Jadikan Aku Ksatria
Ibu, dongengi aku hikayat para ksatria
Yang gagah berani membela kebenaran
Dan kehormatan dan harga diri bangsa
Ayah, ceritakan padaku
Raden Gatutkaca
Yang dimasukkan ke kawah candradimuka
Yang bahan bakarnya senjata para dewa
Ibu
Jangan kasihan padaku
Cubit saja aku bila aku rewel dan membuat jengkel
Siapkan rotan dan pukullah aku
Bila tidak patuh perintahmu
Jangan manjakan aku, ibu
Ayah
Janganlah engkau marah
Pada guru yang menghukum aku
Dengan pukulan kecil di lenganku
Karena memang akulah yang tidak taat dan salah
Jangan bela aku, ayah
Ayah
Ibu
Jangan kasihan padaku
Jangan segan menghukumku
Jangan enggan memarahiku
Biarlah para guru ikut membina dan mendidikku
Ayah
Ibu
Jadikan aku ksatria yang gagah
Atau selamanya aku akan menjadi orang yang kalah
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi anak bukan hanya bisa menyampaikan dunia bermain, keceriaan, dan alam sekitar, tetapi juga bisa menjadi alat komunikasi nilai-nilai luhur yang ingin ditanamkan kepada generasi muda. Salah satu puisi anak yang sangat kuat dalam menyampaikan nilai moral dan semangat pembentukan karakter adalah "Jadikan Aku Ksatria" karya Arih Numboro.
Dimuat dalam antologi Surat dari Samudra (2018) oleh Balai Bahasa Jawa Tengah, puisi ini secara langsung menyuarakan harapan seorang anak untuk tumbuh menjadi pribadi kuat, disiplin, dan berani. Namun bukan semata-mata menjadi "kuat" secara fisik, melainkan kuat secara moral dan mental.
Permintaan Anak agar Dididik dengan Tegas
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang memohon kepada ayah dan ibunya agar mendidiknya dengan tegas. Ia tidak ingin dimanjakan atau dilindungi secara berlebihan. Anak tersebut ingin menjadi ksatria, figur ideal yang tidak hanya gagah secara lahir, tetapi juga berani membela kebenaran, menjunjung kehormatan, dan siap bertanggung jawab atas kesalahan.
Permintaan agar diberi hukuman jika melakukan kesalahan, agar tidak dibela ketika bersalah, menunjukkan kesadaran moral anak yang tinggi. Puisi ini adalah suara seorang anak yang memahami bahwa cinta sejati dari orang tua bukan hanya kasih sayang yang lembut, tapi juga ketegasan yang mendidik.
Tema: Pendidikan Karakter dan Pembentukan Jiwa Ksatria
Tema utama puisi ini adalah pendidikan karakter anak melalui ketegasan dan disiplin. Anak dalam puisi tidak meminta harta atau kesenangan, tetapi justru meminta proses pembentukan jiwa, agar kelak tumbuh menjadi ksatria, yakni pribadi yang bertanggung jawab, kuat secara mental, dan tidak mudah menyerah.
Selain itu, puisi ini juga menyentuh tema kepahlawanan dan semangat kebangsaan, melalui penyebutan tokoh wayang seperti Raden Gatutkaca, serta nilai-nilai seperti harga diri bangsa dan kehormatan.
Makna Tersirat: Disiplin Adalah Bentuk Cinta yang Mendidik
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam: disiplin dan ketegasan bukan bentuk kekerasan, tetapi bentuk cinta yang lebih tinggi. Anak yang benar-benar ingin menjadi kuat adalah mereka yang sanggup menghadapi tantangan sejak kecil, termasuk hukuman ketika berbuat salah.
Permintaan anak agar tidak dibela saat salah juga mencerminkan kesadaran akan tanggung jawab pribadi, sekaligus sindiran halus terhadap praktik orang tua masa kini yang sering kali membela anaknya secara membabi buta, bahkan ketika anak tersebut melakukan kesalahan.
