Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba (Karya Yunus Mukri Adi)

Puisi “Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba” karya Yunus Mukri Adi bercerita tentang seseorang yang sedang berada di Telaga Warna, sebuah tempat yang ...
Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba

Tak ada siang di telagamu?
Duhai azimat dewa-dewa
Seekor merpati menyisih ke udara
setelah menitipkan rindunya pada belukar tua
Tak ada sunyi. Sayapnya mandi basah. Wajahnya dewa
Ketika itu. Kata-kata tak hadir. Tuhan menyiramkan angin
Hikayat terbuka. Seluruhnya.
Penyair nestapa!

Jika begini. Aku memang tak mau kembali
Balladaku hilang. Biarlah senya yang pulang sendiri
Badai sunyi menggelegar. Alam abadi menyatu Jadwal hadir terburu-buru

Batur, Januari 1972

Sumber: Horison (Maret, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba” karya Yunus Mukri Adi adalah puisi yang khas: padat, simbolik, dan menyembunyikan kekuatan emosi dalam citra-citra mistik dan atmosfer spiritual. Meski secara struktur tampak bebas dan fragmentaris, puisi ini mengalir dengan irama emosi yang bergelombang — rindu, keterasingan, kehilangan, hingga puncak perenungan eksistensial.

Rindu, Alam, dan Penyerahan Diri

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berada di Telaga Warna, sebuah tempat yang tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga metaforis. Di sana, tidak ada siang ataupun sunyi yang biasa — waktu seolah berhenti, dan segala yang hadir hanyalah alam, kenangan, dan rindu. Tokoh dalam puisi menyaksikan seekor merpati yang menitipkan rindu pada belukar tua, sebuah gambaran melankolis yang penuh simbol.

Dalam suasana puitis itu, segala batas antara realitas dan spiritualitas mengabur. Tidak ada lagi "kata-kata", karena yang hadir adalah angin, dewa-dewa, dan hikayat. Kemudian, penyair mengakui nestapa dan kerinduannya yang terdalam: sebuah puisi tentang rasa kehilangan yang dibungkus dalam lanskap mistik.

Tema: Rindu, Spiritualitas, dan Penolakan terhadap Kembali

Tema utama puisi ini adalah rindu yang bersifat spiritual — bukan sekadar kerinduan pada manusia, tetapi mungkin kerinduan terhadap sesuatu yang abadi, luhur, atau metafisis. Rindu dalam puisi ini terasa kosmik: merentang antara belukar tua hingga dewa-dewa, dari telaga hingga badai sunyi.

Tema lain yang muncul adalah perpisahan dengan dunia, atau penolakan untuk kembali ke kenyataan. Dalam baris "Jika begini. Aku memang tak mau kembali", terdapat ungkapan keterputusan dari dunia nyata, semacam keinginan untuk tetap larut dalam alam yang tak bernama — seperti penyair yang kehilangan “ballada”-nya dan membiarkan “senja yang pulang sendiri”.

Makna Tersirat: Menemukan Diri dalam Alam dan Kesunyian

Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam. Puisi ini bisa dimaknai sebagai pencarian atau penemuan diri yang hakiki di tengah lanskap alam dan spiritualitas. Telaga Warna bukan sekadar lokasi, melainkan simbol dari tempat jiwa menetap, tempat memori dan rasa melebur.

Burung merpati yang menitipkan rindu kepada belukar tua adalah simbol dari keinginan untuk meninggalkan jejak dalam dunia yang sudah lewat. Di sisi lain, “kata-kata tak hadir” menunjukkan kondisi transendental — ketika bahasa manusia gagal menjelaskan pengalaman batin. Maka, alam dan anginlah yang menjadi medium ekspresi.

Puisi ini juga bisa dibaca sebagai pengakuan dari seorang penyair yang merasa hampa, kehilangan inspirasi, atau merasa bahwa puisinya sendiri sudah tidak sanggup menyuarakan isi jiwanya.

