Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku (Karya Rusli A. Malem)

Puisi “Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku” karya Rusli A. Malem bercerita tentang seorang penyair (atau tokoh aku) yang berbicara kepada ...
Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku

Kalau rindu dapat kujadikan laut, saudaraku
Maka akan kuselam mutiara teluk pualam
Lalu kita layarkan bahtera ke negeri Cina
Jauh ke Utara berniaga dengan derita

Kalau rindu dapat kujadikan laut, saudaraku
Maka akan kukibarkan bendera atas perahu mimpi kita
Yang akan mengirimkan isyarat: Selamat tinggal
Kepada kota yang angkuh dan hutan-hutan yang gundul
Tanah tumpah darah yang kian mandul
Kemudian, bagai Colombus yang sesat di negeri sendiri
Kita rancangkan pengembaraan ke Benua Matahari
Untuk mencari daerah yang baru
Negeri yang belum tersurat di dalam peta
Negeri yang tanpa raja yang tanpa dusta

Kalau rindu dapat kujadikan laut, saudaraku
Maka akan kupacu gelombang, merenangi pulau karang
Membunuh ular naga yang melibaskan ekornya ke tubuh kita
Kemudian, akan kita lantik nakhota di atas kapal-kapal
Sebelum huru-hara lain timbul meracun akal

Kalau rindu dapat kujadikan laut, saudaraku
Maka akan kulabuhkan Bahtera Nuh bagimu

1975

Analisis Puisi:

Puisi “Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku” adalah elegi penuh daya imajinasi, yang menyuarakan kerinduan mendalam terhadap perubahan, pembebasan, dan pencarian dunia yang lebih adil serta manusiawi. Ditulis dengan gaya naratif-liris dan sarat simbol, puisi ini tidak hanya mengungkap rindu sebagai perasaan emosional, tetapi sebagai motor perlawanan dan petualangan eksistensial. Rusli A. Malem menggunakan elemen-elemen laut, bahtera, naga, dan pelayaran untuk menyampaikan perasaan kolektif tentang keterasingan, penindasan, dan harapan akan negeri yang lebih baik.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan akan perubahan dan pembebasan. Rindu dalam puisi ini bukan semata kerinduan personal, melainkan kerinduan sosial-politik, kerinduan akan tempat yang lebih layak untuk hidup, dan keinginan kolektif untuk melarikan diri dari kebusukan sistem yang menindas. Ini adalah rindu yang bersifat transenden—yang ingin menembus batas-batas geografis, sejarah, dan imajinasi demi meraih dunia baru yang belum tercemar oleh kekuasaan dan dusta.

Puisi ini bercerita tentang seorang penyair (atau tokoh aku) yang berbicara kepada saudaranya tentang keinginan untuk mengubah rindu menjadi kekuatan: kekuatan untuk menjelajah laut, membentuk perlawanan, dan mencari negeri yang lebih adil dan manusiawi. Ia mengandaikan bahtera sebagai kendaraan mimpi, meninggalkan kota-kota angkuh, hutan-hutan gundul, dan tanah air yang “kian mandul”, untuk kemudian berlayar menuju negeri utopis: negeri yang “belum tersurat dalam peta” dan “tanpa raja, tanpa dusta”.

