Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gema (Karya Suripto Harsah)

Puisi "Gema" karya Suripto Harsah bercerita tentang seorang tokoh liris yang merasa terisolasi, menjerit dalam kesunyian, dan berharap ada yang ...
Gema

aku menjerit sunyi tanpa arah:
"Siapa di luar?" mengetuk pintu keras luar biasa
tak ada sahutan. Amboi, kudengar suaraku lagi
               sesudahnya mengancam pecah anak telinga

1973

Sumber: Horison (November, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi "Gema" karya Suripto Harsah adalah refleksi eksistensial yang kuat tentang kesendirian, keterasingan, dan pencarian akan makna dalam ruang yang kosong dan penuh kebisuan. Meski pendek dalam bentuk, puisi ini sangat padat secara makna dan memiliki resonansi emosional yang dalam. Penyair berhasil menyajikan suasana tegang dan getir hanya dalam beberapa larik, namun cukup mengguncang kesadaran pembaca.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesepian dan keterasingan eksistensial. Sang aku lirik mengalami situasi di mana jeritan dan pencariannya hanya disambut gema—pantulan suaranya sendiri—bukan jawaban dari luar. Puisi ini juga bisa dibaca sebagai simbol dari kegagalan komunikasi dalam dunia yang semakin individualistis.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan perasaan frustrasi dan kehampaan yang dialami manusia ketika berusaha menghubungi dunia luar atau sesama, namun tak menemukan respons apa pun selain pantulan dari dirinya sendiri. "Gema" dalam konteks ini bukan hanya fenomena akustik, melainkan simbol dari ketidakbermaknaan komunikasi, atau bahkan eksistensi yang absurd: manusia menjerit, namun hanya mendengar dirinya sendiri. Ini mengarah pada makna keterasingan dalam semesta yang sunyi.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merasa terisolasi, menjerit dalam kesunyian, dan berharap ada yang mendengar atau menjawab. Ketika ia mengetuk “pintu” (yang bisa ditafsirkan literal atau simbolik), tidak ada sahutan dari luar. Yang terdengar hanyalah gema dari suaranya sendiri yang kemudian mengancam merusak dirinya (“pecah anak telinga”). Ini bisa dimaknai bahwa kesunyian bisa melukai, bahkan membinasakan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kuat: mencekam, hening, getir, dan penuh ketegangan psikologis. Kata-kata seperti “menjerit sunyi”, “tanpa arah”, dan “mengancam pecah anak telinga” memperkuat kesan bahwa tokoh dalam puisi sedang terperangkap dalam kegelisahan batin yang dalam. Atmosfer sepi yang tercipta menjadi semacam penjara psikologis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah bahwa kesendirian tanpa respons bisa menciptakan kehampaan yang menyakitkan. Manusia butuh makna dan koneksi, namun dunia tidak selalu memberi respons seperti yang diharapkan. Ketika hidup hanya berisi gema suara kita sendiri, maka kita harus berani bertanya: apa yang sebenarnya kita cari? Dan apakah kita cukup kuat menanggung pantulan dari jiwa kita sendiri?

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji suara dan rasa:
  • "Menjerit sunyi tanpa arah": menciptakan imaji suara yang justru hampa—jeritan dalam kesepian.
  • "Mengetuk pintu keras luar biasa": menciptakan gambaran aksi intens yang menggambarkan keputusasaan.
  • "Mengancam pecah anak telinga": memberikan kesan audio yang menyakitkan—bukan karena suara dari luar, tetapi dari gema suara sendiri, memperkuat makna keterasingan yang menyiksa.

Majas

Beberapa majas yang digunakan:
  • Paradoks: “menjerit sunyi” adalah frasa yang bertentangan secara logis, tapi kuat secara makna, menunjukkan ketegangan emosional dalam diam.
  • Metafora: "pintu" bisa dibaca sebagai simbol batas antara diri dengan dunia luar—bisa makna literal atau metaforis (batas spiritual, sosial, eksistensial).
  • Personifikasi: “suaraku lagi… mengancam pecah anak telinga” memberi efek dramatis bahwa gema suara memiliki kekuatan menyerang balik.
  • Simbolisme: Gema adalah simbol penting yang mewakili kesia-siaan usaha manusia untuk mendapat respons, peneguhan, atau eksistensi yang diakui.
Puisi "Gema" karya Suripto Harsah adalah potret getir tentang kesendirian, keterasingan, dan ketiadaan makna dalam dunia modern. Ia menggambarkan upaya manusia yang terus berteriak dan mengetuk, namun tidak disambut apa-apa kecuali gema dari dirinya sendiri. Puisi ini sangat relevan dalam konteks kontemporer, ketika manusia justru merasa makin kesepian di tengah kebisingan dan koneksi semu.

Dengan gaya minimalis namun penuh intensitas, Suripto Harsah berhasil menyampaikan betapa menakutkannya suara yang kembali hanya dari diri sendiri, tanpa sapaan dari dunia luar—bahwa dalam kondisi tertentu, gema lebih menyakitkan daripada kebisuan.

Puisi: Gema
Puisi: Gema
Karya: Suripto Harsah
© Sepenuhnya. All rights reserved.