Analisis Puisi:
Puisi “Dia yang Mabuk” karya Mustiar AR adalah karya liris yang menggambarkan sebuah keterikatan emosional yang mendalam antara manusia dan kenangan. Dengan simbolisme yang kuat dan metafora yang puitis, penyair mengajak pembaca menyusuri ruang batin tokoh yang larut dalam penantian panjang, hingga nyaris kehilangan realitas.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah penantian yang tak berujung, yang dikaitkan dengan rasa kehilangan dan keterikatan emosional. Tema ini dibungkus dalam suasana dramatis dan simbolik, memperlihatkan betapa penantian bisa mengaburkan batas antara kesetiaan dan kegilaan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini mengarah pada kondisi psikis seseorang yang tak mampu melepaskan diri dari masa lalu, atau sosok yang dicintai, sehingga ia “mabuk” oleh harapan yang terus dipelihara. Frasa “aku tetap di sini menunggu, bila memutih tulangku” menggambarkan tekad yang begitu kuat, meskipun harapan itu kemungkinan besar sudah mati. Mabuk di sini bukan hanya karena minuman atau khayal, tetapi mabuk oleh ilusi cinta, kenangan, dan penantian.
Puisi ini bercerita tentang seseorang (dia) yang berada di ujung dermaga, tempat yang menjadi metafora ruang penantian. Ia menari bersama lembayung senja—waktu yang identik dengan akhir hari—yang memperkuat simbol tentang sesuatu yang menjelang usai atau berakhir. Tokoh ini memetakan diri, berdiskusi dalam jiwanya yang rapuh, dan menolak segala ajakan untuk berpaling, bahkan dari “kuik elang” yang mencoba menariknya keluar dari keterpakuannya. Sikap keras kepala itu membawa tokoh ini semakin dalam ke pusaran penantian tanpa ujung, hingga “tertawa sendiri, membayangkan pertemuan itu.”
Suasana dalam Puisi
Puisi ini dipenuhi oleh suasana melankolis dan tragis. Pembaca dibawa menyelami perasaan tokoh yang larut dalam duka dan kesetiaan yang nyaris tidak masuk akal. Ada keheningan yang memekakkan telinga, ada pengharapan yang begitu dalam namun juga keputusasaan yang mengendap.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang bahaya keterikatan berlebihan pada harapan yang tak pasti, dan bagaimana hal tersebut dapat mengikis logika serta mengisolasi seseorang dari realitas. Melalui tokoh yang tetap menunggu hingga “memutih tulangku”, Mustiar AR tampaknya ingin menggambarkan potret manusia yang terjebak dalam romantisme masa lalu yang tak kunjung selesai. Amanat lainnya adalah ajakan untuk lebih sadar akan batas antara kesetiaan dan ketergantungan emosional yang membutakan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan batin:
- “menari bersama lembayung senja memerah lautnya” menggambarkan pemandangan senja yang dramatis, dan mengesankan keindahan yang melankolis.
- “di ujung dermaga itu” memberi imaji tentang tempat yang sunyi, batas antara daratan (kenyataan) dan lautan (kemungkinan, kenangan, atau masa lalu).
- “tertawa sendiri” adalah imaji batin yang kuat tentang kegilaan yang lahir dari kesepian.
- “kuik elang merayu” menciptakan citra alam yang sarat simbol: elang sebagai metafora kebebasan yang ditolak oleh tokoh yang ingin tetap dalam penantiannya.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “lembayung senja memerah lautnya” menggambarkan seolah senja bisa memerah dengan sadar.
- Metafora: “memetakan diri” dan “berdiskusi di jiwa rapuhnya” adalah metafora tentang pencarian makna dan dialog internal.
- Hiperbola: “bila memutih tulangku” menunjukkan penantian yang sangat lama, bahkan sampai mati.
- Simbolisme: dermaga sebagai simbol batas, laut sebagai kenangan, elang sebagai kebebasan, semua digunakan untuk memperkaya makna.
Puisi “Dia yang Mabuk” karya Mustiar AR menghadirkan kisah pilu tentang manusia yang mabuk oleh penantian dan kenangan. Dengan tema tentang kesetiaan yang tragis, puisi ini menyampaikan pesan mendalam bahwa terkadang manusia terlalu setia pada kenangan hingga lupa menjalani kenyataan. Imaji visual dan majas yang digunakan semakin mempertegas kekuatan puisi ini dalam menggambarkan konflik batin manusia yang larut dalam kesepian dan harapan semu.
Puisi ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan, menunggu memang bisa menjadi bentuk cinta, namun ketika harapan telah melewati batas realitas, maka ia bisa menjadi jebakan yang menghancurkan perlahan dari dalam.
Karya: Mustiar AR