Maut, Kalau Engkau Datang
Maut, kalau engkau datang,
aku tiada lagi gemeletuk
Bahkan gapura akan kuhiasi
Dengan gubahan marygold, mawar dan liliah putih
Dan bendera ‘kan kusuruh berlagu
Karena telah terdengar olehku kini
Hembusan awan yang menggalur
Antara gelap dan cahaya pagi
Bila engkau datang
Kepalamu tiada lagi berambutan ular
Tapi mukamu berseri
Dan aku ‘kan menyusup kerengkuhanmu
Ikhlas menutup mata
Dari bentangan bumi yang indah ini.
Maut, datanglah engkau sebisik tingkahmu,
Kau tidak kupanggil, tidak pula kutolak
Sumber: Rekaman dari Tujuh Daerah (1951)
Analisis Puisi:
Puisi "Maut, Kalau Engkau Datang" karya Mh. Rustandi Kartakusuma merupakan refleksi puitik yang tenang dan penuh kebijaksanaan terhadap salah satu hal paling pasti namun paling ditakuti manusia: kematian. Berbeda dari puisi bertema maut pada umumnya yang sering diwarnai kegelisahan atau ketakutan, puisi ini justru hadir dengan nada penerimaan yang hangat, bahkan bersahabat. Melalui simbol-simbol yang lembut dan bahasa yang metaforis, penyair mengajak pembaca untuk tidak melihat kematian sebagai musuh, melainkan sebagai bagian alami dari hidup yang patut diterima dengan hati lapang.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah penerimaan akan kematian sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan. Penyair tidak memandang maut sebagai teror yang harus dihindari, melainkan sebagai akhir yang layak disambut dengan persiapan batin dan ketenangan jiwa.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini menunjukkan bahwa kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan kelanjutan dari perjalanan spiritual seseorang. Kematian bukan sesuatu yang perlu ditakuti, apalagi dilawan. Sebaliknya, jika kita telah memahami hakikat kehidupan dan menjalani hidup dengan damai, maka kehadiran maut akan terasa seperti ketukan halus dari teman lama yang menjemput kita pulang.
Larik “Kepalamu tiada lagi berambutan ular / Tapi mukamu berseri” menyiratkan transformasi citra maut dari sosok mengerikan (seperti Medusa) menjadi entitas lembut dan penuh kasih.
Puisi ini bercerita tentang sikap batin seorang penyair yang menyambut kematian dengan keikhlasan. Dalam penggambarannya, penyair bahkan berencana menghias gapura (gerbang kematian) dengan bunga-bunga indah seperti marygold, mawar, dan liliah putih, seolah-olah kematian adalah sebuah pesta perpisahan yang damai. Ia tidak menggambarkan kematian sebagai kehilangan atau kehancuran, melainkan sebagai perjalanan pulang yang harus diterima dengan sikap tenang dan lapang dada.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini tenang, syahdu, dan kontemplatif. Tidak ada kesan tergesa-gesa, panik, atau duka mendalam. Sebaliknya, suasana yang dibangun penuh ketenteraman spiritual. Keindahan bunga, nyanyian bendera, dan hembusan awan menjadi latar yang memperhalus kesan akan datangnya maut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan amanat bahwa kematian adalah bagian dari siklus kehidupan yang tidak harus ditakuti. Penyair mengajak pembaca untuk memandang maut sebagai sahabat, bukan musuh. Dengan kehidupan yang dijalani secara sadar dan penuh makna, kematian tidak lagi menakutkan. Maka, seseorang yang telah berdamai dengan hidupnya tidak akan menggigil ketika maut menjemput.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif yang memperkuat suasana damai dan kelembutan:
- “Gapura akan kuhiasi dengan gubahan marygold, mawar dan liliah putih” → Imaji visual yang menunjukkan kematian sebagai gerbang indah, bukan gerbang kegelapan.
- “Bendera ’kan kusuruh berlagu” → Imaji auditif sekaligus simbolik: alih-alih berkibar kaku, bendera ‘bernyanyi’, menciptakan nuansa kelegaan.
- “Hembusan awan yang menggalur / Antara gelap dan cahaya pagi” → Imaji peralihan, memperlihatkan posisi maut di antara malam dan fajar, kematian dan kehidupan.
Majas
Puisi ini memanfaatkan berbagai majas untuk menghidupkan makna puitisnya:
Personifikasi:
- “Bendera ’kan kusuruh berlagu” → Bendera dipersonifikasikan seperti manusia yang bisa menyanyi, memberi kesan hidup pada benda mati.
- “Maut, kalau engkau datang” → Maut diperlakukan seperti seorang tamu yang bisa hadir dan disambut.
Metafora:
- “Gapura akan kuhiasi” → Menggambarkan kematian sebagai pintu atau gerbang, metafora yang umum dalam spiritualitas.
- “Muka berseri” → Metafora yang menggambarkan maut bukan lagi menyeramkan, tapi menyenangkan.
Simbolisme:
- Marygold, mawar, liliah putih → Bunga sebagai simbol penghormatan, keindahan, dan kesucian dalam menyambut kematian.
- “Seumur hidup tidak kupanggil, tidak pula kutolak” → Simbol sikap netral terhadap maut, mengisyaratkan kesiapan penuh dan tidak menantang kodrat.
Puisi “Maut, Kalau Engkau Datang” bukan sekadar puisi tentang kematian, melainkan meditasi tentang keberanian hidup dan kedewasaan dalam menghadapi akhir. Dalam puisi ini, Mh. Rustandi Kartakusuma menggambarkan maut dengan cara yang sangat berbeda dari konvensi puisi-puisi bertema serupa: bukan muram, bukan angker, melainkan tenang, khusyuk, dan bahkan indah.
Puisi ini adalah ajakan untuk merenungi hidup dan menyadari bahwa kematian tidak perlu dihindari jika kehidupan telah dijalani dengan utuh. Maka, ketika saat itu tiba, kita bisa menyusup “kerengkuhan maut” dengan damai.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
