Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Doa (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi "Doa" karya Budiman S. Hartoyo bercerita tentang seorang individu yang sedang berdialog dengan Tuhan—bukan dengan bahasa formal atau pasrah ...
Doa

Aku mengenal-Mu
Aku melihat-Mu
Tuhanku
(Ah, apakah Kau tersenyum
Melihat tingkah-laku yang lucu
Bersimpuh begini?).

Jangan memandangku begitu, Tuhanku
Betapa pun!
Jangan palingkan Wajah-Mu
Betapa pun!
Ya, betapa pun telah Kau saksikan
pola-tingkah-laku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
Yang Kau putar-putar
Apa yang Kau maksud
dengan kediam-diaman begitu?
Apakah jelas Kau lihat
dosa-dosaku?
Ah. Engkau diam saja!)

Betapa pun, ya Allah
Jangan palingkan Wajah-Mu
Betapa pun kusandang dosa-dosaku dan dengan rasa malu
Aku datang menghadap-Mu
Tapi pandang-Mu jangan begitu ...

Sumber: Sebelum Tidur (1977)

Analisis Puisi:

Puisi "Doa" karya Budiman S. Hartoyo merupakan sajak religius yang sangat personal dan menyentuh. Dalam larik-lariknya yang sederhana namun kuat, sang penyair mengungkapkan perasaan rapuh seorang hamba yang bersimpuh di hadapan Tuhan dengan segala kelemahan dan rasa bersalahnya. Ia tidak datang dengan keberanian, tetapi dengan keraguan, ketakutan, dan rasa malu—namun tetap membawa harapan agar Tuhan tidak berpaling darinya.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah pertaubatan dan kerendahan diri seorang manusia di hadapan Tuhan. Puisi ini memperlihatkan bagaimana seorang hamba yang sadar akan dosa-dosanya tetap datang menghadap Tuhan dengan penuh harap, meskipun ia merasa tidak layak.

Di balik itu, terdapat pula tema pencarian makna dan hubungan spiritual, di mana sang “aku” liris mencoba memahami sikap diam Tuhan dalam menghadapi kekeliruan hidup manusia.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan berbagai makna tersirat yang dalam:
  • Manusia adalah makhluk lemah yang mudah tergelincir, tetapi pada saat-saat tertentu, ia kembali menyadari keterbatasannya dan merasa perlu berserah.
  • Doa bukan hanya tentang permohonan, melainkan dialog batin yang penuh keraguan, harap, dan cinta yang penuh luka.
  • Sikap diam Tuhan bisa dimaknai sebagai bentuk pengujian terhadap ketulusan seorang hamba. Ini tercermin dari bait: “Apa yang Kau maksud / dengan kediam-diaman begitu?”
  • Penerimaan Tuhan tetap dinanti, meskipun si aku mengakui betapa banyak dosa yang telah dilakukan: “Betapa pun kusandang dosa-dosaku dan dengan rasa malu / Aku datang menghadap-Mu”
  • Puisi ini juga menyiratkan konflik batin antara rasa takut dihakimi dan keinginan untuk diampuni.
Puisi ini bercerita tentang seorang individu yang sedang berdialog dengan Tuhan—bukan dengan bahasa formal atau pasrah sepenuhnya, tapi dalam bentuk monolog batin yang jujur, getir, dan manusiawi. Ia bertanya-tanya apakah Tuhan sedang tersenyum, kecewa, atau diam menyaksikan tingkah-lakunya yang seperti "mainan gasing di tengah galau kehidupan".

Tokoh “aku” dalam puisi bukan tokoh sempurna. Ia sadar bahwa hidupnya kacau, penuh kesalahan, dan berlumur dosa. Namun, di balik semua itu, ada permohonan yang mendalam agar Tuhan tidak memalingkan wajah-Nya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat intim, getir, dan penuh rasa malu, namun juga mengandung harapan yang halus. Puisi ini menciptakan atmosfer spiritual yang personal dan sangat menyentuh. Pembaca bisa merasakan konflik batin seorang hamba yang merasa kotor tapi tetap berani datang memohon belas kasih Tuhannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan penting yang dapat ditangkap dari puisi ini antara lain:
  • Sebesar apa pun dosa yang dilakukan manusia, jangan pernah berhenti memohon kepada Tuhan.
  • Tuhan mungkin tampak diam, namun itu tidak berarti Ia membenci atau meninggalkan.
  • Kejujuran dalam doa—dalam bentuk pengakuan dan perasaan yang paling jujur—lebih penting daripada formalitas atau ritual kosong.
  • Manusia harus terus mencari dan menghadapkan diri kepada Tuhan, meskipun hati penuh keraguan dan malu.

Imaji

Puisi ini memunculkan imaji emosional dan spiritual yang kuat, beberapa di antaranya:
  • Imaji tubuh bersimpuh: “Bersimpuh begini” Melukiskan seorang manusia yang menyerah dalam keheningan spiritual.
  • Imaji permainan gasing di tengah galau: “seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan / Yang Kau putar-putar” Visual yang sangat puitik tentang hidup yang berputar tak tentu arah, dikendalikan kekuatan yang lebih tinggi.
  • Imaji Tuhan yang diam dan menatap: “Jangan memandangku begitu, Tuhanku”, “Ah. Engkau diam saja!” Menimbulkan perasaan tidak nyaman namun akrab bagi siapa saja yang pernah merasa kehilangan arah dalam berdoa.
  • Imaji wajah Tuhan yang bisa berpaling atau menatap tajam: Ini adalah bentuk visualisasi imajinatif yang menunjukkan pergulatan batin si penyair.

Majas

Puisi ini juga memanfaatkan sejumlah majas untuk memperkuat ekspresinya:
  • Personifikasi: Tuhan diberi sifat manusia: bisa tersenyum, memandang, berpaling, dan diam. Ini mendekatkan hubungan spiritual menjadi lebih manusiawi dan dialogis.
  • Metafora: 
  • Hidup digambarkan sebagai “mainan gasing” yang berputar-putar tak menentu. Ini metafora dari kehidupan manusia yang kadang tak punya kendali, hanya berjalan tanpa arah.
  • Repetisi: Pengulangan kata “betapa pun” digunakan untuk menegaskan permohonan agar Tuhan tidak berpaling, meskipun si aku penuh dosa.
  • Ironi: “Ah, apakah Kau tersenyum / Melihat tingkah-laku yang lucu” Kalimat ini penuh ironi; apa yang dianggap “lucu” sejatinya adalah bentuk penyesalan mendalam.
  • Hiperbola: “pola-tingkah-laku selama ini / seperti mainan gasing” → memperbesar kondisi batin yang kacau.
Puisi "Doa" karya Budiman S. Hartoyo adalah refleksi spiritual yang sangat jujur, getir, dan penuh pergulatan batin. Dengan tema penyesalan dan harapan akan pengampunan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi relasi manusia dengan Tuhan, bukan dalam bentuk ketundukan formal, melainkan melalui percakapan batin yang jujur dan rentan.

Dalam puisi ini, penyair tidak menampilkan Tuhan sebagai sosok yang angkuh atau jauh, melainkan sebagai pribadi yang bisa tersenyum, menatap, bahkan diam—dan dalam keheningan itulah muncul rasa takut, malu, sekaligus harapan dari seorang manusia yang rapuh. Doa adalah kisah tentang keberanian untuk tetap menghadap, meski penuh dosa, karena satu-satunya harapan adalah wajah Tuhan yang tak berpaling.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Doa
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.