Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jejak di Ujung Senja (Karya Moh Akbar Dimas Mozaki)

Puisi "Jejak di Ujung Senja" karya Moh Akbar Dimas Mozaki bercerita tentang seseorang yang berjalan menyusuri batas waktu senja sambil mencari sisa ..

Jejak di Ujung Senja


Senja melipat langit dengan warna jingga,
aku berjalan di antara bayang yang memanjang,
mencari sisa kata yang tertinggal di pasir,
dan berharap ombak tak menghapusnya.

Juli, 2025

Analisis Puisi:

Puisi adalah jalan sunyi tempat kata-kata melangkah dalam diam. Dalam puisi "Jejak di Ujung Senja" karya Moh Akbar Dimas Mozaki, kita diajak menelusuri senja yang pudar bersama bayang-bayang yang memanjang dan kata-kata yang tertinggal di pasir. Pendek, namun sarat makna. Puitis, namun tak bertele-tele. Puisi ini seperti sepotong napas sore hari yang membawa kesadaran akan waktu, kenangan, dan harapan yang berjejak namun mudah terhapus.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah pencarian akan makna atau kenangan dalam keheningan waktu yang hampir berlalu. Senja dalam puisi ini menjadi simbol peralihan, akhir, atau masa menjelang tenggelamnya sesuatu yang berharga—entah itu cinta, pengalaman, atau harapan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berjalan menyusuri batas waktu senja sambil mencari sisa kata-kata yang pernah ada—mungkin kenangan, pesan, atau janji—yang tertinggal di pasir, tempat yang mudah dihapus ombak. Proses pencarian ini diliputi rasa waswas, karena ombak (yang bisa dimaknai sebagai waktu atau perubahan) mungkin segera menghapus jejak-jejak itu.

Ada kegetiran tersembunyi yang menyelimuti puisi ini. Penyair berjalan "di antara bayang yang memanjang" — sebuah visual puitis yang mencerminkan waktu yang mulai redup dan rasa diri yang mulai larut bersama senja. Di balik aktivitas mencari itu, terdapat harapan yang rapuh namun tetap dijaga: agar yang tertinggal tak lenyap.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh kerinduan dan kekhawatiran akan hilangnya jejak atau kenangan yang dulu pernah berarti. Kata-kata yang tertinggal di pasir adalah metafora dari hal-hal yang pernah dikatakan atau dirasakan, namun belum sempat diselesaikan atau diabadikan.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa setiap momen, meski singkat, bisa menyisakan bekas yang mendalam, dan manusia—dalam segala keterbatasannya—berusaha mempertahankannya meski tahu semuanya bisa lenyap kapan saja.

Harapan agar ombak tidak menghapus sisa kata di pasir adalah representasi dari usaha mempertahankan kenangan atau makna dalam derasnya perubahan dan waktu.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang hadir dalam puisi ini adalah melankolis, kontemplatif, dan penuh ketenangan yang menyesak. Tidak ada ledakan emosi, melainkan perasaan lembut namun dalam. Senja menciptakan atmosfer yang sepi dan reflektif, memperkuat kesan akan waktu yang semakin sempit dan kenangan yang perlahan larut.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa setiap kenangan dan kata-kata yang pernah tertinggal penting untuk dihargai, meski dunia dan waktu terus bergerak maju. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya meneguhkan makna hidup dan relasi manusia, sebelum semuanya terlambat atau terhapus oleh keadaan.

Juga, tersirat nasihat untuk tidak menunda menyampaikan yang penting, karena waktu tidak menunggu dan ombak kehidupan bisa menghapus jejak apa pun kapan saja.

Imaji

Puisi ini memunculkan beberapa imaji visual yang kuat dan khas:
  • “Senja melipat langit dengan warna jingga” → menggambarkan transisi alam di akhir hari dengan sentuhan estetis.
  • “Bayang yang memanjang” → menciptakan gambaran waktu yang hampir habis, seperti bayangan manusia saat sore mulai menua.
  • “Kata yang tertinggal di pasir” → menyimbolkan hal-hal yang pernah diucapkan namun kini rapuh, bisa hilang oleh air atau waktu.
  • “Ombak” → menyimbolkan kekuatan waktu atau perubahan yang bisa menghapus memori atau harapan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi:
  • “Senja melipat langit” → senja diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa melipat, menggambarkan aktivitas yang manusiawi pada elemen alam.
  • “Mencari sisa kata yang tertinggal di pasir” → seolah kata-kata memiliki bentuk konkret yang bisa dicari.
Metafora:
  • “Bayang yang memanjang” → bukan hanya secara literal, tapi juga menggambarkan perpanjangan waktu, penantian, atau refleksi diri.
  • “Ombak yang menghapus” → sebagai metafora dari waktu, perubahan, atau bahkan lupa.
Simbolisme:
  • Senja → akhir, perpisahan, kenangan.
  • Pasir → sesuatu yang mudah berubah atau hilang.
  • Ombak → arus kehidupan yang tak bisa dihentikan.
Puisi "Jejak di Ujung Senja" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah puisi reflektif yang sederhana dalam struktur, namun dalam dari segi isi dan rasa. Melalui suasana senja dan unsur alam yang puitis, penyair mengangkat tema pencarian makna, kenangan, dan perenungan di tengah perubahan waktu. Puisi ini berbicara dengan lembut tentang betapa rapuhnya jejak manusia di dunia yang terus bergerak, dan tentang kerinduan untuk mempertahankan apa yang pernah bermakna—meski kita tahu bahwa ombak bisa sewaktu-waktu menghapusnya.

Dengan kekuatan imaji dan simbol, puisi ini meninggalkan kesan yang lama di benak pembaca, seolah menegaskan bahwa senja bukan hanya waktu menuju malam, tetapi juga waktu untuk mengingat, menulis kembali jejak, dan menjaga yang tersisa dari hilang sepenuhnya.

Moh Akbar Dimas Mozaki
Puisi: Jejak di Ujung Senja
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki

Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
  • Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.