Lukisan
beribu warna dari bulu-bulu burung cintaku
kususun di lazuardi, jadilah lukisan bidadari
yang datang dari surga kenangan
ia adalah engkau, manisku!
bagai burung gelatik ajaib
dengan paruh merah mawar muda
bersiul tentang rumah tangga
tentang anak-anak kita yang mungil dan selebihnya
kini lukisan itu tergantung di dinding hati
kapan saja selalu bisa aku memandang
wahai, lukisan tersayang!
sepasang matamu yang rembang
adalah telaga yang biru senam
dan bagai seorang anak nakal
di situ aku berenang
di situ aku menyelam
1964
Sumber: Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
Analisis Puisi:
Puisi ""Lukisan karya D. Zawawi Imron merupakan salah satu karya liris yang penuh kelembutan, romantisme, dan daya imajinasi yang tinggi. Melalui pilihan diksi yang kaya akan metafora dan citraan, penyair menghidupkan perasaan cinta dan kenangan dalam bentuk karya seni: lukisan. Namun, yang dilukis bukan sekadar wujud fisik, melainkan esensi seseorang yang dicintai, serta seluruh kisah yang mereka bangun bersama. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang cinta, tetapi juga tentang bagaimana kenangan menjadi abadi dalam hati seorang manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah cinta dan kenangan yang diabadikan dalam bentuk imajinasi dan seni, khususnya dalam bentuk lukisan. Subtema yang muncul mencakup kerinduan, keindahan batin seorang kekasih, dan kedalaman cinta dalam rumah tangga.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini begitu dalam dan menyentuh:
- Lukisan sebagai simbol kenangan: Bukan lukisan di atas kanvas, melainkan lukisan di “dinding hati” yang menggambarkan betapa kuat dan hidupnya kenangan akan orang yang dicintai. Ini menunjukkan bahwa cinta sejati tak tergantung ruang dan waktu.
- Cinta sebagai ruang bermain dan perlindungan: Baris “bagai seorang anak nakal, di situ aku berenang, di situ aku menyelam” menyiratkan bahwa cinta dan kenangan kekasih menjadi tempat berlindung, tempat pelarian yang penuh kehangatan dan keintiman batin.
- Cinta yang spiritual dan menyatu dengan alam: Penyebutan “bulu-bulu burung cintaku”, “paruh merah mawar muda”, dan “telaga biru senam” menempatkan cinta dalam ranah alami dan spiritual, seakan-akan hubungan itu diciptakan oleh kekuatan yang lebih tinggi dari sekadar keinginan manusia.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang mengenang pasangannya—kemungkinan besar istrinya—dalam bentuk sebuah lukisan imajinatif yang ia ciptakan dari cinta. Lukisan itu bukan karya biasa, melainkan dirangkai dari bulu-bulu burung cinta, menggambarkan sang kekasih sebagai bidadari dari surga kenangan. Tokoh liris menggambarkan keindahan pasangannya, kehidupan rumah tangga mereka, dan anak-anak yang mereka cintai. Kini, lukisan itu tak tergantung di dinding rumah, melainkan di dinding hati—sebuah tempat paling abadi dan paling pribadi. Di sana, cinta hidup selamanya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini hangat, lembut, melankolis, dan romantis. Ada rasa haru yang menyelimuti pembacaan puisi ini, terutama karena penggambaran cinta yang begitu dalam dan bersahaja. Suasana seolah mengajak pembaca masuk ke dalam ruang kenangan pribadi sang penyair, dan ikut merasakan damainya cinta yang tak lekang oleh waktu.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan beberapa pesan utama:
- Cinta sejati tidak hanya hidup dalam tindakan, tetapi juga dalam kenangan dan ingatan.
- Kenangan yang dilandasi cinta bisa menjadi sumber kekuatan dan ketenangan batin.
- Seni, dalam hal ini lukisan, adalah metafora dari bagaimana manusia menyimpan kenangan dan perasaan yang paling berharga.
- Rumah tangga dan keluarga adalah ruang sakral yang pantas dikenang dan dirayakan dalam bentuk paling indah—baik lewat puisi maupun dalam hati.
Imaji
Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan emosional, antara lain:
Visual:
- “beribu warna dari bulu-bulu burung cintaku” → menggambarkan komposisi warna dan keindahan alami yang menyusun lukisan.
- “paruh merah mawar muda” → visual yang tajam namun lembut, simbol cinta dan kehidupan.
- “sepasang matamu yang rembang adalah telaga yang biru senam” → penggambaran mata sebagai kolam kehidupan dan daya tarik batin.
Emosional:
- “wahai, lukisan tersayang!” → menyiratkan kerinduan dan afeksi mendalam terhadap figur yang dilukiskan.
- “di situ aku berenang, di situ aku menyelam” → memperkuat rasa damai dan kedekatan emosional yang dalam.
Majas
Puisi ini juga kaya dengan berbagai majas yang memperindah dan memperdalam makna:
Metafora:
- “beribu warna dari bulu-bulu burung cintaku” → metafora tentang perasaan cinta yang halus dan penuh warna.
- “lukisan bidadari” → kekasih yang dicintai dianggap begitu suci dan indah layaknya makhluk surga.
- “lukisan itu tergantung di dinding hati” → hati sebagai tempat menyimpan kenangan paling dalam.
Personifikasi:
- “matamu… adalah telaga” → mata yang hidup dan menjadi tempat bermain jiwa sang penyair.
Simile (perbandingan):
- “bagai burung gelatik ajaib” → menyamakan kekasih dengan burung mungil nan ajaib, simbol dari keunikan dan kelincahan.
Hiperbola:
- “kususun di lazuardi” → melebih-lebihkan keindahan cinta hingga seolah tergambar di langit (lazuardi: langit biru).
Puisi "Lukisan" karya D. Zawawi Imron adalah perwujudan indah dari cinta yang abadi dalam kenangan. Lewat metafora visual dan nuansa emosional yang kaya, penyair menyampaikan bahwa cinta yang tulus akan tetap hidup meskipun waktu terus berjalan. Lukisan yang tergantung di dinding hati bukan sekadar gambar, melainkan perasaan yang dirawat, dihargai, dan dikenang dengan sepenuh jiwa.
Sebuah puisi yang mengajak kita untuk melihat cinta bukan sebagai momen, tetapi sebagai lukisan abadi di ruang batin—yang bisa kita pandangi kapan pun kita rindu, dan tempat kita bisa “berenang” dalam kenangan yang murni dan membahagiakan.

Puisi: Lukisan
Karya: D. Zawawi Imron
Biodata D. Zawawi Imron:
- D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.