Kepada Penasihat Raja
apa kabar penasihat raja?
di mana tawa yang pernah ditawar?
berapa harga sebuah martabat?
berapa Tuhan terjual demi uang?
sudah....
semua tanah rata terbabat
penguasa naik tahta
rakyat selalu dapat ampas
sudah, sudah.
semuanya sudah.
Ruteng, 24 Juli 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Penasihat Raja" karya Karno Dentius Oce adalah karya pendek namun menggigit, mengandung kekuatan kritik sosial-politik yang tajam dan menusuk. Meskipun terdiri dari hanya beberapa larik, puisi ini berbicara banyak tentang ketimpangan, pengkhianatan moral, dan kerusakan sistem kekuasaan. Sebuah puisi yang mengajak pembaca merenung tentang siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab saat kebenaran dibungkam dan rakyat selalu jadi korban.
Puisi ini bercerita tentang teguran atau sindiran kepada tokoh penasihat raja — simbol dari intelektual, pejabat tinggi, atau siapa pun yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan, tetapi diam atau bahkan ikut dalam kezaliman. Penyair mempertanyakan integritas, harga diri, dan peran moral yang semestinya dimiliki oleh seseorang yang berada di lingkaran penguasa.
Tema
Tema utama puisi ini adalah korupsi moral dan pengkhianatan terhadap rakyat oleh para elite kekuasaan. Dalam puisi ini, sang “penasihat raja” menjadi sosok simbolik yang mewakili kaum elite, kaum cendekia, atau siapa pun yang seharusnya menjadi suara kebenaran, tetapi malah terlibat dalam kompromi kekuasaan.
Subtema yang muncul adalah kemerosotan martabat, ketidakadilan sosial, dan ironi kekuasaan, di mana rakyat hanya mendapat “ampas”, sementara penguasa dan lingkarannya menikmati puncak piramida kekayaan dan pengaruh.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat tajam dan sinis. Pertanyaan-pertanyaan dalam bait pertama bukanlah pertanyaan biasa, tetapi bentuk gugatan moral:
- “berapa harga sebuah martabat?” menyiratkan bahwa kehormatan kini dapat diperjualbelikan.
- “berapa Tuhan terjual demi uang?” adalah metafora yang sangat kuat — menggambarkan bahwa bahkan nilai-nilai ketuhanan dan kebenaran sekalipun bisa dikorbankan demi materi.
Penyair ingin menunjukkan bahwa sistem yang seharusnya melayani keadilan dan kebenaran telah mengalami pembusukan, dan mereka yang berada di dalamnya justru menggadaikan nilai tertinggi demi kepentingan pribadi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa sinis, getir, dan penuh amarah yang ditahan. Dengan gaya bertutur yang datar namun menusuk, pembaca bisa merasakan semacam keputusasaan yang membatu — bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena kebenaran telah lama mati dan rakyat hanya bisa menerima “ampas”.
Kalimat pengulangan “sudah, sudah. semuanya sudah.” menggambarkan semacam kepasrahan bercampur frustrasi, seolah segalanya sudah tak bisa diselamatkan lagi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini jelas: penyair mengajak kita untuk merenungkan kembali tanggung jawab moral, khususnya bagi mereka yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Mereka yang seharusnya menjadi penasehat yang bijak, jujur, dan berani menyuarakan kebenaran, justru berbalik menjadi aktor kompromi dan pengkhianat nurani.
Penyair juga menyampaikan pesan agar masyarakat lebih peka terhadap ketidakadilan sosial dan tidak mudah dibungkam oleh narasi kekuasaan. Keberpihakan kepada rakyat dan nilai luhur tidak boleh dijual, betapa pun besarnya godaan materi.
Imaji
Meskipun singkat, puisi ini menyimpan imaji yang kuat dan simbolik:
- “tawa yang pernah ditawar” — menciptakan gambaran ironi, bahwa bahkan kegembiraan dan kemanusiaan pun bisa diperjualbelikan.
- “berapa Tuhan terjual demi uang?” — imaji spiritual yang sangat menggugah dan provokatif, menyiratkan pengkhianatan nilai-nilai religius demi duniawi.
- “semua tanah rata terbabat” — menggambarkan kehancuran fisik dan simbolis, bahwa tanah rakyat telah diambil, dibabat, dan diratakan demi kepentingan elite.
- “rakyat selalu dapat ampas” — imaji konkret ketidakadilan, bahwa bagian terbaik selalu jatuh ke penguasa, sementara rakyat hanya mendapat sisanya.
Majas
Puisi ini juga sarat dengan majas atau gaya bahasa yang memperkuat pesan:
Metafora:
- “berapa Tuhan terjual demi uang?” adalah metafora ekstrem untuk menggambarkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai suci.
- “rakyat selalu dapat ampas” sebagai metafora bagi ketimpangan dan ketidakadilan.
Ironi:
- “di mana tawa yang pernah ditawar?” menunjukkan bahwa kebahagiaan pun kini menjadi komoditas.
Apostrof:
- Penggunaan kalimat langsung kepada “penasihat raja” merupakan bentuk apostrof — penyair seolah menyapa sosok yang tak hadir secara fisik tapi sangat hidup dalam konteks puisi.
Repetisi:
- Kalimat “sudah, sudah. semuanya sudah.” diulang dengan gaya yang mengesankan keputusasaan atau finalitas dari kondisi sosial yang rusak.
Puisi "Kepada Penasihat Raja" karya Karno Dentius Oce adalah sebuah tamparan halus bagi mereka yang larut dalam lingkar kekuasaan tanpa lagi menggenggam nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dengan gaya lugas namun penuh daya pukau, puisi ini menghadirkan kritik sosial yang relevan di tengah kondisi masyarakat modern yang kerap menyaksikan drama elite, pengkhianatan nurani, dan kemiskinan struktural.
Dalam dunia yang sering kali dikendalikan oleh uang dan kekuasaan, puisi ini menjadi pengingat — bahwa martabat dan kebenaran tidak boleh diperjualbelikan, dan suara rakyat bukan sekadar ampas dari pesta kekuasaan.
Karya: Karno Dentius Oce
Biodata Karno Dentius Oce:
- Karno Dentius Oce saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Teologi, di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Ia sering menulis laporan jurnalistik di TribunFlores.com dan Floresa.co, juga bergabung dalam UKM Jurnalistik Kampus Unika St. Paulus Ruteng pada tahun 2025.