang reflektif dan simbolik, Wing Kardjo menyajikan sebuah permenungan tentang kehidupan, kematian, dan kesia-siaan pengejaran duniawi.

Tema

Puisi ini mengangkat tema penyesalan dan kontemplasi tentang kematian. Di hadapan pusara, penyair merenungi apakah kehidupannya selama ini hanya sebatas mengejar bayang-bayang semu. Kematian menjadi titik hening yang memaksa kita merefleksikan ulang arah dan makna dari perjalanan hidup.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berdiri di depan pusara (makam) dan merenungi kembali jalan hidupnya. Ia bertanya-tanya apakah selama ini ia telah tersesat dalam ambisi dan pengagungan kehidupan, serta menyadari bahwa kematian membungkam semua kata, tetapi sekaligus tetap "bicara" dalam diamnya. Ia mengingat bahwa ada jalan sederhana yang pernah ia tinggalkan, dan kini ia sadar bahwa kompleksitas hidup yang dipilih tak mengantar pada kepuasan, melainkan kebuntuan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap pola hidup yang terlalu rumit dan penuh ambisi, serta keinsafan bahwa kematian adalah keniscayaan yang tidak bisa dinegosiasi. Puisi ini seolah mengajukan tanya kepada diri dan pembaca: apakah hidup yang dijalani benar-benar berarti, atau hanya mengejar ilusi?

Kalimat "kutinggalkan jalan sederhana" menyiratkan bahwa manusia sering tergoda memilih jalan hidup yang rumit dan menjauh dari kesederhanaan—baik secara moral, spiritual, maupun sosial.

Unsur Puisi

  • Bentuk: Soneta (14 baris) dengan pola 3–3–4–4, cukup unik dan menunjukkan pergeseran dari pengantar refleksi ke puncak emosi.
  • Diksi: Kata-kata seperti ajal, pusara, benang kusut, terang dipilih dengan penuh pertimbangan untuk mempertegas kesan reflektif dan eksistensial.
  • Pengulangan: Frasa “Telah kutinggalkan jalan sederhana” dan “Ajal memang urusan masing-masing” memberi tekanan mendalam terhadap penyesalan dan kesadaran.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini hening, suram, dan reflektif. Ada perasaan sedih, ragu, dan sekaligus kecewa terhadap diri sendiri. Sunyi pusara menjadi ruang spiritual yang menghadirkan kedalaman batin dan perenungan tajam atas hidup.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa manusia sebaiknya tidak meninggalkan kesederhanaan dan jalan hidup yang jelas hanya demi ambisi kosong. Waktu yang digunakan untuk mengurai "benang kusut" bisa sia-sia, sebab kematian akan datang tanpa peduli apakah kita sudah mengerti arah hidup atau belum.

Puisi ini menyiratkan pesan agar kita menjalani hidup dengan kesadaran dan kesederhanaan, sebelum semuanya terlambat.

Imaji

Wing Kardjo menyisipkan imaji visual dan temporal yang kuat:
  • “benang kusut rumit kuurai dengan waktu” – menggambarkan kehidupan yang ruwet, penuh masalah.
  • “Hari tak kunjung terang” – menciptakan bayangan tentang hari-hari yang tidak memberikan pencerahan atau kejelasan.
  • “di depan pusara” – membangun suasana hening dan sakral, penuh makna kematian.

Majas

Beberapa majas penting dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “benang kusut” adalah metafora untuk kehidupan yang rumit, sulit diurai.
  • Personifikasi: “hari tak kunjung terang” memberi kesan hari bisa bersikap atau merespons, memperkuat perasaan murung.
  • Paradoks: “masih juga bicara setelah begitu terbaring”—kematian digambarkan sebagai tetap mampu memberi pelajaran.
  • Repetisi: Pengulangan frasa tentang jalan sederhana dan soal ajal memperkuat tekanan emosional dan renungan.
Puisi “Depan Pusara” karya Wing Kardjo adalah puisi yang mendalam dan kontemplatif, menyuarakan renungan eksistensial tentang arti kehidupan dan keheningan kematian. Penyair berhasil memotret kegelisahan manusia modern yang meninggalkan kesederhanaan, demi sebuah kehidupan yang rumit namun tak bermakna.

Dengan kekuatan struktur soneta 3344, diksi simbolik, serta suasana sunyi yang mengendap dalam benak, Wing Kardjo menyampaikan pesan moral dan spiritual bahwa ajal adalah milik setiap orang, dan di hadapan kematian, segala rumitnya ambisi menjadi tak berarti.

Puisi ini bukan sekadar ratapan, melainkan ajakan untuk merenungi arah hidup, dan sebuah peringatan akan kefanaan yang tak bisa ditawar.

Puisi Wing Kardjo
Puisi: Depan Pusara
Karya: Wing Kardjo

Biodata Wing Kardjo:
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja lahir pada tanggal 23 April 1937 di Garut, Jawa Barat.
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2002 di Jepang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.