Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Stasiun Kereta (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Di Stasiun Kereta" karya Agit Yogi Subandi bercerita tentang seorang tokoh liris yang berada di stasiun kereta menjelang sore. Ia menghirup ...
Di Stasiun Kereta

Di stasiun kereta menjelang sore, hidungku
mencium amis rel kereta yang menyepuh karat.
renyai yang menguak luka,
luka dari ratusan tahun yang lalu.
batu-batu yang sejak puluhan tahun yang lalu
tak beranjak, kecuali terlempar
hanya mengisyaratkan kepergian dan kedatangan
lewat getaran.
aku memulai kisahku di sini,
di antara hujan yang menetaskan rindunya
kepada tanah, kepada pohon,
dan kepadaku,
mungkin juga kepadamu.
di sinilah kedatangan dan perpisahan bermula:
di gerbong kereta,
di kepingan karcis
dan bangku
bagi para penunggu.
percakapan tak selesai, isyarat pertemuan..
karena kita tak pernah benar-benar terpisah.
kita adalah stasiun-stasiun kecil
yang disambungkan oleh rel kereta.
agar di sana, ada yang berkisah
tentang perjumpaan dan perpisahan.

Stasiun Labuhan Ratu, 2008

Analisis Puisi:

Puisi "Di Stasiun Kereta" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah kontemplasi puitik yang mengolah lanskap keseharian menjadi medan renungan eksistensial. Dengan latar sebuah stasiun menjelang sore, penyair menggambarkan bukan hanya suasana fisik yang khas dan sarat kenangan, tetapi juga menjelajahi makna relasi antarmanusia dan waktu. Melalui diksi yang kuat dan metafora yang subtil, puisi ini mengajak pembaca memasuki ruang liminal antara pertemuan dan perpisahan, antara kenangan dan kemungkinan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup dan dinamika relasi manusia, yang dimetaforakan melalui keberadaan stasiun dan kereta. Dalam penggambaran yang puitik, stasiun menjadi simbol dari tempat-tempat singgah, tempat bertemu dan berpisah, serta tempat memulai dan mengakhiri sesuatu. Puisi ini juga menyentuh tema kerinduan, sejarah, dan keterhubungan manusia dengan lingkungan dan sesamanya.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang berada di stasiun kereta menjelang sore. Ia menghirup udara penuh aroma karat dari rel kereta, yang mengingatkannya pada luka sejarah. Batu-batu yang tidak pernah berpindah kecuali saat terlempar menjadi penanda diamnya waktu dan gerak rel kereta sebagai simbol perjalanan. Dalam suasana hujan, tokoh ini memaknai kembali keberadaan stasiun bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi sebagai titik keberangkatan dan kembalinya relasi antarpribadi. Ia merenungkan bahwa meski ada perpisahan, rel-rel kehidupan tetap menyambungkan manusia dalam satu jejaring kisah.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini berkaitan dengan ketetapan perpisahan sebagai bagian dari pertemuan, dan sebaliknya. Penyair menyiratkan bahwa hidup adalah rangkaian perjalanan yang tak pernah benar-benar terputus, sebagaimana rel-rel yang menyambungkan stasiun. Perpisahan bukan akhir, melainkan jeda dari perjumpaan berikutnya. Ada pula kesan bahwa kerinduan terhadap masa lalu, terhadap alam, dan terhadap manusia lain adalah hal yang melekat dalam perjalanan setiap individu.

Puisi ini juga mengandung refleksi atas waktu dan sejarah, tampak dari bait tentang “luka dari ratusan tahun yang lalu”, yang mengaitkan ruang stasiun dengan jejak-jejak masa lalu yang tetap membekas. Dalam konteks ini, penyair mungkin juga sedang menyinggung luka kolektif dalam sejarah bangsa atau pribadi yang terus terbawa dalam rel kehidupan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis dan reflektif. Penyair menghadirkan sore yang renyai, aroma karat, dan hujan yang menetes penuh rindu—sebuah atmosfer yang sangat puitik dan emosional. Suasana ini mendukung perenungan dalam batin tokoh liris tentang peristiwa lalu, tentang kehilangan, dan tentang koneksi tak kasatmata yang mengikat dirinya dengan “kamu” yang mungkin telah pergi.

Amanat atau Pesan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah pentingnya menerima perpisahan sebagai bagian dari kehidupan, dan bahwa setiap manusia sejatinya tetap terhubung, meskipun dalam dimensi yang tak terlihat. Seperti rel kereta yang menyambung stasiun-stasiun kecil, manusia terhubung oleh kenangan, pengalaman, dan cinta, yang membuat mereka tak pernah benar-benar terpisah. Puisi ini juga memberi pesan tentang bagaimana waktu, sejarah, dan tempat dapat menjadi medium untuk membaca ulang hidup.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan penciuman yang kuat. Misalnya:
  • “hidungku mencium amis rel kereta yang menyepuh karat” — menciptakan imaji penciuman yang tajam.
  • “batu-batu… hanya mengisyaratkan kepergian dan kedatangan lewat getaran” — imaji visual yang menyiratkan suasana stasiun yang dinamis meski tampak diam.
  • “di antara hujan yang menetaskan rindunya” — metafora hujan yang membangkitkan perasaan rindu menjadi imaji yang sangat puitik.
Imaji-imaji ini membantu menghadirkan suasana dan emosi dengan kuat kepada pembaca.

Majas

Puisi ini menggunakan beragam majas yang memperkaya nuansa dan kedalaman maknanya:
Metafora:
  • “luka dari ratusan tahun yang lalu” → mewakili sejarah panjang yang menyakitkan.
  • “rel kereta… menyambungkan stasiun-stasiun kecil” → menggambarkan relasi antarindividu dalam kehidupan.
  • “hujan yang menetaskan rindunya kepada tanah” → hujan disimbolkan memiliki perasaan, memperkuat suasana romantis dan kontemplatif.
Personifikasi:
  • Hujan dan batu digambarkan memiliki kemampuan “menetaskan rindu” dan “mengisyaratkan” → memberi nyawa pada benda mati agar lebih ekspresif.
Hiperbola:
  • “percakapan tak selesai, isyarat pertemuan…” → memberikan kesan dramatis bahwa perpisahan itu tidak pernah tuntas karena hubungan tetap ada.
Puisi "Di Stasiun Kereta" adalah salah satu karya Agit Yogi Subandi yang menyiratkan kompleksitas emosi manusia dalam balutan lanskap sehari-hari. Dalam konteks stasiun, penyair berhasil menggambarkan filosofi hidup yang lebih luas tentang hubungan antarmanusia, sejarah, dan perjalanan waktu. Dengan suasana yang puitik, imaji yang kuat, serta majas yang cermat, puisi ini tidak hanya menyentuh emosi tetapi juga mengajak pembaca merenungkan makna kehadiran dan kepergian dalam hidup ini.

Puisi ini pantas dibaca berulang, karena tiap larik menyimpan refleksi yang dalam dan menyentuh tentang eksistensi dan relasi yang tak kasatmata, namun sangat nyata.

Agit Yogi Subandi
Puisi: Di Stasiun Kereta
Karya: Agit Yogi Subandi
© Sepenuhnya. All rights reserved.