Suasana dalam Puisi: Mistis, Melankolis, dan Khusyuk

Suasana dalam puisi ini adalah mistis dan melankolis, penuh dengan aura kontemplatif. Tidak ada hiruk-pikuk dunia nyata. Yang ada hanyalah rindu, alam, dan keheningan spiritual. Kalimat-kalimat pendek dan terputus, serta simbol-simbol gaib seperti “azimat dewa-dewa”, “hikayat terbuka”, dan “Tuhan menyiramkan angin” menciptakan atmosfer yang mengawang dan sakral.

Amanat / Pesan: Larutkan Diri untuk Menemukan Kedalaman Jiwa

Puisi ini tampaknya ingin menyampaikan pesan bahwa manusia tidak akan menemukan jawaban terdalamnya dalam kebisingan dunia. Untuk mengenal makna rindu, kehilangan, atau bahkan ketuhanan, seseorang harus bersedia larut — dalam alam, dalam sunyi, bahkan dalam perpisahan. Hanya dengan membiarkan “senja pulang sendiri”, barangkali kita bisa bertemu dengan cahaya di balik gelap.

Penyair seakan berkata: dalam puisi pun bisa lahir keheningan, dan dalam diam pun ada kata-kata yang paling jujur.

Imaji: Burung, Belukar, Angin, dan Senja

Puisi ini sarat dengan imaji yang memadukan elemen alam dan spiritualitas:
  • “Seekor merpati menyisih ke udara” – gambaran kepergian atau pelepasan yang tenang.
  • “Menitipkan rindunya pada belukar tua” – visualisasi rindu yang dibiarkan tumbuh di tempat paling sunyi.
  • “Sayapnya mandi basah. Wajahnya dewa” – metafora transendensi; makhluk biasa menjadi agung di tengah hujan dan angin.
  • “Tuhan menyiramkan angin” – menambahkan kekuatan spiritual yang hadir tanpa suara.
  • “Balladaku hilang” – kehilangan karya, suara, atau mungkin jati diri sebagai penyair.

Majas: Simbolisme, Metafora, dan Personifikasi

Puisi ini mengandung sejumlah majas yang memperkaya makna dan suasana:

Simbolisme:
  • Merpati → lambang perdamaian, pesan, atau jiwa yang terbang.
  • Belukar tua → tempat kenangan lama, sesuatu yang tidak lagi muda tapi menyimpan banyak cerita.
  • Senja → waktu perpisahan, batas antara terang dan gelap.
Metafora:
  • “Sayapnya mandi basah. Wajahnya dewa” → metamorfosis dari makhluk biasa ke makhluk agung.
  • “Balladaku hilang” → metafora dari kehilangan inspirasi, puisi, atau suara batin.
Personifikasi:
  • “Tuhan menyiramkan angin” → memberikan peran aktif dan penuh kasih dari Tuhan terhadap dunia.
Puisi “Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba” karya Yunus Mukri Adi adalah sebuah elegi spiritual yang membungkus tema rindu, keterasingan, dan penyatuan dengan alam dalam kemasan puitis yang mistik dan simbolik. Dengan makna tersirat tentang kerinduan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata, puisi ini menghadirkan imaji yang kaya dan majas yang halus. Ia tidak hanya bercerita tentang tempat atau waktu, tetapi tentang jiwa manusia yang sedang mencari, lalu memilih untuk melepaskan dan tenggelam dalam sunyi.

Puisi ini adalah panggilan diam: agar kita berhenti sejenak, memandang langit, dan mendengarkan rindu yang paling dalam.

Puisi Yunus Mukri Adi
Puisi: Di Telaga Warna, Rindu Pun Tiba
Karya: Yunus Mukri Adi

Biodata Yunus Mukri Adi:
  • Yunus Mukri Adi lahir pada tanggal 26 Januari 1941.
© Sepenuhnya. All rights reserved.