Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Malam Maulid (Karya Darius Umari)

Puisi “Malam Maulid” karya Darius Umari bercerita tentang malam peringatan Maulid Nabi, yang secara historis dan spiritual merupakan waktu istimewa ..
Malam Maulid

Malam ini ada angin
Bangkit dari benteng tua warisan sejarah
Dan tebarkan wangi-wangian di atas kuburan
Tak dikenal. Sementara
Bulan usapi sayap-sayap malaikat
Dengan perak. Dan
Di atas sebuah mimbar, seorang khatib
Lagi termangu kehabisan bahan. Tiba-tiba
Ia berkata:
                Malam ini lebih baik
                Dari segala zikir
Kemudian ia melangkah
Tinggalkan jemaah yang saling berpandangan.

1969

Sumber: Horison (Juli, 1971)

Analisis Puisi:

Puisi “Malam Maulid” karya Darius Umari adalah karya pendek namun kaya akan simbol dan lapisan makna. Dengan narasi yang tampak sederhana, puisi ini mengajak pembaca untuk menyelami sebuah malam penuh makna: malam peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang dalam tradisi keislaman disebut Maulid. Namun, alih-alih hanya menjadi perayaan spiritual yang khusyuk dan sakral, puisi ini menyingkap suasana yang ganjil, penuh kegamangan, dan bahkan absurditas. Dalam kegaduhan makna-makna keagamaan, Darius menyoroti momen keheningan yang justru memunculkan pertanyaan lebih dalam tentang keimanan, sejarah, dan zikir yang kehilangan ruhnya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perenungan terhadap makna spiritual dalam tradisi keagamaan—terutama saat bentuk seremonialnya tidak lagi menyentuh esensi. Darius menggambarkan sebuah malam suci yang sarat simbol, namun juga penuh keraguan dan kebingungan. Tradisi, sejarah, dan ritual bergulir, namun jiwa manusia tampak masih mencari arah.

Puisi ini bercerita tentang malam peringatan Maulid Nabi, yang secara historis dan spiritual merupakan waktu istimewa dalam kalender umat Islam. Namun, alih-alih menjadi perayaan penuh kekhusyukan dan cinta kepada Nabi, puisi ini memperlihatkan suasana yang ambigu.

Angin malam membawa aroma dari “benteng tua warisan sejarah”—simbol dari kejayaan masa silam yang kini tinggal sisa-sisa. Wangi-wangian ditebarkan di atas “kuburan tak dikenal”—mungkin menggambarkan ritual-ritual keagamaan yang dilakukan tanpa pemahaman mendalam akan siapa yang dimuliakan atau mengapa dilakukan. Lalu hadir sosok khatib—penceramah agama—yang kehabisan bahan, dan akhirnya mengatakan sesuatu yang sangat menggugah dan ironis: "Malam ini lebih baik dari segala zikir."

Kalimat itu bisa dibaca sebagai pengakuan jujur, sindiran, atau bahkan penggugah kesadaran bahwa apa yang terjadi malam itu tidak bisa direduksi sekadar pada bacaan ritual. Malam itu adalah sesuatu yang lebih hakiki—atau sebaliknya, kehilangan maknanya sepenuhnya.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah keraguan terhadap formalisasi agama yang kehilangan ruh dan substansi. Puisi ini menyiratkan bahwa dalam upacara keagamaan, terkadang manusia lebih sibuk mengulang tradisi dibanding menyelami makna terdalamnya. “Khatib kehabisan bahan” bisa dimaknai sebagai metafora dari kelelahan spiritual—bukan hanya fisik, tapi kegagalan menyambung kembali dengan keintiman ilahi.

