Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kutuliskan (Karya Wing Kardjo)

Puisi "Kutuliskan" karya Wing Kardjo bercerita tentang seorang aku lirik yang menjadikan tulisan sebagai jalan meluapkan sepi, mengabadikan ...
Kutuliskan

Kutuliskan lagi
kata-kata sepi
kutuliskan tak henti-henti
hingga mengandung arti

Kutuliskan lagi
kenangan-kenangan
mati, hingga bagai api
membara dalam mimpi.

Kutuliskan lagi
harapan-harapan
abadi, hingga bagai duri

melindungi sekeping
hati. Kala angin lirih
menghibur alam sedih.

Sumber: Selembar Daun (1974)

Analisis Puisi:

Puisi "Kutuliskan" karya Wing Kardjo merupakan puisi pendek yang padat makna dan penuh perenungan. Dengan bentuk soneta modern 4433, puisi ini menunjukkan ciri khas puisi Wing Kardjo yang sarat suasana melankolis, repetisi yang reflektif, dan pemaknaan mendalam tentang keberadaan manusia yang rapuh di hadapan waktu, kenangan, dan harapan.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang pergulatan batin manusia dalam menyikapi kesepian, kenangan yang membakar, serta harapan yang menyakitkan namun tetap dijaga. Dalam kehidupan yang penuh luka dan rindu, menulis menjadi bentuk ekspresi untuk bertahan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa menulis adalah cara penyair menyembuhkan diri, menyandarkan ingatan, dan menjaga harapan. Namun, dalam proses itu pula, kata-kata menjadi semacam penjara emosi: sepi, kenangan, dan harapan tak sepenuhnya menyembuhkan—justru kadang melukai kembali.

Baris “kutuliskan tak henti-henti / hingga mengandung arti” menyiratkan bahwa menulis adalah proses panjang yang mungkin melelahkan, namun diyakini bisa memberi makna. Sementara frasa “hingga bagai api / membara dalam mimpi” menunjukkan bahwa kenangan yang ditulis tak mati, malah terus menyala di alam bawah sadar, seperti mimpi yang menyiksa.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang menjadikan tulisan sebagai jalan meluapkan sepi, mengabadikan kenangan, dan menjaga harapan. Namun dalam aktivitas itu, ia justru berhadapan dengan luka-luka lama yang menyala kembali, serta harapan-harapan tajam yang menuntut perlindungan. Penulisan itu menjadi ritual batin yang personal, tak hanya mengekspresikan rasa, tapi juga menjaga hati dari kehancuran.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah sunyi, melankolis, dan reflektif. Kata-kata seperti “sepi”, “mati”, “duri”, dan “sedih” memperkuat nuansa sendu dan kontemplatif, menciptakan ruang batin yang penuh keheningan dan pergolakan emosi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditarik dari puisi ini adalah bahwa kata-kata dan tulisan dapat menjadi alat untuk bertahan dan menyampaikan sesuatu yang tak mampu terucap. Dalam kehidupan yang sarat kehilangan dan luka, menulis bisa menjadi pelindung—sekaligus saksi—atas pengalaman-pengalaman terdalam manusia.

Namun amanat lain yang lebih halus juga terbaca: hati manusia adalah ruang yang rapuh, dan bahkan harapan pun bisa menjadi duri bila terlalu lama disimpan. Maka, kata-kata bukan hanya menjadi ekspresi, tapi juga perisai bagi hati yang terus terluka.

Imaji

Puisi ini kuat dalam menghadirkan imaji visual dan emosional, meski dengan diksi yang sederhana:

Visual:
  • “kata-kata sepi” dan “api membara dalam mimpi” menciptakan gambaran kesedihan dan kenangan yang menyala di alam bawah sadar.
  • “sekeping hati” memberi kesan konkret terhadap kondisi batin yang rapuh namun dijaga.
Emosional:
  • Imaji “duri” dan “angin lirih” menyentuh dimensi rasa: antara sakit dan hiburan, antara pengharapan dan kegetiran.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
  • Metafora: “kata-kata sepi”, “api membara dalam mimpi”, dan “duri melindungi sekeping hati” adalah metafora untuk emosi yang tak tertahankan—sepi, kenangan, dan harapan.
  • Personifikasi: “kutuliskan kenangan mati” memberi sifat hidup pada kenangan mati yang tetap membara.
  • Simbolisme: “duri” melambangkan rasa sakit yang melindungi harapan; “angin lirih” adalah simbol hiburan lembut dalam duka.
  • Repetisi: Pengulangan frasa “kutuliskan lagi” memperkuat perasaan bahwa menulis adalah satu-satunya cara untuk bertahan menghadapi dunia batin yang muram.

Unsur Puisi

Puisi ini mencakup beberapa unsur puisi penting:
  • Struktur: Bentuk soneta 4433 digunakan dengan pola larik yang rapi dan berirama lirih. Tidak mengikat secara ketat pada rimanya, namun memberikan struktur tematik yang jelas dari sepi, kenangan, harapan, hingga pelindung hati.
  • Diksi: Pemilihan kata-kata seperti sepi, mati, api, duri, dan lirih memperkuat suasana batin yang lirih dan dalam.
  • Tipografi dan enjambemen: Pemotongan larik yang strategis (enjambemen) menciptakan ritme dan tekanan yang lembut, seperti aliran rasa yang mengalun lirih.
  • Nada: Nada puisi ini adalah intim dan meditatif, seolah penyair sedang berbicara kepada dirinya sendiri dalam ruang hening yang penuh perenungan.
Puisi "Kutuliskan" karya Wing Kardjo adalah refleksi lirih tentang bagaimana kata-kata menjadi tempat bersemayamnya sepi, kenangan, dan harapan. Ia menulis, bukan semata-mata untuk mengungkapkan, melainkan untuk memberi makna, menjaga kenangan tetap hidup, dan merawat harapan meski dalam bentuk yang menyakitkan.

Dengan bahasa sederhana tapi kaya makna, Wing Kardjo berhasil membungkus perasaan manusia yang kompleks dalam larik-larik pendek namun kuat. Sepi dalam puisi ini bukan sekadar suasana, melainkan kondisi batin yang terus dituliskan agar ia tak membunuh dari dalam.

Puisi ini membuktikan bahwa menulis bukan hanya kegiatan estetika, tetapi juga proses spiritual dan emosional, tempat manusia menambatkan dirinya pada sesuatu yang lebih abadi dari sekadar waktu: makna, kenangan, dan harapan.

Puisi Wing Kardjo
Puisi: Kutuliskan
Karya: Wing Kardjo

Biodata Wing Kardjo:
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja lahir pada tanggal 23 April 1937 di Garut, Jawa Barat.
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2002 di Jepang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.