Kesaksian Seorang Penyair
Aku sudah tulis apa yang aku bisa tulis
dengan berbagai gaya dan kiasan
arif membaca tanda-tanda
tidak melakukan dosa-dosa
tapi kalian tertawakan aku
(honorku pun kadang tak kalian bayar)
bagaimana aku bisa kaya
beternak rumah dan mobil mewah
jutaan hektar hutan terbakar
kayu-kayunya glondongan keluar
tinggal asap jadi wabah
terpaksa aku berkurung di rumah
sesak napas dan kurang makan
aku hanya penyair asongan
yang menjajakan kata-kata
tak laku diperjual-belikan
selaris lumpur
dibor dan digali
jutaan ton setiap hari
dari bawah tanah
dan dasar bumi
menghasilkan dollar dan kawah
ah, ah, menggiurkan sekali!
mulai hari ini bacalah puisi
sisihkan recehan setiap hari
Analisis Puisi:
Puisi “Kesaksian Seorang Penyair” karya Damiri Mahmud adalah potret getir tentang posisi penyair dalam masyarakat kontemporer—sebuah refleksi tajam, bahkan sinis, terhadap realitas sosial, ekonomi, dan lingkungan. Melalui narasi yang blak-blakan dan tanpa basa-basi, penyair menggambarkan kesunyian profesi kepenulisan di tengah hiruk-pikuk kapitalisme yang menafikan kata-kata, estetika, dan nurani.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah keterpinggiran dan kegelisahan eksistensial seorang penyair di tengah masyarakat materialistik. Puisi ini mengeksplorasi bagaimana penyair, yang semestinya menjadi penafsir zaman dan penjaga nurani sosial, justru dipinggirkan dan diabaikan. Dunia yang lebih menghargai kekayaan materi daripada makna, lebih menghitung hasil tambang daripada puisi, menjadi latar dari jeritan lirih yang tersaji dalam bait-baitnya.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman pahit seorang penyair yang telah menulis dengan segala kemampuannya—dengan gaya, kiasan, dan kesadaran moral—namun tak mendapatkan penghargaan yang layak. Ia diejek, dibayar tidak semestinya, bahkan tidak dianggap. Sementara itu, dunia di sekitarnya terus dikuasai oleh kekayaan yang dihasilkan dari eksploitasi alam, seperti hutan dan tambang, yang justru mengakibatkan bencana bagi rakyat biasa, termasuk dirinya sendiri.
Penyair menyebut dirinya sebagai “penyair asongan”, simbol dari kelas kreatif yang tidak dihargai di tengah sistem ekonomi yang hanya menguntungkan mereka yang memproduksi komoditas fisik. Ia menawarkan puisi, namun yang laku di pasar adalah lumpur, dollar, dan mobil mewah.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam dan penuh ironi. Penyair hendak menyuarakan ketimpangan antara nilai-nilai spiritual dan intelektual dengan nilai-nilai material dalam masyarakat. Meskipun penyair menjalani hidup dengan idealisme dan integritas moral, ia tetap kalah oleh sistem yang mengutamakan uang dan kekuasaan. Bahkan saat ia ingin bersuara tentang bencana ekologis atau penderitaan rakyat, suaranya tak didengar—karena puisi tak bisa menghasilkan jutaan ton uang dari dasar bumi.
Makna lainnya adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan struktural: bagaimana budaya dianggap remeh, seniman hidup dalam kemiskinan, dan ironi bahwa mereka yang mencemari bumi justru hidup dalam kemewahan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah frustrasi, getir, dan penuh kekecewaan, namun juga diwarnai dengan keberanian untuk bersuara. Meskipun sang penyair menyadari posisi lemahnya, ia tidak bungkam. Ia memilih berbicara terus, bersaksi, meski tahu bahwa kata-katanya tidak akan membuatnya kaya. Suasana puisi juga dibangun dari kontras antara kesunyian batin dan kegaduhan dunia luar yang mengejar harta dan mengabaikan nurani.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan untuk menghargai suara-suara kecil yang jujur dan bermakna, seperti suara penyair. Di tengah dunia yang penuh ketimpangan, kerusakan alam, dan kebohongan publik, kata-kata penyair masih menyimpan nurani dan kebenaran, meskipun tidak laku dijual. Puisi ini mengingatkan pembaca agar tidak hanya menghitung dunia dari sisi ekonomi, tapi juga dari sisi nilai, makna, dan kesadaran moral.
Ajakan pada bagian akhir puisi, “mulai hari ini bacalah puisi / sisihkan recehan setiap hari”, adalah sindiran yang tajam namun menyentuh. Penyair tidak menuntut kekayaan, tetapi sekadar agar masyarakat memberi sedikit tempat dan dukungan bagi keberadaan puisi dan penyair.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji sosial dan ekologis. Misalnya:
- “jutaan hektar hutan terbakar / kayu-kayunya glondongan keluar” menampilkan citra visual yang menyayat tentang perusakan alam.
- “tinggal asap jadi wabah” adalah gambaran konkret tentang dampak ekologi yang merusak kehidupan.
- “penyair asongan” menimbulkan imaji ironis, membayangkan seorang intelektual yang diperlakukan seperti pedagang kecil yang keliling menjajakan barang dagangan yang tak laku.
Imaji lain yang kuat adalah “lumpur / dibor dan digali / jutaan ton setiap hari” — metafora dari tambang dan kekayaan alam yang dikuras habis, berbanding lurus dengan kehancuran yang menyertainya.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang mencolok:
- Metafora: “penyair asongan” adalah metafora utama dalam puisi ini. Istilah ini menyandingkan profesi penyair dengan citra pedagang keliling yang dipandang sebelah mata.
- Personifikasi: Puisi dalam bait akhir digambarkan seolah-olah bisa dibaca dan menghasilkan uang receh, memberi kehidupan pada kata-kata sebagai objek hidup.
- Ironi: Mayoritas puisi ini ditulis dalam nada ironi yang pahit. Misalnya, “tak laku diperjual-belikan / selaris lumpur”—sebuah sindiran terhadap masyarakat yang lebih memilih lumpur tambang (dan uang dari tambang) daripada puisi.
- Hiperbola: Frasa seperti “jutaan ton setiap hari” dan “menghasilkan dollar dan kawah” memperkuat kesan dramatis tentang eksploitasi alam secara besar-besaran.
Puisi “Kesaksian Seorang Penyair” karya Damiri Mahmud adalah jeritan sunyi yang menggema dari ruang pinggiran. Dalam dunia yang lebih menghargai tambang daripada makna, puisi ini menjadi semacam protes moral dan sosial. Tema tentang keterpinggiran penyair, kritik terhadap kapitalisme dan kerusakan lingkungan, serta refleksi atas nilai kehidupan menjadi benang merah dalam karya ini.
Dengan imaji kuat, majas tajam, dan suasana getir, puisi ini menohok kesadaran pembaca untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah kata-kata sudah benar-benar kehilangan nilainya? Ataukah kita yang tak lagi sanggup mendengarkannya?
Puisi: Kesaksian Seorang Penyair
Karya: Damiri Mahmud
Biodata Damiri Mahmud:
- Damiri Mahmud lahir pada tanggal 17 Januari 1945 di Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara.
- Damiri Mahmud meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2019 (pada usia 74) di Deli Serdang, Sumatra Utara.