Kasidah Lilin
- 27 mei
pada hari ini telah kaugenapkan hitungan napas
dengan iringan kasidah cahaya. Dua puluh tiga tahun
waktu dan cuaca menguji setiamu pada bumi
langit yang menciptakan musim dan cakrawala
aku harap kaupun menyala, meski angin teramat deras
menggempur pepohonan yang sedang khusuk ruku
di jiwamu. Meliuklah seperti para darwis
mengikuti loncatan irama dalam batin
seperti para penari yang bercakap dengan
gerak tubuhnya sendiri. Mabuklah bersama pengembara
menjelajahi ruang-ruang yang tak pernah terjangkau
pikiranmu. Dan pada detik-detik yang lambat ini
akan kauundang para malaikat untuk membasuh
rambut dan lumpur yang membaluri kulit tubuhmu
bersiaplah kau dari pedang yang tiba-tiba
membelah dadamu, menghapus bercak-bercak
hitam bersembunyi dalam lipatan-lipatan kalbu
dan ketika kautiup nyala api pada tubuhku
pahami: aku kekal menyala dalam kekosonganmu
Bandung, 1996
Sumber: Sebelum Senja Selesai (2002)
Analisis Puisi:
Puisi “Kasidah Lilin” karya Moh. Wan Anwar adalah puisi kontemplatif yang kaya dengan lapisan spiritual dan simbolisme eksistensial. Melalui citraan cahaya, gerak, dan keheningan, puisi ini mengisahkan perjalanan batin seorang insan dalam menghadapi waktu, kehidupan, dan kematian. Diksi yang padat dan metaforis menjadikan puisi ini seolah sebuah zikir puitis, kasidah yang tak dinyanyikan dengan suara, tapi dengan kesunyian dan kesadaran terdalam.
Perjalanan Spiritual dalam Ujian Waktu
Puisi ini bercerita tentang seorang individu (mungkin tokoh simbolik seperti lilin) yang telah menapaki hidup selama dua puluh tiga tahun, dan dalam rentang itu ia mengalami ujian, pergolakan, serta penempaan diri oleh waktu, cuaca, dan realitas dunia.
Figur "lilin" dalam judul dan larik “kasidah cahaya” menjadi lambang penerangan, pengorbanan, dan keteguhan dalam menghadapi kegelapan dan angin yang mengguncang. Lilin tak hanya menyala, tetapi juga melambangkan spiritualitas, sebagaimana kasidah yang mengalun dalam puji-pujian kepada Sang Pencipta.
Tema: Perenungan Hidup, Spiritualitas, dan Pembersihan Jiwa
Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan spiritual manusia dalam menyucikan diri. Ia berbicara tentang proses pembersihan batin, pengembaraan ruhani, dan ketekunan menghadapi cobaan dunia. “Dua puluh tiga tahun” mungkin adalah usia simbolik—mewakili fase pendewasaan diri, ketika seseorang mulai bertanya dan menghayati hakikat eksistensinya.
Subtema lainnya adalah pengorbanan dan keabadian dalam ketidakterhinggaan, seperti yang ditegaskan pada larik penutup:
“pahami: aku kekal menyala dalam kekosonganmu.”
Makna Tersirat: Pengabdian dalam Keheningan dan Kesadaran Akan Kematian
Puisi ini sarat akan makna tersirat. Ia tidak sekadar menyampaikan peristiwa, tapi menyingkap lapisan-lapisan batin:
- Lilin adalah lambang pengorbanan diam-diam—ia menyala sambil mengikis dirinya sendiri, memberi terang bagi yang lain.
- Angin yang deras bisa dimaknai sebagai godaan dunia, kesulitan hidup, atau gejolak batin.
- Darwis dan penari melambangkan pengembaraan mistik, pencarian ilahiah melalui gerak dan kesadaran tubuh.
- Para malaikat yang datang membasuh tubuh bisa dimaknai sebagai proses penyucian, pertobatan, atau menjelang ajal.
Unsur Puisi:
- Tipografi dan Enjambemen: Banyak baris yang berlanjut ke baris berikutnya tanpa titik, menunjukkan arus kesadaran yang mengalir.
- Diksi: Mengandung bahasa spiritual dan filosofis: “kasidah cahaya”, “darwis”, “malaikat”, “kalbu”, “kekosongan”.
Imaji: Simbolik dan Transendental
Puisi ini sarat imaji simbolik dan transendental, tidak sekadar membentuk gambaran visual, tetapi menggugah makna di baliknya:
- Kasidah cahaya → citraan suara dan terang spiritual.
- Lilin menyala meski diterpa angin → gambaran keteguhan jiwa.
- Gerak darwis dan penari → imaji tubuh dalam transendensi.
- Malaikat membasuh lumpur → simbol pensucian jiwa dari dosa.
- Pedang yang membelah dada → simbol kesadaran tajam yang menyakitkan namun membebaskan.
- Api dalam tubuh → cinta, kesadaran, atau pengorbanan yang hidup dalam diri.
Majas: Metafora, Personifikasi, Simbolik
Puisi ini penuh dengan majas simbolik dan metafora, antara lain:
Metafora:
- “kasidah cahaya” sebagai puji-pujian spiritual.
- “kaupun menyala” → tidak secara harfiah terbakar, tetapi menggambarkan semangat hidup.
- “pahami: aku kekal menyala dalam kekosonganmu” → pengorbanan yang terus hidup meski dalam ruang kosong jiwa.
Personifikasi:
- “pepohonan yang sedang khusuk ruku” → menggambarkan alam yang ikut berdoa.
Simbolisme Sufi:
- Gerak darwis dan mabuk spiritual bukan tentang kerusakan, tapi ekstase mistik.
Suasana dalam Puisi: Hening, Sakral, dan Reflektif
Puisi ini memancarkan suasana yang tenang, penuh kekhusyukan dan kesadaran batin. Ia seperti doa panjang yang dibisikkan dalam kesunyian malam. Ada nada renungan menjelang kematian, namun bukan dengan sedih, melainkan penuh persiapan dan penerimaan.
Amanat / Pesan: Menyucikan Diri dalam Ujian Hidup
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa hidup adalah perjalanan spiritual, dan manusia diuji bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk disempurnakan. Dalam deraan angin dunia dan luka batin, jiwa harus tetap menyala seperti lilin, dan bila kelak padam, ia harus meninggalkan jejak terang.
Sebuah Zikir Puisi tentang Jiwa dan Cahaya
Puisi “Kasidah Lilin” adalah karya yang menggabungkan spiritualitas dan estetika puitik dalam satu tarikan napas. Di dalamnya terkandung kesadaran akan kefanaan, namun juga kerinduan untuk menyala abadi dalam keheningan batin.
Dengan tema pencerahan jiwa, makna tersirat yang dalam, serta penggunaan imaji dan majas bernuansa mistik, puisi ini menjelma sebagai doa dalam bentuk puisi, sebuah kasidah kontemporer untuk zaman yang haus makna.
Karya: Moh. Wan Anwar
Biodata Moh. Wan Anwar
- Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
- Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.
