Kakekkakek & Bocahbocah
kakekkakek
tidur di pantai
dan bocahbocah main
nyelinap di ketiak mereka
masuk di kelengkang mereka
menguak mimpi mereka
dalam pasir
dan tertawa terkekehkekeh
dan kakekkakek
bangun
menemukan diri
tertawa
terkekehkekeh
angin datang
menyibak pasir
dan kakekkakek
menemukan
tulangbelulang sendiri
di dalam pasir
lalu nangis
dan tidur kembali
dan bocahbocah tertawa
terkekehkekehkehkehkeh
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Analisis Puisi:
Puisi "Kakekkakek & Bocahbocah" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah perwujudan dari gaya puitik eksperimental yang khas dan penuh daya gugah. Dalam larik-lariknya yang tak biasa, penyair Indonesia yang dikenal dengan "Kredo Puisi" ini menghadirkan pertunjukan imajinatif tentang siklus kehidupan manusia — mulai dari keluguan masa kanak-kanak hingga keheningan usia senja. Melalui permainan fonetik, simbol, dan ironi, puisi ini menjadi jendela untuk melihat kehidupan dengan cara yang nyentrik namun sarat makna.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah siklus kehidupan dan kesadaran diri manusia akan kefanaannya. Puisi ini menampilkan dua kutub usia — kakek dan bocah — sebagai representasi dari dua fase hidup yang tampaknya berseberangan, tetapi justru saling menyentuh dan menimbulkan refleksi mendalam.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan makna tersirat tentang bagaimana masa muda dan masa tua bukanlah entitas yang terpisah sepenuhnya. Dalam kehadiran bocah-bocah yang bermain di antara tubuh kakek-kakek yang tertidur di pasir, muncul tafsir tentang bagaimana kenangan, jiwa muda, dan kegembiraan tidak pernah sepenuhnya hilang dari diri orang tua. Anak-anak ini “menguak mimpi mereka dalam pasir”, yang menyiratkan bahwa masa muda menyusup kembali dalam ingatan atau bawah sadar orang tua yang menua.
Namun, ketika kakekkakek bangun dan tertawa, mereka seolah kembali merasakan hidup. Tawa mereka bisa jadi cermin dari tawa bocah-bocah, yang menyatu dalam permainan waktu. Tapi keheningan muncul saat angin menyibak pasir dan mereka melihat “tulangbelulang sendiri” — momen kesadaran penuh tentang kefanaan, tentang kematian yang menanti, yang tak bisa disembunyikan lagi. Ini adalah momen tragis sekaligus puitis, ketika kehidupan harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ia akan berakhir.
Puisi ini bercerita tentang perjumpaan metaforis antara masa tua dan masa kanak-kanak, yang dilukiskan secara simbolis melalui sosok kakekkakek yang tidur dan bocahbocah yang bermain. Puisi ini seperti sebuah siklus: tidur → mimpi → tertawa → sadar → menangis → tidur kembali. Ini bukan sekadar narasi tentang interaksi generasi, melainkan perenungan tentang memori, waktu, dan akhir hidup.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini berganti-ganti secara dinamis. Diawali dengan nuansa tenang dan absurd, kemudian bergerak ke ceria dan riuh saat anak-anak tertawa dan bermain, lalu bergeser menjadi getir dan menyayat saat kakek menyadari tulang-belulangnya sendiri — semacam pertemuan antara kegembiraan masa lalu dan kehampaan masa depan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa kehidupan adalah rangkaian yang melingkar — dari tawa ke tangis, dari permainan ke kesadaran, dan dari kelahiran menuju kematian. Masa tua bukan sekadar menunggu ajal, tetapi juga menjadi cermin dari masa kecil. Namun, pada akhirnya, manusia harus siap melihat kenyataan akan kefanaannya. Kesenangan mungkin datang dan pergi, tapi yang abadi adalah kesadaran bahwa hidup memiliki batas. Puisi ini juga menyiratkan bahwa dalam keriangan hidup pun, kita tak boleh lupa bahwa waktu berjalan dan membawa kita pada akhir yang pasti.
Imaji
Puisi ini memunculkan imaji visual dan kinestetik yang sangat kuat dan teatrikal:
- “kakekkakek tidur di pantai” menciptakan gambaran damai namun rapuh.
- “bocahbocah main nyelinap di ketiak mereka, masuk di kelengkang mereka” memberi kesan kegembiraan liar dan tak terkendali dari anak-anak.
- “menguak mimpi mereka dalam pasir” menyiratkan gambaran abstrak tentang kenangan masa lalu yang tersembunyi di bawah kesadaran.
- “angin datang menyibak pasir” adalah momen dramatis, seolah semesta mengungkap rahasia yang ditutup-tutupi.
- “menemukan tulangbelulang sendiri” memberikan kesan menyeramkan namun penuh makna, mengajak pembaca untuk menyentuh realitas kematian secara gamblang.
Majas
Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Mimpi dan pasir digambarkan seolah bisa "diuak", seakan mimpi adalah ruang fisik yang bisa dimasuki anak-anak.
- Metafora: “Tulangbelulang sendiri” menjadi metafora dari kefanaan yang tidak lagi bisa ditutupi. Ini bukan sekadar tulang secara harfiah, melainkan simbol dari identitas manusia yang pada akhirnya menjadi sisa-sisa.
- Repetisi: Pengulangan kata seperti “kakekkakek”, “bocahbocah”, dan “terkekehkekeh” bukan hanya gaya khas Sutardji, tetapi juga menciptakan efek musikal dan ritmis yang meniru suasana permainan anak-anak atau dengungan waktu yang berulang.
- Ironi: Tertawa dan tangis muncul bersamaan. Kakek tertawa lalu menangis, bocah tetap tertawa bahkan saat kakek menangis. Ini menyiratkan ironi kehidupan: dunia terus bergerak, tertawa tetap hadir bahkan saat seseorang menyadari dirinya menuju kematian.
Puisi "Kakekkakek & Bocahbocah" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah puisi kontemporer yang kaya akan simbol dan lapisan makna. Dengan tema siklus kehidupan dan kefanaan, puisi ini menggambarkan hubungan paradoks antara masa tua dan masa kanak-kanak. Makna tersirat yang dalam, suasana yang dinamis, serta imaji dan majas yang kuat menjadikan puisi ini sebagai salah satu karya puitik eksperimental yang menggugah dan tak lekang oleh waktu. Seperti halnya karya-karya Sutardji lainnya, puisi ini tak hanya dibaca, tapi dirasakan — dengan tawa, tangis, dan kesunyian yang menyertainya.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
