Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku (Karya Chairul Harun)

Puisi "Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku" karya Chairul Harun bercerita tentang pertemuan dua saudara setelah lama terpisah—bukan hanya secara ..
Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku

Malam ini kita bersama kembali, adikku
Berdampingan bagai orang asing yang jumpa
di pelabuhan ketika kapal baru merapat
Liwat jendela kau pilu menatap
nyala pelita petani di alam luas terbuka
Aku tabu ada simpul dukana membelit hidupmu
Dan aku tanya padamu dalam ramah persaudaraan
Apa yang kau cari di luar jendela, adikku?

Matamu sembab, seluruhnya remuk-luluh
Dan kau katakan: Telah penyap kemerdekaan
karena tiada lagi lagu, tiada lagi sederhana
Telah melayang dari diriku saat berharga
membubus ke hutan, ke cakrawala tinggi dan ke laut tak terduga
hingga aku habis daya untuk menerima
untuk bertutur dan curahkan kasih-sayang

Akan datangkah dalam diriku saat yang indah
dimana aku bagai sepatah kata dalam sebuah puisi?
Bila kemungkinan telah tertutup
Aku telah bukan aku lagi, hanya sosok
Yang gamang terhuyung di tepi jurang 'kan runtuh
menunggu waktu maut mendorong putus-asa
Betapa aku kehilangan segalanya seperti ini
Mengapa demikian jadinya, kakakku jauhari?

Kemudian kita keluar ruang
berjalan melintas taman
Kenari, kunang-kunang dan jengkerik beri salam
Sedang di langit tenggara sekuntum bintang telah padam
Angin dingin serta suara aneh mengajak kita:
Datanglah ke perbukitan, ke lembah dan dataran hijau
Datang, datanglah ke hutan lebat, ke danau dan sumber bening
Dan lalui jaringan pancaran gugusan serba warna

Kau menggigil bagai kerasukan
seolah peri telah membiusmu
Dan kita berpelukan hening pasrah
Kau bisikkan, cuma pada getaran tubuh:
Kita adalah not dalam lagu semesta
tiada berpisah, saling setia
dan lebur dalam palutan cinta.

1964

Sumber: Horison (Agustus, 1966)

Analisis Puisi:

