Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Kuala (Karya Rifa'i Ali)

Puisi “Di Kuala” karya Rifa’i Ali bercerita tentang suasana pagi di kuala—tempat pertemuan antara sungai dan laut. Digambarkan dengan detail visual ..
Di Kuala

Malam silam fajar menyingsing,
Awan berkuak matari nampak,
Kabut berpusing daun berdering,
Sinar kilauan di ombak rampak.

Sayap terkembang masuk kuala,
Putih berleret berbanjar-banjar,
Menyembah syamsiar tunduk kepala,
Girang cemerlang berkejar-kejar.

Pelangi warna perarakan ombak,
Halus tari menyusur pantai,
Merdu suara alun bersibak,
Semerbak udara kembang teratai.

Segenap riak bersukacita,
Dalam lentunan keindahan pagi,
- Ikut pula bergirang beta
Walau masing-masing tidak mengerti.

Sumber: Kata Hati (1941)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Kuala” karya Rifa’i Ali adalah lukisan puitik yang lembut dan penuh estetika mengenai sebuah pagi yang indah di kuala—muara sungai tempat perairan darat bertemu dengan laut. Puisi ini bukan sekadar penggambaran alam, melainkan juga sarana renungan akan keberadaan manusia dalam harmoni semesta. Dengan gaya bahasa klasik dan struktur yang teratur (empat bait, masing-masing empat baris), puisi ini memperlihatkan kematangan rasa dan imajinasi seorang penyair yang peka.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keindahan alam pagi di kuala yang dipenuhi oleh gerakan, suara, dan warna alami. Namun, di balik keindahan itu tersirat pula tema harmoni dan keterhubungan makhluk hidup dalam semesta, serta perasaan keterasingan dan pencarian makna oleh manusia di tengah kemegahan alam.

Puisi ini bercerita tentang suasana pagi di kuala—tempat pertemuan antara sungai dan laut. Digambarkan dengan detail visual dan suara: kabut berpusing, daun berdering, sinar memantul di ombak, burung-burung putih terbang berbanjar, dan pelangi yang mengiringi ombak menari di tepi pantai. Penyair memerhatikan semua itu dengan penuh kekaguman dan pada akhirnya menyatakan bahwa ia turut bergembira bersama alam, meskipun masing-masing tak saling mengerti.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari orkestrasi besar alam semesta. Semua elemen alam tampak bersuka cita dalam gerakan pagi, dan manusia—diwakili oleh penyair—ikut bergembira meskipun menyadari bahwa komunikasi antar unsur alam dan dirinya bersifat tak langsung dan intuitif.

Ini menunjukkan rasa rendah hati manusia terhadap kebesaran ciptaan, sekaligus kesadaran bahwa kita hidup berdampingan dengan alam yang memiliki kehidupannya sendiri, yang tidak selalu harus dipahami secara rasional.

Unsur Puisi

  • Diksi: Pemilihan kata bersifat klasik dan indah—seperti syamsiar, rampak, berbanjar-banjar, yang memperkuat nuansa sastra lama dan kekayaan bunyi.
  • Rima dan Irama: Puisi ini berpola rima a-b-a-b, dengan alur bunyi yang halus dan harmonis. Irama tiap baris mendukung suasana tenang namun hidup dari pagi di kuala.
  • Imajinasi: Puisi ini dibangun dari pengamatan visual yang kuat, namun juga penuh makna emosional dan kontemplatif.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah tenang, damai, penuh keindahan dan sukacita alami. Ada kesan kagum dan damai yang mengalir dari bait ke bait, menggambarkan sebuah pagi yang sempurna: sinar mentari, ombak berkilau, burung yang terbang, udara semerbak, dan alun suara laut.

Namun pada baris terakhir, muncul sentuhan lirih dan filosofis—penyair merasa senang, tetapi juga sadar akan keterbatasan dirinya untuk memahami alam secara utuh. Ada keteduhan yang terselip rasa kecil dan kontemplatif.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk menghargai dan menyatu dalam keindahan alam. Tanpa harus memahami secara rasional, cukup hadir dan menyadari bahwa kita bagian dari semesta yang menari bersama. Puisi ini juga mengajarkan tentang kerendahan hati, bahwa di tengah gegap gempita alam, manusia hanya penonton yang bisa ikut bersuka cita—meski tak mengerti seluruh maknanya.

Imaji

Puisi ini sangat kuat dalam imaji visual dan auditori:
  • “Kabut berpusing daun berdering” → menghidupkan suara dan gerak pagi hari.
  • “Sinar kilauan di ombak rampak” → bayangan visual air yang berkilau-kilau.
  • “Sayap terkembang masuk kuala, putih berleret berbanjar-banjar” → menggambarkan sekawanan burung terbang yang teratur.
  • “Pelangi warna perarakan ombak” → lukisan indah perpaduan warna dan gerakan air.
  • “Semerbak udara kembang teratai” → imaji penciuman yang menguatkan ketenangan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “kabut berpusing daun berdering”, memberi sifat gerak dan bunyi pada benda mati.
  • Metafora: “Sinar kilauan di ombak rampak” bisa dimaknai sebagai metafora semangat atau harapan pagi.
  • Simile tersirat: “Girang cemerlang berkejar-kejar”, menggambarkan suasana pantai dan burung seperti anak-anak bermain, meski tak disebut langsung sebagai perbandingan.
Puisi “Di Kuala” karya Rifa’i Ali adalah perpaduan elegan antara kepekaan estetika terhadap alam dan kedalaman kontemplatif atas posisi manusia dalam semesta. Penyair tidak hanya menggambarkan keindahan alam pagi di muara, tapi juga menyisipkan perasaan bahwa manusia—sekecil apapun perannya—masih bisa merasakan harmoni dari semesta yang lebih besar. Dengan struktur klasik, diksi halus, dan imaji kaya, puisi ini menjadi representasi utuh dari karya puitik yang indah sekaligus penuh makna.

Puisi: Di Kuala
Puisi: Di Kuala
Karya: Rifa'i Ali

Biodata Rifa'i Ali:
  • Rifa'i Ali lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 24 April 1909.
  • Rifa'i Ali adalah salah satu Sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.