Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gumam Jejak Duka (Karya Bambang J. Prasetya)

Puisi “Gumam Jejak Duka” karya Bambang J. Prasetya bercerita tentang seorang tokoh lirik yang mengalami guncangan batin. Ia mencium bau kematian, ...
Gumam Jejak Duka

Bau kuburan di plataran rumah-Mu
menyesatkan kesangsian
melacak jejak nabi-nabi

Rembulan berlayar
menggigil kabut
menawar kembali gairah meruak-ruak sepi
beri nama apa
waktu berwajah jelaga ini?
Juga sajak yang tak mampu
menampung gema yang mendengung

Kembali ke rumah darahmu
kembali memadamkan magma
yang meradang dalam rongga semadi
Jika sangsi tiba kembali
biarlah mati menjaga pintu misteri

1993

Analisis Puisi:

Puisi “Gumam Jejak Duka” karya Bambang J. Prasetya adalah puisi kontemplatif yang penuh simbolisme dan ungkapan spiritual. Melalui larik-larik puitis yang padat dan atmosferik, penyair menghadirkan semacam monolog batin yang merefleksikan pertarungan antara iman dan keraguan, di tengah suasana duka dan pencarian makna dalam hidup yang terjal.

Tema

Puisi ini mengangkat tema pencarian spiritual dalam lanskap duka dan keraguan. Ada pergumulan batin mendalam yang dialami oleh tokoh lirik terhadap Tuhan, keimanan, dan makna waktu. Tema ini diperkuat dengan simbol-simbol keagamaan, alam, dan metafora duka yang mengalir dalam setiap baitnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kompleks. Ada keraguan terhadap makna kehadiran Tuhan di tengah penderitaan, yang terucap melalui larik: “bau kuburan di plataran rumah-Mu / menyesatkan kesangsian”. Ini bukan sekadar gugatan, melainkan perasaan eksistensial manusia ketika berhadapan dengan kematian dan kehilangan.

Puisi ini juga menyiratkan perjalanan spiritual yang terjal dan tidak selalu linear. Bahkan dalam pencarian jejak “nabi-nabi”, tokoh lirik justru terjebak dalam kesangsian. Ada paradoks: semakin dalam pencarian, semakin kompleks keraguan itu.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang mengalami guncangan batin. Ia mencium bau kematian, menghadapi kabut yang menggigil, dan mempertanyakan wajah waktu yang gelap. Ia mencoba kembali “ke rumah darahmu”, simbol kembali ke akar atau asal, entah itu tubuh, iman, atau tanah kelahiran. Namun, magma—simbol amarah atau semangat yang terbakar dalam jiwa—masih menyala.

Di akhir puisi, kita melihat keputusan untuk membiarkan kematian menjaga pintu misteri, yaitu pasrah terhadap misteri eksistensial dan spiritual yang tak terpecahkan. Sebuah penutup yang reflektif dan menyesakkan sekaligus.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dominan dalam puisi ini adalah gelap, sunyi, dingin, dan menggigil. Puisi ini tidak hanya melukiskan kegelapan secara visual, tapi juga menyentuh kedalaman batin yang pekat oleh kesangsian dan luka spiritual. Ada perasaan kehilangan, namun bukan sekadar kehilangan manusia, melainkan kehilangan arah dalam iman dan makna.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa pencarian iman dan makna tidak selalu berujung pada kepastian. Justru dalam kegelapan dan kesangsian, manusia kadang menemukan semacam pemahaman baru tentang ketidakberdayaan dan batas-batas pengetahuan manusia.

Puisi ini mengajarkan kerendahan hati dalam menghadapi misteri kehidupan, dan bahwa dalam menghadapi waktu yang “berwajah jelaga”, kita hanya bisa diam, atau mati menjaga pintu misteri, yaitu membiarkan keheningan menampung yang tak bisa dijelaskan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji kuat dan simbolik, seperti:
  • Visual: “bau kuburan”, “kabut menggigil”, “waktu berwajah jelaga” — semua menciptakan suasana gelap dan duka.
  • Auditif: “gema yang mendengung” — menggambarkan gema batin atau suara hati yang bergema dalam ruang kosong spiritual.
  • Kinestetik: “magma yang meradang”, “rongga semadi” — menggambarkan gerak emosi dan spiritual yang bergolak dalam diri.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:

Personifikasi:
  • “waktu berwajah jelaga” — waktu digambarkan memiliki wajah gelap.
  • “gema yang mendengung” — gema digambarkan seperti makhluk hidup yang mengisi ruang.
Metafora:
  • “rumah darahmu” – bisa dimaknai sebagai tubuh, akar, atau bahkan iman.
  • “magma dalam rongga semadi” – menggambarkan gejolak batin di dalam perenungan.
Simbolisme:
  • “bau kuburan” – simbol kematian atau akhir dari harapan.
  • “rembulan” dan “kabut” – simbol cahaya redup di tengah kegelapan atau ketidakpastian.

Unsur Puisi

Beberapa unsur menonjol dari puisi ini:
  • Diksi: Sangat simbolik dan religius. Kata-kata seperti “nabi-nabi”, “rumah-Mu”, “semadi”, “misteri” membangun lanskap spiritual.
  • Tipografi: Penempatan larik yang tidak selalu lurus, memberi jeda dan ritme renungan.
  • Nada: Reflektif, kritis, dan kontemplatif.
Puisi “Gumam Jejak Duka” adalah puisi yang menyuarakan suara batin yang gundah dalam pencarian spiritual. Di tengah waktu yang gelap dan kematian yang dekat, tokoh lirik menggugat, merenung, lalu diam dalam kelelahan eksistensial. Penyair berhasil mengajak pembaca masuk ke ruang sunyi, di mana gema duka dan sangsi menggema, dan di sanalah justru manusia mulai mengenali dirinya—bukan melalui jawaban, melainkan melalui keheningan.

Dengan bahasa yang dalam dan simbolisme yang kuat, puisi ini tidak hanya berbicara tentang duka, tetapi juga tentang spiritualitas yang tak henti digugat dan digali, meski tak pernah sepenuhnya dijawab.

Puisi: Gumam Jejak Duka
Puisi: Gumam Jejak Duka
Karya: Bambang J. Prasetya

Biodata Bambang J. Prasetya:
  • Bambang Jaka  Prasetya (atau kadang disingkatnya Bambang JP) lahir di Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 1965.
© Sepenuhnya. All rights reserved.