Bait demi bait membisikkan bahwa zikir, sejarah, dan ritual bisa menjadi hampa jika tidak lagi menghidupkan kesadaran rohani. Bahkan ketika “bulan mengusap sayap malaikat”, dunia tetap berjalan dalam ketakpastian. Ada misteri spiritual di tengah kebekuan simbol.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini adalah sunyi, melankolis, dan kontemplatif. Tidak ada semarak atau gegap gempita sebagaimana lazimnya perayaan Maulid. Sebaliknya, ada ketegangan hening, seperti malam yang menyimpan rahasia, angin yang membawa sejarah, dan jamaah yang “saling berpandangan”—bertanya-tanya, atau barangkali merasa hampa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa ritual keagamaan harus diiringi dengan makna dan kesadaran batin yang dalam. Sebuah malam peringatan tidak semata-mata menjadi mulia karena kegiatan luar, melainkan karena kejernihan hati yang menyertainya. Ketika khutbah hanya menjadi pengulangan tanpa isi, maka zikir pun kehilangan nyawa.

Melalui gambaran khatib yang “termangu” dan jemaah yang “saling berpandangan,” puisi ini menggugah pembaca untuk merenung: apakah ibadah kita masih bermakna, atau sekadar menjadi rutinitas tak bernyawa?

Imaji

Puisi ini membangun imaji yang kuat dan sugestif, antara lain:

“Angin bangkit dari benteng tua warisan sejarah”

Imaji sejarah yang hidup kembali, angin menjadi pembawa masa lalu ke masa kini. Ia membawa aroma spiritual atau kenangan, tapi juga menandai kerentanan.

“Tebarkan wangi-wangian di atas kuburan tak dikenal”

Imaji religius yang menukik: menyiratkan penghormatan kepada sesuatu yang sudah dilupakan, atau sekadar simbol yang hampa.

“Bulan usapi sayap-sayap malaikat dengan perak”

Imaji metaforis yang menggambarkan malam sakral dengan sentuhan spiritualitas yang halus, puitis, dan transenden.

“Seorang khatib kehabisan bahan” dan “jamaah saling berpandangan”

Imaji sosial yang menunjukkan keterasingan antara pemimpin rohani dan umat, serta kebingungan kolektif dalam menafsir malam keagamaan yang mestinya sakral.

Majas

Puisi ini kaya akan majas yang memperkuat lapisan maknanya:

Personifikasi
  • “Bulan usapi sayap-sayap malaikat” – bulan diberi kemampuan manusia untuk mengusap, menambah aura spiritual malam tersebut.
  • “Angin bangkit dari benteng tua” – angin digambarkan bangkit seperti makhluk hidup, membawa simbol sejarah ke masa kini.
Metafora
  • “Kuburan tak dikenal” – bisa merujuk pada sejarah atau nilai spiritual yang terkubur dalam ritual kosong.
  • “Sayap-sayap malaikat” – simbol kehadiran unsur ilahiah atau berkah malam suci.
Ironi
  • “Malam ini lebih baik dari segala zikir” – kalimat ini mengandung ironi tajam. Di satu sisi, ia menyiratkan bahwa malam itu sakral dan tak bisa disamakan dengan ritual biasa. Di sisi lain, ia juga bisa mengkritik betapa zikir itu sendiri telah kehilangan makna.
Simbolisme
  • Khatib, mimbar, jemaah, benteng tua—semua menjadi simbol kondisi spiritual masyarakat, sejarah yang tertinggal, dan hubungan rapuh antara agama sebagai nilai dan sebagai institusi.
Puisi “Malam Maulid” karya Darius Umari bukan sekadar penggambaran malam religius tetapi adalah kritik halus sekaligus renungan mendalam atas hubungan manusia dengan agama, sejarah, dan kesakralan. Dalam malam yang mestinya penuh cahaya dan keberkahan, justru terselip sunyi, keraguan, dan perasaan gamang. Melalui citraan puitis dan suasana yang nyaris teatrikal, penyair menyampaikan pesan: ritual tidak menjamin makna; hanya kesadaran batin yang bisa menghidupkan zikir menjadi cahaya.

Apakah malam Maulid masih menjadi waktu untuk menyambung cinta dengan Sang Nabi, atau hanya menjadi malam seremonial yang kosong? Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti angin yang datang dari benteng tua—membawa wangi masa lalu, menuntut kita untuk menjawabnya dengan hati yang jernih.

Puisi Darius Umari
Puisi: Malam Maulid
Karya: Darius Umari

Biodata Darius Umari:
  • Darius Umari lahir pada tanggal 5 November 1942 di Talang, Sumatra Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.