Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Tempat Pemungutan Sunyi (Karya Hasan Aspahani)

Puisi "Di Tempat Pemungutan Sunyi" karya Hasan Aspahani bercerita tentang seseorang yang berada dalam keheningan, mencari dan menunggu jawaban dari ..
Di Tempat Pemungutan Sunyi

SUNYI sekali di sini. Aku tak mendengar Engkau. Engkau masih
betah diam? Aku datang, cuma untuk memungut suaraku sendiri.
Engkau, kapan akan memungut aku? Memungut sunyiku?

Sunyi sekali di sini. Aku dan sunyi saling mendengarkan. Aku
menyimak lagi sunyi, tapi yang terdengar nyaring justru diriku
sendiri. Aku tak bisa juga memungut sunyiku sendiri.

Suaraku, kenapa tak berbunyi? Sunyiku, kenapa lebih nyaring
daripada diam Engkau? Ah, aku mungkin harus lebih tekun
mendengarkan Engkau. Mendengarkan sunyi dan bunyi Engkau.

Analisis Puisi:

Puisi "Di Tempat Pemungutan Sunyi" karya Hasan Aspahani adalah refleksi mendalam tentang pencarian makna, keterasingan, dan komunikasi spiritual yang terasa sepi namun penuh gema. Ia merupakan karya yang mengangkat pertanyaan-pertanyaan eksistensial dalam suasana yang hening dan mencekam, seolah mendudukkan pembaca dalam ruang kosong tempat suara tidak lagi berbunyi secara fisik, melainkan hanya bergema di dalam batin.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kesunyian spiritual dan keterasingan eksistensial. Penyair mengungkapkan perasaan terasing dari Tuhan atau entitas yang lebih tinggi, serta rasa kehilangan komunikasi yang biasanya terjalin melalui doa, harapan, atau makna. Puisi ini juga menyinggung identitas, suara, dan keberadaan diri—terutama saat manusia merasa sendirian meskipun sedang berbicara atau mencari sesuatu yang suci.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini berlapis-lapis. Salah satu yang paling kuat adalah tentang kehilangan arah dalam pencarian spiritual. Penyair mempertanyakan mengapa suara doanya seolah tidak terdengar oleh Tuhan, mengapa suaranya sendiri bahkan tidak terdengar oleh dirinya, dan mengapa sunyi lebih nyaring dibanding suara apa pun. Ada pula makna tentang keraguan eksistensial, di mana seseorang bertanya: apakah keberadaan saya sungguh nyata jika tak ada yang merespons suara saya?

Selain itu, secara simbolik, puisi ini juga bisa dibaca sebagai sindiran terhadap proses demokrasi atau pemilihan umum, di mana suara rakyat (pemilih) yang seharusnya didengar justru tenggelam dalam sunyi kekuasaan. "Tempat pemungutan sunyi" merupakan plesetan dari "tempat pemungutan suara" dan memberikan tafsir politis bahwa dalam proses yang seharusnya demokratis, justru tak ada suara yang betul-betul dihargai.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berada dalam keheningan, mencari dan menunggu jawaban dari entitas yang lebih tinggi—baik itu Tuhan, nurani, atau bahkan negara. Ia mencoba “memungut” kembali suaranya sendiri, sebuah metafora untuk mengumpulkan kembali identitas atau haknya, tetapi gagal karena sunyi terlalu mendominasi. Di tengah pencarian itu, ia mulai mempertanyakan segalanya: eksistensi dirinya, makna suaranya, bahkan apakah Tuhan masih mendengarnya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, sunyi, dan menekan. Kesendirian yang digambarkan bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah. Ada semacam keheningan eksistensial yang menusuk. Kesunyian itu begitu kuat hingga mengalahkan suara dan bahkan memantulkan suara penyair sendiri, bukan suara Tuhan atau siapa pun yang dituju. Kesan ini menimbulkan nuansa kesepian yang dalam, seolah sang penyair sedang berdialog dalam ruang kosong.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa dalam kesunyian terdalam sekalipun, manusia harus tekun mendengar—bukan hanya suara dari luar, tetapi juga suara dari dalam diri dan dari semesta. Pesan lain yang bisa dibaca adalah bahwa kejujuran spiritual dan perenungan dalam keheningan terkadang lebih bermakna daripada kebisingan doa-doa tanpa makna. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung lebih jauh tentang kehadiran diri, Tuhan, dan makna dari suara itu sendiri dalam kehidupan yang semakin ramai tapi kosong.

Imaji

Hasan Aspahani menggunakan imaji auditif dan spiritual yang sangat kuat. Imaji seperti:
  • "Sunyi sekali di sini. Aku tak mendengar Engkau."
  • "Aku datang, cuma untuk memungut suaraku sendiri."
  • "Sunyiku, kenapa lebih nyaring daripada diam Engkau?"
membangun gambaran tentang ruang yang tidak hanya fisik tapi juga batiniah, tempat suara dan keheningan menjadi elemen yang saling bertarung. Imaji “memungut suara” atau “memungut sunyi” adalah metafora yang menyiratkan usaha sia-sia namun penuh harap dalam mendekap makna dan mendengar kehadiran Ilahi.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Paradoks: "Sunyiku, kenapa lebih nyaring daripada diam Engkau?" — frasa ini menunjukkan pertentangan makna yang sangat dalam antara sunyi dan bunyi.
  • Personifikasi: "Sunyi sekali di sini. Aku dan sunyi saling mendengarkan." — sunyi diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa diajak berdialog.
  • Metafora: "memungut suaraku sendiri" dan "memungut sunyiku" adalah metafora dari upaya memahami diri, identitas, dan keberadaan yang hilang atau terabaikan.
  • Repetisi: Pengulangan frasa “Sunyi sekali di sini” dan “Aku” memberikan tekanan pada perasaan kesendirian dan pencarian yang terus berulang.
Puisi "Di Tempat Pemungutan Sunyi" karya Hasan Aspahani adalah karya kontemplatif yang mengajak pembaca menyelami perasaan terasing, kehilangan arah, dan pencarian makna dalam keheningan. Dengan kekuatan bahasa yang padat dan simbolik, puisi ini menyampaikan bahwa terkadang, dalam diam yang paling sunyi, kita menemukan kegelisahan yang paling nyaring—sebuah ruang reflektif tempat manusia mencari makna di tengah kehilangan suara. Puisi ini tidak hanya bicara tentang sunyi sebagai kondisi, tetapi sunyi sebagai pengalaman spiritual yang intens.

Hasan Aspahani
Puisi: Di Tempat Pemungutan Sunyi
Karya: Hasan Aspahani
© Sepenuhnya. All rights reserved.