Graben Sore Hari
Seekor gagak bertengger di pucuk salib
gereja tua, seperti sang ajal
yang menatap nyalang ke segala arah.
Langit mendung sepanjang pandang
sore itu. Lalu gerimis turun.
Ribuan turis tak peduli
dengan semua itu, jalan ke sana
ke mari, entah apa yang dicari.
“Inilah Graben, yang sibuk
oleh para pelancong,” katamu.
Sebagian ada yang keluar masuk
tempat ibadah,
yang di dalamnya dihiasi
dengan nyala lilin, bau dupa,
dan lukisan Yesus memanggul salib,
menanggung dosa umat manusia.
Ada juga lukisan Bunda Maria
dengan malaikat bersayap dua.
Lainnya ada peziarah yang duduk
di atas bangku kayu,
memanjatkan doa ke langit yang jauh,
seakan diawasi malaikat maut
yang siap mencabut nyawanya.
Dan aku, seperti juga dirimu
asyik duduk di lantai jalanan
yang dingin, mendengar seseorang
memainkan musik klasik dengan piano
yang dibuat pada awal Abad 20
“Ia datang dari Asia Timur
mengais euro di kota ini. Ia bukan
orang pertama,” katamu. Di atas kepala
koak gagak melintas lagi, entah terbang
dari mana. Lalu gema lonceng
begitu nyaring aku dengar, menyatu
dengan gerimis, jadi puisi
yang lain di kota ini.
2016
Sumber: Ranting Patah (2018)
Analisis Puisi:
Puisi "Graben Sore Hari" karya Soni Farid Maulana menyuguhkan perenungan yang puitis di tengah keramaian turistik kawasan Graben—sebuah jalan tersohor di pusat kota Wina, Austria. Melalui gambaran suasana yang sureal, religius, dan reflektif, penyair mengajak pembaca menyelami ketegangan batin antara hiruk-pikuk dunia luar dan kesenyapan spiritual dalam diri manusia. Puisi ini bukan hanya menyajikan potret kota, tetapi juga membawa renungan filosofis dan eksistensial yang kuat.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kontemplasi eksistensial dan spiritualitas dalam ruang kota yang penuh dinamika dan paradoks. Penyair menggambarkan Graben bukan sekadar tempat wisata, tetapi sebagai lanskap yang mempertemukan kehidupan, kematian, pencarian makna, dan keasingan manusia modern.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman penyair (dan tokoh 'kamu') di Graben, sebuah jalan di Wina, saat sore hari. Mereka menyaksikan berbagai elemen yang saling bertabrakan: seekor gagak di atas salib gereja, mendung dan gerimis yang turun, turis yang sibuk berlalu-lalang, orang-orang yang berdoa di gereja, dan musisi jalanan dari Asia Timur yang memainkan piano tua. Semua itu dirangkai menjadi peristiwa yang tampaknya acak, namun menyatu dalam satu lanskap batin: dunia yang bergerak tanpa arah pasti, sementara manusia mencoba mencari penghiburan dan makna.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini meliputi beberapa lapisan reflektif:
- Gagak di pucuk salib menjadi simbol kematian atau pertanda buruk di atas lambang penebusan dan harapan (salib). Ini menandakan bahwa bahkan tempat suci pun tak luput dari bayangan kematian yang mengintai.
- Turis yang berjalan ke sana kemari mencerminkan kekosongan eksistensial—orang-orang yang menjelajah tanpa benar-benar tahu apa yang mereka cari, hanya sekadar bergerak dalam sistem konsumsi dan hiburan modern.
- Peziarah yang berdoa seakan diawasi malaikat maut menunjukkan konflik antara iman dan ketakutan, seolah kehadiran Tuhan pun masih disertai bayangan kematian yang menggentayangi manusia.
- Musisi Asia Timur melambangkan nasib manusia diaspora—yang mengadu nasib di negeri asing, bertahan hidup sambil membawa seni dan harapan dari tanah jauh.
