Analisis Puisi:
Puisi “Ketika Aku Bertanya” karya Putu Oka Sukanta adalah potret pahit kehidupan rakyat kecil yang menjadi korban sistem yang tidak adil. Sebagai penyair sekaligus aktivis yang pernah menjadi tahanan politik Orde Baru, Putu Oka menulis sajak ini bukan sekadar sebagai ekspresi estetika, melainkan juga sebagai perlawanan moral dan politik terhadap penindasan yang dilembagakan.
Puisi ini menyuarakan keresahan, kemarahan, dan ketidakberdayaan yang melanda masyarakat yang hidup di bawah kekuasaan otoriter. Di dalamnya, pertanyaan bukanlah bentuk dialog yang mendapat jawaban, melainkan direspons dengan amarah, intimidasi, dan kekerasan simbolik—hingga pada akhirnya mengarah ke penguburan identitas.
Tema
Puisi ini mengangkat tema besar tentang ketidakadilan sosial dan represi kekuasaan. Lewat metafora dan simbol yang kuat, penyair menggambarkan bagaimana kehidupan rakyat biasa dikendalikan oleh sistem yang memiskinkan dan menindas mereka sejak lahir hingga mati.
Makna Tersirat
Di balik ungkapan puitik yang tegas dan metaforis, puisi ini menyiratkan kritik tajam terhadap kekuasaan yang represif, yang mengontrol kehidupan rakyat hingga ke hal paling pribadi, seperti identitas dan bahkan takdir kematian. Kata “ET di belakang nomer KaTePeku” adalah referensi konkret terhadap labelisasi dan diskriminasi terhadap orang-orang tertentu yang dicap musuh negara.
Puisi ini juga menyinggung kehidupan kaum buruh yang terus-menerus dieksploitasi, serta ketimpangan struktural yang membuat rakyat kehilangan suara, kehilangan kendali, dan bahkan kehilangan hak untuk bertanya.
Puisi ini bercerita tentang seorang individu yang mencoba mempertanyakan kondisi hidupnya dan orang-orang di sekitarnya, namun malah mendapatkan respons penuh ancaman dan represi. Pertanyaannya tidak dijawab secara rasional atau manusiawi, melainkan dengan tatapan melotot, tekanan kekuasaan, dan akhirnya dengan sebuah “pulpen”—simbol birokrasi yang bisa menentukan nasib seseorang.
Pada akhirnya, orang yang bertanya tidak memperoleh pencerahan, melainkan justru menyadari bahwa sistem yang menguasainya telah mencatat jalan menuju kematian, bukan hanya secara fisik, tetapi juga penghapusan identitas, eksistensi, dan hak-haknya sebagai manusia.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam puisi ini sangat muram, mencekam, dan penuh kegelisahan. Ada nuansa suram yang ditunjukkan dari awal—langit yang memendam kegelisahan, matahari yang kehilangan cahayanya, dan gerimis yang menyelubungi. Suasana semakin menegang ketika muncul figur “berwajah buas” dengan perlengkapan senjata dan baju baja, yang tidak berbicara tetapi menuliskan sesuatu yang mengerikan. Semuanya menciptakan atmosfer ketakutan yang membungkam perlawanan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk menyadari dan melawan ketidakadilan struktural yang menindas rakyat kecil. Puisi ini mengingatkan kita bahwa di balik sistem pemerintahan yang tampak teratur, ada kekuatan-kekuatan yang menyengsarakan manusia—sejak mereka belum lahir hingga ke liang kubur.
Penyair juga menyampaikan bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis sering dianggap ancaman, bukan karena pertanyaannya keliru, melainkan karena penguasa tidak siap dipertanyakan. Maka, yang terjadi adalah pembungkaman, pencatatan, pelabelan, dan penghilangan hak hidup.
Imaji
Puisi ini menyuguhkan sejumlah imaji kuat yang mengandung kekerasan simbolik dan visual yang tajam:
Visual:
- “matahari bergulir ingin dikendalikan penguasa”
- “memegang pulpen, bergerak menuliskan ET”
- “kursi mas” — menghadirkan visual kekuasaan dan dominasi.
Auditif:
- “tidak ada suara, hanya tangannya” — keheningan ini justru menciptakan tekanan psikologis.
Kinestetik:
- “mata melotot”, “geram”, “menghitung hutang” — menunjukkan gerakan-gerakan yang mewakili ketegangan dan ketidakberdayaan.
Imaji dalam puisi ini menciptakan efek ketercekikan, seolah pembaca turut dicekam oleh suasana represif yang membungkam pertanyaan.
Majas
Puisi ini kaya akan majas dan simbol, yang memperkuat daya retorikanya:
Personifikasi:
- “langit memendam kegelisahannya” dan “matahari bergulir ingin dikendalikan penguasa” — benda alam diberi sifat manusia, menggambarkan kekacauan kosmik akibat ketimpangan.
Metafora:
- “pulpen menuliskan petunjuk jalan ke kuburannya” — menggambarkan kekuasaan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang hanya lewat tanda birokrasi.
Ironi:
- “Ini perintah!” disampaikan bukan sebagai penjelasan, tetapi sebagai bentuk paksaan. Bertanya dianggap salah, menjawab dianggap membangkang.
Simbolisme:
- “ET” (Eks-Tapol) sebagai simbol dari stigmatisasi yang melucuti hak asasi manusia.
- “baju baja di atas kursi mas” — kekuasaan yang angkuh dan tak tersentuh, memerintah dari balik simbol-simbol kekuatan.
Unsur Puisi
- Diksi: Puisi menggunakan diksi yang lugas, tajam, dan penuh muatan sosial-politik. Kata seperti kegelisahan, penguasa, kepongahan, kursi mas, dan KaTePe mempertegas realitas konkret yang dikritik.
- Tipografi: Disusun dalam bentuk naratif puitis yang mengalir bebas, memperkuat kesan spontanitas dan desakan batin untuk bersuara.
Puisi “Ketika Aku Bertanya” adalah jeritan dalam senyap—pertanyaan-pertanyaan yang tidak diizinkan untuk dijawab secara manusiawi, tetapi justru dikunci dengan penghakiman birokratis. Lewat sajak ini, Putu Oka Sukanta menyeret pembaca ke dalam konflik antara suara rakyat dan kebisuan kekuasaan, antara harapan untuk didengar dan realitas penindasan yang mematikan.
Lebih dari sekadar karya sastra, puisi ini adalah dokumen sejarah perlawanan batin, sekaligus pengingat agar pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan tidak pernah berhenti diajukan—meski risikonya adalah ditandai, dibungkam, atau bahkan disingkirkan.
Sebagaimana suara dalam puisi ini, kita pun diajak untuk bertanya: siapa sebenarnya yang sedang memegang pulpen dan menuliskan takdir kita?
Karya: Putu Oka Sukanta
