Kancing Gaya Lama
Kubebaskan tiga belas kancing baju
agar engkau mampu mengasihiku.
Getah sendiri kusadap tak henti-henti,
menakar payudaramu aku tak lagi.
Kutebar rambutku di selasar plaza
supaya kumiliki jejak sepatumu.
Terhantar ke mejaku wajahmu hanya
menyembul dari balik sedan baru.
Ringan kau tiba dengan koran pagi
menawarkan teluk dan bubuk kopi.
Tapi cukuplah dengan kilau bahumu
kaum berjubah jadi pemburumu.
Ketika mereka rajin membakarmu
kukabarkan cintaku ke kantor polisi.
Kenapa tubuhmu terpandang serbabiru?
Padahal zahirmu semurni bintang pagi.
Mengantri roti pun kucoba mengunduhmu,
tak juga hangus kau pemilik matahari,
telanjang masih kau pemetik kuntum lili,
penyigi es krim kau tak kunjung milikku.
2006
Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)
Analisis Puisi:
Puisi "Kancing Gaya Lama" karya Nirwan Dewanto merupakan karya puitik yang penuh simbol, metafora sensual, dan kritik sosial yang terselubung. Dengan struktur 5 bait dan 4 baris per bait, puisi ini menyuguhkan semacam monolog puitik dari seorang tokoh lirik yang memuja, mendamba, dan memproyeksikan obsesinya terhadap sosok perempuan. Namun di balik ungkapan romantik dan sensual, tersimpan narasi tentang kekuasaan, pengobjekan tubuh, dan dilema cinta dalam konteks sosial-politik yang ambigu.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah hasrat dan obsesi terhadap sosok perempuan, namun dilapisi oleh subtema penindasan, pengawasan sosial, dan kegetiran cinta yang tak sampai. Puisi ini juga membahas konflik antara keinginan personal dengan norma sosial, di mana tubuh perempuan menjadi ruang tarik-menarik antara hasrat personal dan penghakiman publik.
Makna Tersirat
Puisi ini tidak dapat dibaca secara harfiah sebagai puisi cinta biasa. Banyak makna tersirat yang tersembunyi di balik pilihan diksi dan metafora:
- Tokoh lirik tampaknya tidak hanya mencintai, tetapi mengobjekkan sosok yang ia puja. Ia membuka "tiga belas kancing baju" untuk membebaskan, tetapi juga untuk memiliki.
- Sosok perempuan yang dimaksud dalam puisi menjadi simbol kebebasan tubuh, ekspresi, dan identitas, namun selalu berada di bawah ancaman pengawasan sosial ("kaum berjubah", "kantor polisi", "serbabiru").
- Baris seperti "kukabarkan cintaku ke kantor polisi" dan "padahal zahirmu semurni bintang pagi" menunjukkan adanya penghakiman moral atau sosial terhadap tubuh dan perempuan, meskipun dari sudut pandang penyair, perempuan itu tetap murni dan layak dicintai.
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang menonjol dalam karya ini meliputi:
- Struktur: Lima bait dengan empat baris setiap bait (kuatrain), memberikan kesan stabil namun penuh ketegangan dalam tiap larik.
- Diksi: Pilihan kata seperti “payudara”, “getah”, “pemilik matahari”, “pemetik kuntum lili”, memperlihatkan kecenderungan simbolik yang sensual dan metaforis.
- Simbolisme: Banyak simbol digunakan untuk menyampaikan makna yang lebih dalam seperti “kancing”, “sedan baru”, “teluk”, “bintang pagi”, “lili”.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang terobsesi pada sosok perempuan, dan mencoba memilikinya dengan berbagai cara—baik melalui tindakan personal, penyerahan, maupun pelaporan kepada otoritas. Namun cinta itu tak pernah sepenuhnya dimiliki. Perempuan yang dipuja tetap menjadi figur bebas, bahkan ketika tubuhnya diawasi dan dituduh. Di sinilah narasi puisi menjadi kaya makna: ia bukan sekadar tentang hubungan dua insan, tetapi tentang ketegangan antara tubuh perempuan dengan tatanan sosial yang ingin menundukkannya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, ambigu, sekaligus erotik. Ada rasa haus yang tak tuntas, kekaguman yang berbalut penderitaan, dan semacam keputusasaan yang estetis. Getaran hasrat dibenturkan dengan kegetiran kenyataan: cinta yang tak memiliki, tubuh yang diawasi, dan masyarakat yang memaksa perasaan tunduk pada norma.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan bahwa hasrat dan cinta tidak dapat sepenuhnya dikekang oleh norma, tetapi cinta yang mengobjekkan juga tidak seutuhnya membebaskan. Tubuh perempuan dalam puisi ini tidak hanya menjadi objek pujian, tapi juga sasaran penilaian sosial dan kekuasaan. Amanatnya barangkali adalah: mencintai seseorang berarti membebaskannya dari niat memiliki, termasuk dari keinginan menundukkan tubuh dan jiwanya untuk memenuhi harapan kita sendiri.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji tubuh dan sensualitas, tetapi tetap dalam balutan simbolis dan tidak vulgar:
- “Kubebaskan tiga belas kancing baju” → imaji pembukaan tubuh, baik secara literal maupun metaforis (membuka batas, membebaskan diri).
- “Getah sendiri kusadap tak henti-henti” → imaji biologis yang menggambarkan dorongan dan rasa haus.
- “Kilau bahumu”, “pemetik kuntum lili”, “pemilik matahari” → menciptakan imaji visual dan spiritual dari tubuh perempuan sebagai sumber keindahan dan kekuatan.
- “Koran pagi”, “sedan baru”, “plaza” → memperkuat konteks urban dan modernitas yang melatari puisi ini.
Majas
Puisi ini sangat kaya majas, yang memperdalam suasana dan menyiratkan makna yang kompleks:
Metafora:
- “Tiga belas kancing” → bukan hanya tentang baju, tetapi simbol pembebasan, sensualitas, atau mungkin pembongkaran tabu.
- “Lagumu telah menguburku”, “pemetik kuntum lili” → simbol kehidupan, kesucian, atau femininitas yang tak tergapai.
Personifikasi:
- “Ringan kau tiba dengan koran pagi” → menghadirkan perempuan sebagai sosok magis yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Sarkasme dan ironi:
- “kukabarkan cintaku ke kantor polisi” → sindiran terhadap negara atau masyarakat yang terlalu mencampuri ruang privat dan cinta personal.
Paradoks:
- “Telanjang masih kau pemetik kuntum lili” → tubuh telanjang digambarkan tetap suci, menantang narasi umum tentang moralitas tubuh.
Puisi "Kancing Gaya Lama" karya Nirwan Dewanto adalah contoh puitika modern yang menggugah, membingungkan, dan memukau sekaligus. Ia memadukan kerinduan personal dengan kritik sosial dalam bahasa yang sensual, simbolik, dan tajam. Perempuan dalam puisi bukan sekadar objek cinta, tetapi juga pusat kekuatan dan subjek yang tidak bisa ditaklukkan. Ia mengandung pesan moral dan eksistensial yang mendalam: bahwa dalam mencinta, manusia harus belajar merelakan, memahami, dan menghormati tubuh serta jiwa yang ia kagumi.
Biodata Nirwan Dewanto:
- Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