Di tengah pelayaran imajiner ini, penyair menggambarkan pertarungan melawan kekuatan jahat (“ular naga”) dan merancang perlawanan strategis sebelum kerusakan merajalela. Puisi ditutup dengan janji agung: bahwa bahtera Nuh akan dilabuhkan untuk saudaranya—simbol keselamatan dan harapan di tengah amuk dunia.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kuat sebagai kritik terhadap keadaan bangsa dan masyarakat yang mengalami kehancuran ekologis, kemunduran moral, dan kemandekan peradaban:
  • Rindu sebagai perlawanan – Rindu dalam puisi ini bukan rindu pasif, melainkan kerinduan aktif yang ingin menembus dan mengubah keadaan. Ini bukan nostalgia, melainkan dorongan untuk bergerak dan bermimpi.
  • Pencarian negeri baru – Simbol negeri yang “belum tersurat dalam peta” adalah gambaran dari utopia atau idealisme sosial. Penyair menolak dunia lama yang dipenuhi ketidakadilan dan ingin mencari wilayah baru yang lebih suci dan adil.
  • Simbolisme keagamaan dan politik – Bahtera Nuh melambangkan keselamatan di tengah kehancuran, sedangkan “naga” melambangkan kekuatan jahat atau kuasa yang menindas. Negeri tanpa raja menyiratkan keinginan akan masyarakat tanpa feodalisme atau tirani.
  • Harapan akan revolusi damai – Di balik amarah, puisi ini mengandung harapan: bahwa manusia bisa memilih untuk “berlayar” dan membangun ulang dunia.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah epik, melankolis, dan heroik. Ada kedalaman perasaan rindu yang sangat personal, namun pada saat yang sama juga terdapat semangat perlawanan dan keberanian menghadapi bahaya. Pembaca seakan-akan diajak naik ke atas kapal bersama penyair dan berlayar menuju kemungkinan yang lebih baik, meskipun penuh resiko. Suasana ini juga kadang mistis, menyentuh spiritualitas lewat rujukan pada Bahtera Nuh dan peta yang belum tertulis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
  • Ketika kenyataan terlalu menyesakkan, maka rindu harus dijadikan kekuatan untuk bergerak dan mencipta harapan.
  • Jangan tunduk pada sistem yang korup dan menindas; carilah jalan baru, negeri baru, dan impian baru.
  • Bahaya dan kekacauan harus dihadapi dengan keberanian dan strategi, bukan kepasrahan.
  • Harapan akan negeri yang lebih adil dan tanpa dusta selalu mungkin, jika ada keberanian untuk berlayar.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan simbolik:
  • “Mutiara teluk pualam” – gambaran keindahan dan kekayaan batin yang bisa ditemukan jika rindu dijadikan kekuatan.
  • “Bahtera ke negeri Cina” – imaji pelayaran jauh, simbol petualangan dan perdagangan antara budaya dan penderitaan.
  • “Bendera di atas perahu mimpi” – simbol gerakan, mimpi kolektif, atau revolusi spiritual.
  • “Negeri tanpa raja, tanpa dusta” – imaji utopia, wilayah impian yang belum ternoda.
  • “Ular naga yang melibaskan ekornya” – makhluk mitologis yang mewakili ancaman atau tirani.
  • “Bahtera Nuh” – simbol penyelamatan spiritual di tengah dunia yang dilanda kehancuran.

Majas

Puisi ini menggunakan sejumlah majas penting yang memperkuat kekuatan naratif dan simboliknya:
  • Metafora utama: “Kalau rindu dapat kujadikan laut” adalah metafora besar yang mendasari seluruh puisi. Rindu disamakan dengan laut—luas, dalam, dan penuh daya dorong.
  • Simbolisme: Laut, naga, bahtera, dan negeri tanpa raja adalah simbol dari konsep-konsep yang lebih besar—kebebasan, ancaman, harapan, dan perubahan sosial.
  • Hiperbola: “Membunuh ular naga yang melibaskan ekornya ke tubuh kita”—ungkapan dramatis yang mengekspresikan perlawanan terhadap kekuatan besar.
  • Alusi religius: “Bahtera Nuh” adalah rujukan langsung ke kisah dalam kitab suci, yang memperkuat dimensi spiritual dan keselamatan kolektif.
  • Repetisi: Kalimat pembuka “Kalau rindu dapat kujadikan laut, saudaraku” diulang untuk menciptakan ritme dan memperkuat pesan emosional puisi.
Puisi “Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku” karya Rusli A. Malem adalah puisi tentang perlawanan dan harapan, dibungkus dalam metafora kerinduan yang luas dan dalam. Ia menawarkan sebuah visi spiritual-politik: bahwa kerinduan bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang keberanian untuk bermimpi dan mencipta ulang dunia yang lebih adil. Dengan bahasa yang kuat, simbolik, dan emosional, puisi ini menjadi ajakan untuk bergerak, berlayar, dan menolak tunduk pada dunia yang telah lapuk dan penuh luka.

Rusli A. Malem
Puisi: Kalau Rindu Dapat Kujadikan Laut, Saudaraku
Karya: Rusli A. Malem

Biodata Rusli A. Malem:
  • Rusli A. Malem lahir pada tanggal 27 November 1942 di desa Lhok Nibong, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.