Dengan demikian, puisi ini bisa dibaca sebagai bentuk kritik sosial yang halus terhadap pola asuh permisif yang membuat anak lemah, manja, dan tidak siap menghadapi dunia nyata.
Suasana dalam Puisi: Tegas, Haru, dan Sarat Harapan
Suasana dalam puisi ini adalah gabungan antara keharuan dan ketegasan. Ada kesan haru karena jarang ada anak yang dengan sadar meminta untuk dipukul jika salah, atau tidak dibela ketika bersalah. Tapi di sisi lain, suasana juga tegas dan membara, karena semangat sang anak sangat kuat dalam mewujudkan cita-citanya menjadi pribadi tangguh.
Pembaca dewasa bisa merasakan ketegangan emosional, sementara anak-anak bisa melihat sosok dalam puisi sebagai contoh yang inspiratif.
Amanat: Jangan Manjakan Anak, Didiklah dengan Tegas demi Masa Depannya
Amanat atau pesan moral yang disampaikan sangat jelas: didiklah anak dengan ketegasan, jangan memanjakannya secara berlebihan, karena masa depan anak ditentukan oleh karakter yang terbentuk sejak dini.
Puisi ini juga menekankan bahwa kesalahan tidak harus ditutupi, tetapi harus diakui dan diperbaiki. Anak-anak harus diajari bertanggung jawab, bukan diberi jalan pintas untuk lari dari konsekuensi perbuatannya.
Imaji: Ksatria, Kawah Candradimuka, dan Suasana Didikan Rumah
Puisi ini menyuguhkan imaji yang kuat, baik dari dunia cerita maupun dunia nyata:
- "Dongengi aku hikayat para ksatria" → membentuk imaji anak kecil yang sedang dibacakan kisah pahlawan.
- "Raden Gatutkaca yang dimasukkan ke kawah candradimuka" → membangkitkan imaji mitologis tentang pahlawan yang diproses lewat penderitaan.
- "Cubit saja aku bila aku rewel", "Siapkan rotan dan pukullah aku" → visualisasi keras namun simbolik tentang proses didikan rumah.
Imaji-imaji ini memperkuat intensitas puisi dan membawa pembaca membayangkan perjalanan anak menuju pembentukan karakter gagah dan berani.
Majas: Repetisi, Metafora, dan Ironi Halus
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang mendukung daya tarik dan kekuatan ekspresifnya:
- Repetisi (Pengulangan): Kata “Ayah”, “Ibu”, dan kalimat seperti “Jangan kasihan padaku” diulang sebagai penekanan emosional.
- Metafora: “Masukkan aku ke kawah candradimuka” → Metafora yang berarti proses pembentukan mental melalui ujian berat, bukan dalam arti harfiah.
- Ironi halus: Anak meminta dicubit dan dipukul, yang seharusnya menimbulkan iba, tapi justru ditujukan untuk membentuk dirinya. Ini menghadirkan ironi yang menyentuh.
- Hiperbola: "Selamanya aku akan menjadi orang yang kalah" → Sebuah penguatan makna yang dilebihkan, menggambarkan betapa pentingnya didikan keras bagi keberhasilan anak.
Sebuah Seruan Kuat tentang Pentingnya Didikan Tegas untuk Masa Depan Anak
Puisi "Jadikan Aku Ksatria" karya Arih Numboro merupakan puisi anak yang tidak biasa. Isinya bukan sekadar penghibur atau pemanis bacaan anak-anak, melainkan seruan moral yang dalam: bahwa cinta sejati dari orang tua adalah didikan yang keras namun penuh kasih, bukan pembiaran atau pembelaan membuta.
Dengan tema tentang pendidikan karakter, makna tersirat tentang tanggung jawab dan kedewasaan, serta imaji kuat yang memadukan dunia wayang dan dunia nyata, puisi ini menjadi cermin bagaimana seharusnya orang tua, guru, dan masyarakat membentuk generasi masa depan.
Pesannya sederhana namun tegas:
Bila ingin anak tumbuh menjadi ksatria, didiklah ia dengan keteladanan, kedisiplinan, dan keberanian untuk menghadapi kenyataan.