Puisi "Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku" karya Chairul Harun adalah sebuah sajak liris yang menyentuh dan mengandung kedalaman emosional luar biasa. Dengan struktur naratif yang mengalir seperti percakapan intim antara dua saudara, puisi ini membawa pembaca ke dalam ruang refleksi, nostalgia, penderitaan batin, dan pencarian makna hidup dalam dunia yang terasa makin asing dan keras.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keretakan batin manusia dalam menghadapi kehilangan makna dan kesederhanaan hidup, dengan subtema ikatan persaudaraan, kesedihan eksistensial, dan pencarian harmoni dalam semesta. Hubungan antara dua tokoh—kakak dan adik—dijadikan sarana untuk menggambarkan keterasingan manusia dalam dunia modern yang telah kehilangan nilai-nilai dasar seperti cinta, kedamaian, dan kebersamaan.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan banyak makna tersirat:
  • Kebersamaan yang terasa asing: Meski dua saudara telah kembali bersama secara fisik, mereka seolah menjadi “orang asing yang jumpa di pelabuhan”. Ini menyiratkan keterasingan emosional yang terjadi akibat pengalaman hidup yang berbeda atau luka yang belum sembuh.
  • Kehilangan kemerdekaan batin: Ketika si adik berkata “telah penyap kemerdekaan karena tiada lagi lagu, tiada lagi sederhana”, kita melihat bagaimana makna sejati dari kebebasan telah lenyap, digantikan oleh kehidupan yang kompleks dan menekan.
  • Simbol kejatuhan jiwa: Adik merasa dirinya “bukan aku lagi”, hidup bagai “sosok gamang di tepi jurang”, menggambarkan kehancuran identitas dan kehilangan arah dalam hidup—sebuah krisis eksistensial yang mendalam.
  • Alam sebagai pelarian dan pemulihan: Bagian ketika mereka keluar dari ruang dan berjalan ke taman, mendengar suara kunang-kunang dan jengkerik, lalu diajak “ke hutan lebat, ke danau dan sumber bening”, merupakan simbol bahwa alam semesta masih menjadi ruang rekonsiliasi jiwa, tempat kembali ke keheningan dan cinta yang murni.
Puisi ini bercerita tentang pertemuan dua saudara setelah lama terpisah—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin. Sang adik mengalami kehampaan dan kesedihan mendalam akibat dunia yang ia rasakan telah kehilangan makna. Ia merasa tercerabut dari rasa cinta, kesederhanaan, dan bahkan identitas dirinya sendiri. Sang kakak menjadi sosok yang mendampingi, mendengarkan, dan mengajak kembali menemukan ketenangan dalam dekapan semesta. Pada akhirnya, pelukan hening mereka menyatu dalam getaran batin yang universal: cinta sebagai satu-satunya jalan untuk meleburkan keterasingan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sendu, reflektif, dan sekaligus magis. Dari nuansa melankolis saat mereka berbicara di dalam ruangan, hingga transisi menuju alam yang penuh suara kenari, kunang-kunang, dan bintang yang padam, semua menyampaikan perasaan batin yang berayun antara keputusasaan dan harapan. Di akhir puisi, suasana menjadi mistis dan spiritual, dengan frasa seperti “kita adalah not dalam lagu semesta” yang menyiratkan perasaan menyatu dengan sesuatu yang lebih besar.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan mendalam yang disampaikan puisi ini antara lain:
  • Persaudaraan adalah jembatan untuk menyembuhkan luka batin. Meski dunia berubah, hubungan yang tulus dapat menjadi penyelamat.
  • Kehilangan makna hidup adalah gejala zaman, dan hanya cinta serta keheningan yang mampu mengembalikan manusia pada pusat jiwanya.
  • Alam adalah guru yang lembut, yang selalu menawarkan jalan pulang bagi mereka yang tersesat dalam kebisingan dunia.
  • Jangan menunda kepedulian, karena keterasingan dan kehampaan bisa datang diam-diam pada orang yang kita kasihi.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji-imaji yang indah dan menyentuh, antara lain:
  • “Berdampingan bagai orang asing yang jumpa di pelabuhan” → imaji pertemuan yang asing namun penuh rasa.
  • “Mata sembab… remuk-luluh” → menyiratkan penderitaan jiwa yang begitu mendalam.
  • “Datanglah ke perbukitan… ke danau dan sumber bening” → imaji keindahan alam yang menyembuhkan dan memanggil jiwa.
  • “Sekuntum bintang telah padam” → simbol harapan atau masa lalu yang telah mati.
  • “Kita adalah not dalam lagu semesta” → imaji harmoni, kesatuan, dan cinta kosmis.

Majas

Puisi ini juga kaya akan majas:

Simile:
  • “Berdampingan bagai orang asing…” → menggambarkan keterasingan yang paradoksal dalam kedekatan.
  • “Bagai sepatah kata dalam sebuah puisi” → mengisyaratkan keinginan menjadi bagian dari sesuatu yang indah dan utuh.
Personifikasi:
  • “Kenari, kunang-kunang dan jengkerik beri salam” → memberi rasa hidup dan kehangatan dari alam.
Metafora:
  • “Telah penyap kemerdekaan”, “jurang 'kan runtuh”, “getaran tubuh” → semua menyiratkan kondisi batin, ancaman kehancuran jiwa, dan komunikasi nonverbal yang sangat emosional.
Hiperbola:
  • “Aku kehilangan segalanya seperti ini” → untuk menunjukkan perasaan kehilangan yang ekstrem.
Aliterasi dan repetisi:
  • “Datang, datanglah…”, “dan ia, dan ia…” → menambah efek magis dan puitik dalam bacaan.
Puisi "Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku" bukan sekadar puisi tentang dua saudara. Ia adalah potret manusia modern yang terasing, terluka oleh kehilangan makna, dan mencoba menemukan kembali jati dirinya melalui kasih sayang, alam, dan persaudaraan. Dengan bahasa yang lembut namun penuh kedalaman, Chairul Harun menorehkan sebuah sajak kontemplatif yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga relasi, memahami penderitaan orang terdekat, dan merawat cinta di tengah dunia yang makin membeku.

Sebuah puisi yang tak hanya menyentuh, tapi juga menyadarkan.

Puisi Chairul Harun
Puisi: Malam Ini Kita Bersama Kembali, Adikku
Karya: Chairul Harun

Biodata Chairul Harun:
  • Chairul Harun lahir di Kayutanam, Sumatra Barat pada bulan Agustus 1940.
  • Chairul Harun meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 19 Februari 1998.
© Sepenuhnya. All rights reserved.