Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lukisan Waktu (Karya Dorothea Rosa Herliany)

Puisi “Lukisan Waktu” karya Dorothea Rosa Herliany bercerita tentang seseorang yang telah menjalani hidup panjang, namun merasa terasing oleh ...
Lukisan Waktu

Pintu itu sudah setua hidupku. sejarah dan waktu
berlintasan dalam geritnya. hingga tak perlu kauketuk
setiap kali akan memasukinya. cuma, bertanyalah
sebab apa ia kemudian terkunci ketika sampai waktu
kereta
menjemputmu. kerinduan anak-anak di luar,
mengaburkan
kesunyian yang gaib. menggetarkan seribu bahasa
diamnya.

Bahasa apakah harus kuucapkan dalam syair-syairku,
sebab kebisuan tumbuh di keningku. kegaduhan batinku
telah mengaliri suara-suara keriuhan anak-anak itu.
tapi tak juga 'nganga pintu itu. sedang waktu dan usia
telah berlepasan dari hidupku. tak juga 'nganga.

Sumber: Kepompong Sunyi (1993)

Analisis Puisi:

Puisi “Lukisan Waktu” karya Dorothea Rosa Herliany adalah meditasi puitik yang menghanyutkan pembaca dalam renungan waktu, usia, dan kebisuan yang tak kunjung menjelaskan dirinya. Dengan gaya khasnya yang reflektif dan penuh simbolisme, Dorothea menghadirkan lanskap emosi yang dalam, di mana kenangan, harapan, dan keterasingan bercampur dalam ruang dan waktu yang cair.

Tema

Tema utama puisi ini adalah waktu dan keterasingan batin. Waktu digambarkan sebagai kekuatan yang mengukir dan menua, namun sekaligus menciptakan jarak antara manusia dengan harapannya, antara hidup dengan kerinduannya yang tak tersampaikan. Pintu menjadi metafora dari keterbukaan dan keterkuncian hidup.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kompleks namun bisa ditarik beberapa garis besar:

Pintu sebagai simbol waktu hidup: Kalimat "pintu itu sudah setua hidupku" menyiratkan bahwa waktu telah berjalan jauh, membawa sejarah dan perubahan, namun pada saat tertentu justru menjadi penghalang menuju sesuatu yang dinanti (dalam hal ini: “kereta yang menjemput” atau mungkin kematian, harapan, atau kesempatan).

Kebisuan sebagai pengganti bahasa: Ada keputusasaan dalam menyampaikan isi batin. “Bahasa apakah harus kuucapkan... sebab kebisuan tumbuh di keningku” memperlihatkan kegagalan ekspresi dalam menghadapi kehidupan yang terlalu bising namun kosong secara makna.

Kerinduan yang dibenturkan dengan kenyataan: Anak-anak di luar menjadi gambaran kehidupan yang riuh dan penuh harapan, namun sang tokoh liris tetap terjebak dalam kebisuan batin dan pintu yang tertutup. Seolah dunia luar terus berjalan, tapi jiwa penyair tertahan dalam keterkuncian waktu.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang telah menjalani hidup panjang, namun merasa terasing oleh waktu, kehilangan komunikasi dengan dirinya sendiri, dan menghadapi ‘pintu’ yang tak kunjung terbuka. Ini bisa dimaknai sebagai perjalanan hidup seseorang yang berada di ambang antara harapan dan penyerahan, atau metafora dari penantian terhadap kematian atau makna sejati yang tak kunjung datang.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini murung, reflektif, dan misterius. Ada ketegangan sunyi yang sangat kuat. Pembaca akan merasakan atmosfer batin yang sunyi, seperti seseorang yang menunggu sesuatu dengan harap cemas, namun juga tahu bahwa yang ditunggu belum tentu datang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyiratkan pesan bahwa:

Hidup sering kali dipenuhi oleh kebisuan yang sulit dimaknai. Di tengah riuh kehidupan luar, banyak orang tetap terperangkap dalam kegagalan memahami atau mengungkapkan isi batinnya. Dan waktu, yang tak menunggu siapa pun, sering kali menutup pintu sebelum jawaban bisa ditemukan.

Puisi ini mengajak kita untuk lebih peka terhadap pergerakan waktu, terhadap makna hidup, serta pentingnya memahami suara batin kita sendiri sebelum semuanya terlambat.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji puitik yang kuat dan simbolik, terutama:
  • “Pintu itu sudah setua hidupku” → Membentuk imaji visual tentang sebuah pintu tua, lambang dari usia atau perjalanan hidup yang lama dan berliku.
  • “geritnya” → Imaji suara dari pintu tua, menciptakan efek audio yang membangun suasana keramat dan tua.
  • “kereta menjemputmu” → Imaji metaforis yang bisa ditafsirkan sebagai kematian, atau momen penting yang dinanti.
  • “kesunyian yang gaib”, “bahasa diam”, “keringat anak-anak”, “syair yang tak menembus pintu” → Menyusun suasana batin yang suram namun kaya secara visual dan emosional.

Majas

Puisi ini menggunakan banyak majas simbolik dan metaforis:

Metafora:
  • “Pintu itu sudah setua hidupku” → Pintu melambangkan usia dan kehidupan.
  • “kereta menjemputmu” → Bisa ditafsirkan sebagai kematian, takdir, atau fase hidup baru.
  • “kesunyian yang gaib” → Kebisuan yang tidak hanya berarti fisik, tapi bersifat spiritual atau eksistensial.
Personifikasi:
  • “bahasa diamnya”, “kebisuan tumbuh di keningku” → Diam dan bisu diberi kualitas manusiawi yang membuatnya terasa lebih dalam dan menghantui.
Pertanyaan retoris:
  • “Bahasa apakah harus kuucapkan...?” → Menunjukkan krisis batin, keraguan, dan ketakberdayaan untuk menyampaikan makna.
Puisi “Lukisan Waktu” karya Dorothea Rosa Herliany adalah lukisan batin tentang waktu, keterasingan, dan keterkuncian manusia dalam hidup yang tampaknya terus berjalan namun menyisakan ruang-ruang sunyi. Dengan simbol-simbol kuat seperti pintu, kereta, anak-anak, dan kesunyian, penyair menghadirkan potret eksistensial yang menantang kita untuk bertanya: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya menunggu pintu yang tak pernah terbuka?

Dalam dunia yang makin bising, puisi ini memaksa kita untuk mengheningkan hati, dan menyimak: suara diam dari waktu yang diam-diam melukis kita.

Dorothea Rosa Herliany
Puisi: Lukisan Waktu
Karya: Dorothea Rosa Herliany

Biodata Dorothea Rosa Herliany:
  • Dorothea Rosa Herliany lahir pada tanggal 20 Oktober 1963 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang penulis (puisi, cerita pendek, esai, dan novel) yang produktif.
  • Dorothea sudah menulis sejak tahun 1985 dan mengirim tulisannya ke berbagai majalah dan surat kabar, antaranya: Horison, Basis, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Suara Pembaharuan, Mutiara, Citra Yogya, Dewan Sastra (Malaysia), Kalam, Republika, Pelita, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, dan lain sebagainya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.