Analisis Puisi:
Puisi "Kurban" karya Iswadi Pratama merupakan trilogi puitik yang memuat kompleksitas relasi antara korban dan pelaku, kekerasan dan ketabahan, serta luka dan kesadaran. Dalam tiga bagian—Kurban (1), Kurban (2), dan Kurban (3)—penyair tidak hanya berbicara tentang "kurban" secara literal sebagai persembahan berdarah, tapi meluas menjadi alegori atas penderitaan manusia, relasi kuasa, dan daya tahan individu dalam menghadapi penindasan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kekerasan dan pengorbanan, terutama yang berlangsung dalam relasi kuasa yang timpang. Namun tema tersebut berjalin dengan perlawanan batin, kesadaran tubuh, dan pemaknaan ulang atas luka dan ketangguhan. Puisi ini juga dapat ditafsirkan sebagai refleksi atas situasi sosial-politik, di mana korban terus dilukai namun diam-diam memperkuat diri untuk menghadapi siklus kekerasan yang terus berulang.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini amat dalam dan berlapis:
- Di satu sisi, "kurban" adalah simbol individu yang menjadi sasaran kekerasan—baik secara fisik maupun batin.
- Di sisi lain, "pisau" mewakili kekuasaan yang menindas, membungkam, dan menguliti manusia hingga ke inti eksistensinya.
- Namun, alih-alih tunduk, tokoh lirik (atau sang kurban) perlahan berubah: dari makhluk pasrah menjadi entitas sadar yang mampu menahan sakit, bahkan menantang sang penyakiti.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa pengorbanan bukan lagi bentuk kelemahan, melainkan kekuatan spiritual dan eksistensial yang berlipat ganda.
Puisi ini bercerita tentang sebuah tubuh yang terus mengalami luka, sayatan, dan pembantaian, baik secara metaforis maupun mungkin literal. Dalam bagian pertama, tubuh kurban berbicara langsung pada pisau: ia mengingat luka-luka yang sudah diukir di dagingnya. Pada bagian kedua, sudut pandang berpindah ke sekelompok "kami", mungkin pelaku atau pengamat kekerasan, yang memandang tindakan tersebut bukan sebagai pertarungan, tapi ritual pengukuran luka. Di bagian ketiga, narasi kembali pada korban yang kini hening, tanpa ratapan, menunjukkan ketahanan luar biasa yang membingungkan bahkan bagi sang penyakiti.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini intens, gelap, dan tegang, penuh ketegangan psikologis antara rasa sakit dan kekuatan untuk bertahan. Ada juga atmosfer reflektif dan mistik, terutama ketika tokoh lirik menghayati luka-lukanya bukan sebagai akhir, melainkan awal dari kebangkitan atau kekuatan baru. Suasana ini menyelimuti puisi dari awal hingga akhir, memperkuat kedalaman makna.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa dalam setiap tindakan kekerasan atau penindasan, korban tidak selalu kehilangan martabat atau kekuatan. Bahkan, korban yang tampak tak berdaya dapat membangun kekuatan batin yang tak terbayangkan, hingga akhirnya bisa melepaskan diri dari siklus luka. Di balik pengorbanan yang tampak pasif, sering kali tersembunyi ketangguhan luar biasa. Puisi ini juga mengajak kita merenungkan batas moral kekuasaan dan membongkar ilusi dominasi terhadap tubuh dan jiwa manusia.
Imaji
Iswadi Pratama sangat kuat dalam membangun imaji tubuh, luka, dan alat kekerasan, namun disampaikan dengan bahasa yang puitik dan sarat makna:
- “Pisau yang pernah berjaya” → imaji alat tajam yang menyiratkan kekuasaan yang pernah berkuasa penuh.
- “Mengupas… mengemas nyeri hingga ke ulu hati” → imaji detail dan brutal atas rasa sakit yang disusun rapi oleh pelaku.
- “Loncatan cahaya lepas jeruji” (dari puisi lain yang senada) mungkin bisa menjadi paralel dengan bagian “fasih mengemas nyeri”—bahwa ada sistem kekerasan yang tersusun.
- “Setelah punah darah, setelah belulang belaka” → imaji tubuh yang dikuliti habis-habisan, namun masih berbicara, masih hidup.
Majas
Puisi ini sangat kaya akan majas yang memperkuat nuansa simbolik dan emosional:
- Personifikasi: “Pisau yang pernah berjaya”, “engkau tangkas mengupas” → pisau digambarkan sebagai sosok hidup, tangkas, bahkan licik.
- Metafora: “Lagu yang menguburku”, “nyeri hingga ke ulu hati”, “sehalus cahaya” → metafora tentang rasa sakit, luka batin, dan ketahanan.
- Antitesis: “Ini bukan pertarungan, melainkan pembantaian” → membongkar ilusi bahwa kekerasan itu adil atau setara.
- Ironi: “Ia makin matang”, “kami datang untuk selalu memastikan” → majas ironik yang menyindir sistem kekerasan yang dilakukan secara sadar dan sistematis.
- Repetisi dan klimaks: “seberapa keji… seberapa perih…”, “tak kudengar lagi raung regang / atau sekadar sedu / hanya hening menggema” → pengulangan dan peningkatan intensitas makna.
Puisi "Kurban" karya Iswadi Pratama adalah puisi yang penuh lapisan makna, intens secara emosional, dan kuat secara simbolik. Di dalamnya terkandung kritik atas kekerasan, sekaligus penghayatan eksistensial akan luka, penderitaan, dan kebangkitan. Dalam wacana yang lebih luas, puisi ini bisa dibaca sebagai refleksi atas trauma sosial, perlawanan tanpa suara, dan ketabahan manusia dalam menghadapi dominasi serta kekuasaan yang menindas. Melalui diksi yang tajam dan imaji yang memukul, Iswadi menunjukkan bahwa bahkan korban bisa menjadi pusat kekuatan yang tak tergoyahkan—tanpa raung, hanya hening yang menggema.
Karya: Iswadi Pratama
Biodata Iswadi Pratama:
- Iswadi Pratama lahir pada tanggal 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.
