Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kekasih (Karya Isbedy Stiawan ZS)

Puisi “Kekasih” karya Isbedy Stiawan ZS bercerita tentang seseorang yang memohon kepada kekasihnya agar diterima sebagai pasangan di malam hari, ...
Kekasih

pabila matahari telah meninggalkanmu
dan sesabit bulan tersenyum
izinkan aku menjadi kekasihmu malam ini
di pelaminan itu kuikrar setia
kudzikirkan cintakasih tiada dua
akan kumaharkan lapar hausku
hanya untukmu, cintaku tak
pernah berpaling
kutadahkan tanganku dari kasihmu
tak terbilang dalam hidangan

pabila matahari telah lelap
sesabit bulan rebah di peraduanku
izinkan aku menjadi kekasihmu
selama seribu bulan
yang selalu menawan.

Analisis Puisi:

Puisi “Kekasih” karya Isbedy Stiawan ZS menghadirkan nuansa spiritual dan romantis dalam balutan diksi religius dan simbolis. Melalui permainan waktu malam—saat matahari telah pergi dan bulan bersabit menyinari—penyair membingkai cinta yang khusyuk, tulus, dan mendalam, seakan menjadikan relasi cinta sebagai ibadah yang suci.

Tema

Tema utama puisi ini adalah cinta suci yang total, tulus, dan tak tergoyahkan, diungkapkan melalui simbol-simbol spiritual dan kesetiaan. Cinta dalam puisi ini bukan hanya perasaan duniawi, melainkan cinta yang ditransformasikan menjadi bentuk pengabdian, doa, dan pengorbanan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang memohon kepada kekasihnya agar diterima sebagai pasangan di malam hari, ketika matahari telah pergi dan bulan menjadi saksi. Ia mengucapkan ikrar setia, menyatakan cintanya yang abadi, dan bersedia memberikan seluruh dirinya, termasuk lapar dan hausnya, hanya untuk sang kekasih.

Lebih dari sekadar relasi asmara, penyair juga mengisyaratkan dimensi spiritual dalam hubungan tersebut, di mana cinta tidak sekadar melibatkan dua insan, melainkan juga Tuhan sebagai saksi dan tujuan tertinggi dari kesetiaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa cinta sejati adalah bentuk pengabdian total, yang diiringi ketulusan, doa, dan keteguhan hati. Penyerahan diri dalam puisi ini tak ubahnya laku spiritual: seseorang yang mencintai dengan cara mendekatkan diri, bukan sekadar merayu.

Puisi ini juga menyiratkan keabadian cinta, sebagaimana ditunjukkan melalui pengulangan diksi malam, pelaminan, dan metafora “seribu bulan” yang melambangkan waktu yang panjang dan penuh makna—mungkin merujuk secara implisit pada konsep "Lailatul Qadar" dalam tradisi Islam, malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat tenang, khusyuk, dan syahdu, seperti suasana malam hari yang menjadi tempat suci untuk menyampaikan doa dan janji setia. Ada kelembutan dan keteguhan sekaligus, menciptakan atmosfer yang romantis sekaligus spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat puisi ini adalah bahwa cinta sejati tidak bersifat sementara atau penuh syarat, melainkan sebuah pengabdian yang berlangsung tanpa pamrih dan tak tergoyahkan oleh waktu. Penyair ingin menyampaikan bahwa kesetiaan adalah bentuk cinta tertinggi, dan bahwa cinta bisa menjadi jalan spiritual menuju pengabdian, keikhlasan, dan kebersamaan yang hakiki.

Imaji

Puisi ini menyuguhkan imaji visual dan simbolik yang kuat:
  • “pabila matahari telah meninggalkanmu” → menggambarkan perubahan hari, waktu yang tenang, intim, dan reflektif.
  • “sesabit bulan tersenyum” → membangun imaji bulan sabit yang lembut dan penuh kesan kedamaian.
  • “di pelaminan itu kuikrar setia” → membentuk gambaran pernikahan, komitmen, dan kesucian hubungan.
  • “kutadahkan tanganku dari kasihmu” → membangun imaji seorang yang berdoa, menandakan ketulusan dan kepasrahan dalam cinta.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas atau gaya bahasa kiasan yang memperindah dan memperdalam makna:

Personifikasi:
  • “sesabit bulan tersenyum” → bulan digambarkan tersenyum, memberi kesan ramah, damai, dan lembut.
  • “matahari telah meninggalkanmu” → matahari dianggap sebagai sosok yang bisa pergi atau berpaling.
Metafora:
  • “kuikrar setia di pelaminan itu” → pelaminan sebagai simbol pernikahan, bisa bermakna literal maupun metafora untuk ikatan suci.
  • “kudzikirkan cintakasih tiada dua” → cinta sebagai bentuk dzikir, menyiratkan makna spiritualitas cinta.
Hiperbola:
  • “selama seribu bulan” → melebih-lebihkan waktu untuk menekankan keabadian dan ketulusan cinta.
Repetisi:
  • Pengulangan struktur “pabila matahari... sesabit bulan...” pada awal dua bagian puisi memberi irama dan penekanan pada momen malam sebagai waktu perenungan dan pengikatan janji.
Puisi "Kekasih" karya Isbedy Stiawan ZS adalah ekspresi cinta yang dalam, tulus, dan bersifat spiritual. Ia memadukan simbol malam, bulan, dan pelaminan untuk menggambarkan cinta yang bukan sekadar hasrat, tetapi juga pengabdian dan kesetiaan. Diksi yang dipilih penuh kelembutan, namun sarat kekuatan spiritual.

Dengan tema cinta yang abadi, puisi ini menyentuh lapisan batin pembaca, memperlihatkan bahwa cinta sejati adalah tentang memberi, mendoakan, dan tidak pernah berpaling, bahkan ketika dunia mulai redup. Dalam senyapnya malam, penyair meletakkan cintanya sebagai doa, dan melalui bait-baitnya, pembaca pun turut tenggelam dalam keheningan yang penuh makna.

Apabila dibaca dengan perenungan, puisi "Kekasih" bukan hanya tentang hubungan antarmanusia, melainkan juga bisa ditafsirkan sebagai relasi antara manusia dan Tuhannya: cinta yang khusyuk, dzikir yang menyatu, dan janji yang tak akan pernah putus oleh waktu.

Isbedy Stiawan ZS
Puisi: Kekasih
Karya: Isbedy Stiawan ZS
© Sepenuhnya. All rights reserved.