Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sisi Waktu (Karya Fridolin Ukur)

Puisi “Di Sisi Waktu” karya Fridolin Ukur bercerita tentang dua orang (atau lebih) yang telah menempuh perjalanan bersama dalam hidup, dan pada ...
Di Sisi Waktu

        Kita berpacu dengan waktu
        Menghitung hari-hari usang
        Perjalanan kita bersama

Malam ini kita berhenti
Di sisi waktu
Persimpangan yang akan memisahkan:
Bulan pucat dengan mentari emas
Benua dingin dengan khatulistiwa gerah

        Kita hidup di kesementaraan segala
        Tidak ada yang bisa bertahan
        Kecuali cinta dan persahabatan

Kita berhenti di sisi waktu
Perbatasan risau yang begini lengang
Berkaca pada pengalaman
Kelampauan yang cukup panjang
Dan masing-masing kita mendamba
Secercah kenangan untuk dibawa
Biar tak berwarna
Biar tak bernada
Asal bermakna!

Sumber: Wajah Cinta (2000)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Sisi Waktu” karya Fridolin Ukur merupakan refleksi mendalam tentang perjalanan hidup, keterbatasan waktu, dan makna dari hubungan antarmanusia, khususnya cinta dan persahabatan. Dalam bentuk yang naratif sekaligus kontemplatif, puisi ini menyuguhkan gambaran perpisahan dalam lanskap waktu dan kenangan, tanpa kehilangan harapan terhadap arti kebersamaan yang telah dilalui.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesementaraan hidup dan nilai abadi dari cinta serta persahabatan. Puisi ini juga membahas tentang perpisahan sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan, serta pentingnya mengenang meskipun kenangan itu tak selalu cerah atau penuh suara.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menyoroti bahwa:
  • Hidup adalah perjalanan singkat, penuh pertemuan dan perpisahan, yang pada akhirnya hanya menyisakan makna dari hubungan emosional yang pernah ada.
  • Waktu menjadi garis batas antara masa lalu dan masa depan, di mana setiap manusia akan menghadapi momen berhenti, berpikir, dan melepas.
  • Kenangan, cinta, dan persahabatan adalah hal-hal yang tetap hidup meski ruang dan waktu memisahkan tubuh dan realitas.
Puisi ini bercerita tentang dua orang (atau lebih) yang telah menempuh perjalanan bersama dalam hidup, dan pada suatu titik harus berhenti di “sisi waktu”—sebuah metafora untuk persimpangan nasib atau momen perpisahan.
  • “Kita berpacu dengan waktu” menggambarkan usaha manusia untuk terus bergerak, namun waktu selalu mengejar dan tak bisa ditangkap.
  • “Malam ini kita berhenti” menunjukkan bahwa ada saat di mana manusia harus mengakui keterbatasan, entah karena perpisahan, kematian, atau pergantian fase hidup.
  • Persimpangan antara “bulan pucat” dan “mentari emas” melambangkan dua arah takdir yang berbeda, mungkin antara harapan dan kenyataan, antara keteduhan dan panas, atau antara dua dunia yang tak lagi sejalan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dihadirkan adalah:
  • Melankolis dan reflektif — karena berisi pemikiran tentang perpisahan dan perjalanan hidup.
  • Hening dan lengang — ditandai dengan kata seperti “risau”, “lengang”, dan “berkaca pada pengalaman”.
  • Penuh pengharapan — meskipun bicara tentang akhir, puisi ini juga menyimpan semangat untuk membawa makna meski tak lagi bersama.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

  • Segala hal di dunia ini bersifat sementara, kecuali hal-hal yang berakar pada nilai: seperti cinta, persahabatan, dan kenangan.
  • Berhentilah sejenak di sisi waktu untuk merenung, mengenang, dan menyadari makna perjalanan kita sebelum melanjutkan ke fase berikutnya.
  • Kenangan yang sederhana pun tetap berarti, selama kita mampu menghargainya.
  • Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya; ia justru bisa menjadi momen untuk mengabadikan yang pernah hidup dalam kebersamaan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional:
  • “Bulan pucat” dan “mentari emas”: simbolisasi kontras antara dua dunia, dua pilihan, atau dua nasib.
  • “Benua dingin” dan “khatulistiwa gerah”: mewakili perbedaan kondisi atau latar kehidupan yang tak bisa disatukan.
  • “Perbatasan risau yang begini lengang”: menciptakan visual tentang batas waktu yang sunyi namun sarat perasaan.
  • “Secercah kenangan”: menampilkan kilasan kecil yang tetap bisa menyala dalam ingatan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan:
  • Metafora: “sisi waktu” sebagai simbol perhentian dalam hidup, bisa dimaknai sebagai waktu perpisahan, kematian, atau momen kontemplatif.
  • Personifikasi: “umur membawa mati”, seolah umur menjadi agen yang mengantar manusia pada ajal.
  • Simbolisme: bulan, matahari, benua, dan garis khatulistiwa dipakai sebagai simbol arah, nasib, dan jarak emosional.
Puisi “Di Sisi Waktu” adalah karya yang mengajak pembaca untuk menoleh ke belakang, merenungi perjalanan hidup, dan mencari makna di balik perpisahan. Fridolin Ukur menyampaikan bahwa meski hidup tidak abadi, cinta dan persahabatan akan tetap hidup dalam kenangan. Ia mengajak kita untuk tak melupakan bahwa dalam setiap akhir, ada ruang untuk makna. Dan dalam kenangan—meski tanpa warna atau nada—tersimpan kekuatan yang menyatukan kembali yang telah dipisahkan waktu.

Fridolin Ukur
Puisi: Di Sisi Waktu
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.