Laguku
Aku bikin lagu ini
untukmu yang bangunkan gedung-gedung besar
memutar pabrik-pabrik gemuruh
menghubungkan kota dan desa
atas lautan dan di udara
mendekatkan pantai ke pantai
untukmu yang setiap hari mandi keringat.
Aku bikin lagu ini
untukmu yang tekun mengolah tanah
di alam luas menjaga padi
dengan tangan gemetar gembira
didendang lesung melihat beras
mengalir ke kota, ke gedung, ke pantai .......
untukmu yang setiap hari memeras tenaga.
Aku bikin lagu ini
lagu pahit hitam empedu
lagu dakwaan dan gugatan
tentang mereka yang hidupkan ini dunia
tentang mereka yang jadikan segala
indah gembira dan bahagia
tetapi tersiksa dalam penjara.
Aku bikin lagu ini
lagu teriakan menembus telinga
lagu makian merobek rasa
terhadap mereka yang diam di gedung-gedung
asing dari arti miskin dan lapar
dan saban hari berkaok-kaok:
bekerja, bekerja, bekerja.
Aku bikin lagu ini
lagu ajakan rapatkan barisan
lagu seruan kokohkan persatuan
rambati rata menggempur tembok penjara
mengayun langkah ke lapang bebas:
bagi kita yang bikin dunia
bagi kita bahagia, kita yang kerja.
2 Maret 1952
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Laguku" karya Adi Sidharta merupakan seruan puitik yang menyuarakan nasib kaum pekerja—petani, buruh, dan rakyat kecil—yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi kerap terpinggirkan dari arus kekuasaan dan kesejahteraan. Lewat pilihan diksi yang tegas dan penuh gairah perjuangan, penyair tidak sekadar menyampaikan empati, tetapi juga bercerita tentang sebuah perlawanan kolektif terhadap ketimpangan sosial yang sistemik.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah ketimpangan sosial dan perjuangan kelas pekerja. Adi Sidharta menjadikan puisi sebagai media perjuangan, bukan sekadar luapan estetika. Ia menyuarakan jerih payah kaum buruh dan petani yang setiap hari "mandi keringat" dan "memeras tenaga", tetapi tetap menderita. Puisi ini juga menyiratkan semangat persatuan rakyat sebagai kekuatan untuk melawan ketidakadilan.
Makna Tersirat
Puisi ini mengandung makna tersirat tentang ironi dalam pembangunan: ketika kota dan gedung-gedung besar tumbuh menjulang, tetapi yang merasakan kemewahannya hanyalah segelintir orang yang "diam di gedung-gedung" dan "asing dari arti miskin dan lapar". Sementara itu, mereka yang membangun dunia—para pekerja—justru terpenjara oleh kemiskinan dan eksploitasi.
Selain itu, "lagu" dalam puisi ini tidak hanya berarti nyanyian secara harfiah, tetapi adalah simbol pernyataan politik, protes sosial, dan gugatan moral terhadap mereka yang menikmati hasil kerja rakyat tanpa mempedulikan nasibnya. Dalam konteks ini, “lagu” menjadi metafora dari suara rakyat yang menggugat ketimpangan.
Puisi ini bercerita tentang nasib kaum pekerja—baik buruh perkotaan maupun petani di pedesaan—yang bekerja keras namun tak menikmati hasil jerih payahnya. Puisi ini juga mengangkat realitas pembangunan yang timpang, di mana para elit tinggal nyaman di gedung-gedung besar, sementara pekerja tetap miskin dan tertindas.
Dalam puisi ini, penyair mengakui penderitaan rakyat, tetapi tidak berhenti di sana. Ia membangun harapan lewat ajakan untuk "rapatkan barisan" dan "kokohkan persatuan", sebagai solusi kolektif menghadapi penindasan. Ada dorongan agar rakyat tidak hanya bertahan, tetapi juga bergerak.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat kuat terasa: militan, pedih, sekaligus penuh semangat perlawanan. Kalimat-kalimat seperti "lagu pahit hitam empedu", "lagu dakwaan dan gugatan", "lagu makian merobek rasa" menyampaikan atmosfer getir yang dialami kaum tertindas, tetapi juga membangkitkan keberanian untuk melawan.
Kesan perlawanan ini diperkuat dengan suasana agitasi di akhir puisi: "lagu ajakan rapatkan barisan", "rambati rata menggempur tembok penjara", menunjukkan bahwa penderitaan bukan akhir, melainkan titik tolak perubahan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah: ketika rakyat pekerja sadar akan peran vital mereka dalam membangun peradaban, maka sudah seharusnya mereka bersatu memperjuangkan hak dan kebahagiaannya sendiri. Puisi ini menyerukan bahwa penderitaan harus dilawan, bukan diterima begitu saja. Lagu menjadi alat pemersatu, semacam mars perjuangan yang bisa membakar semangat kaum tertindas untuk bergerak.
Pesan lain yang juga menonjol adalah: sistem sosial yang timpang tidak akan berubah jika yang tertindas tidak menyadari nilai dan kekuatannya sendiri. Maka lagu—yang dalam konteks ini berarti suara rakyat—perlu terus dinyanyikan sebagai bentuk perlawanan dan harapan.
Imaji
Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan imaji gerak:
- Imaji kerja: "mandi keringat", "tekun mengolah tanah", "memutar pabrik-pabrik", "memeras tenaga".
- Imaji penderitaan: "lagu pahit hitam empedu", "tersiksa dalam penjara".
- Imaji perjuangan: "rambati rata menggempur tembok penjara", "kokohkan persatuan", "langkah ke lapang bebas".
Gambaran ini sangat konkret dan kuat, membuat pembaca bisa membayangkan jerih payah rakyat sekaligus membangun energi perjuangan.
Majas
Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: "lagu" sebagai simbol perlawanan, bukan sekadar nyanyian biasa.
- Personifikasi: "lagu dakwaan dan gugatan", "lagu makian merobek rasa", menjadikan lagu sebagai subjek aktif yang menggugat dan menyerang.
- Hiperbola: "lagu makian merobek rasa", digunakan untuk menekankan besarnya kemarahan yang meledak lewat lagu.
- Repetisi: Kalimat “Aku bikin lagu ini” yang diulang pada awal setiap stanza menciptakan efek ritmis dan penguatan makna bahwa suara ini adalah suara kolektif dan konsisten.
Puisi "Laguku" karya Adi Sidharta adalah potret puitik dari perjuangan kelas yang disampaikan dalam nada liris namun tegas. Ia menyuarakan tema ketidakadilan sosial, memuliakan kerja rakyat, dan menggugah kesadaran kolektif untuk bergerak bersama menuntut perubahan. Melalui imaji kuat, diksi yang bernas, serta majas yang tajam, puisi ini menjadi “lagu” yang bukan hanya untuk didengar, tapi juga untuk dinyanyikan dalam medan perjuangan sosial.
Dengan demikian, puisi "Laguku" bukan hanya puisi biasa. Ia adalah nyanyian yang mengandung api—api dari harapan, amarah, dan semangat untuk membangun dunia yang lebih adil.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