- Lonceng yang menyatu dengan gerimis dan musik menyiratkan bahwa keindahan puisi justru muncul dari irisan antara spiritualitas, penderitaan, dan realitas kota.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, mistis, dan kontemplatif. Meski latarnya adalah kawasan sibuk dengan banyak turis, puisi tidak menampilkan keceriaan, melainkan sejenis kehampaan dan kegetiran yang dalam. Elemen seperti mendung, gagak, dupa, doa, dan musik klasik menciptakan atmosfir yang suram namun menenangkan. Sebuah ketenangan yang sarat perenungan tentang hidup, mati, dan Tuhan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan atau amanat dari puisi ini dapat dibaca sebagai seruan untuk tidak kehilangan makna dalam dunia yang hiruk-pikuk. Manusia modern sering kali larut dalam perjalanan tanpa tujuan, konsumsi visual, dan kesibukan tanpa arah. Namun, di tengah semua itu, selalu ada ruang untuk diam, melihat ke dalam, dan merenungkan hal-hal yang lebih abadi: kematian, pengampunan, iman, dan keindahan kecil seperti gema musik dalam gerimis.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji, baik visual, auditif, maupun olfaktori (bau):
Visual:
- “Seekor gagak bertengger di pucuk salib gereja tua” → menciptakan citra yang kuat antara simbol agama dan simbol kematian.
- “Langit mendung… lalu gerimis turun” → imaji cuaca yang menambah suasana murung.
- “Lukisan Yesus memanggul salib”, “Bunda Maria dengan malaikat bersayap dua” → mempertegas suasana religius dan sakral di dalam gereja.
Auditif:
- “Gema lonceng begitu nyaring”, “memainkan musik klasik” → menambahkan dimensi bunyi yang mengisi ruang spiritual dan melankolis.
Olfaktori:
- “Bau dupa” → menciptakan atmosfer khas tempat ibadah, menghadirkan rasa keheningan yang kental.
Majas
Beberapa majas digunakan dengan efektif dan mendalam:
- Simile (perbandingan langsung): “Seperti sang ajal yang menatap nyalang” → gagak di atas salib dibandingkan dengan kematian yang mengawasi dunia.
- Personifikasi: “Langit mendung sepanjang pandang” → langit digambarkan seolah memiliki suasana hati atau emosi.
- Metafora: “Malaikat maut yang siap mencabut nyawanya” → menjadi gambaran dari ketakutan dan ketidaksiapan manusia terhadap kematian.
- Ironi halus: “Ribuan turis tak peduli dengan semua itu” → menunjukkan kontras antara kekhusyukan tempat ibadah dan ketidakpedulian pengunjung.
- Hiperbola: “Memanjatkan doa ke langit yang jauh” → menunjukkan betapa dalam dan putus asanya harapan seorang peziarah.
Puisi "Graben Sore Hari" karya Soni Farid Maulana adalah puisi kontemplatif yang menyentuh lapisan terdalam dari pengalaman manusia di tengah dunia modern. Tema puisi ini merangkum pencarian spiritual di tengah keramaian dan ketidakpedulian. Ia bercerita tentang bagaimana kehidupan tetap berlangsung meskipun makna dan nilai terdalam sering kali diabaikan.
Melalui makna tersirat yang sarat simbol, imaji yang kuat, dan majas yang puitis, puisi ini mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dan merenung: di manakah kita berdiri di antara turis, peziarah, musisi jalanan, dan malaikat maut? Suasana yang diciptakan—kelam, hening, dan spiritual—mempertegas pesan bahwa dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk, masih ada puisi, doa, dan musik yang menjadi jalan penghubung menuju keheningan batin.
Graben, dalam tangan penyair, bukan sekadar nama jalan. Ia menjelma menjadi ruang simbolik di mana kehidupan, kematian, seni, dan ketuhanan bersinggungan, menyisakan gema makna yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang mau duduk diam dan mendengar.
Puisi: Graben Sore Hari
Karya: Soni Farid Maulana
Biodata Soni Farid Maulana:
- Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
- Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
