Sumber: Fragmen Malam, Setumpuk Soneta (1997)
Analisis Puisi:
Puisi “Memperkosa Soneta” karya Wing Kardjo adalah sebuah kritik sosial dan estetika yang tajam, dikemas dalam bentuk klasik: soneta. Ironisnya, soneta ini justru menjadi “korban” dari pemberontakan sang penyair terhadap formalisme dalam puisi maupun sistem sosial yang mapan. Kardjo menggugat bukan hanya soal bentuk puisi, tetapi juga struktur sosial-politik yang menindas. Di balik barisan katanya yang padat dan tajam, puisi ini menyimpan lapisan makna yang menggugah kesadaran.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah pemberontakan terhadap struktur—baik dalam puisi maupun dalam masyarakat. Wing Kardjo menggunakan bentuk soneta yang kaku sebagai metafora untuk memperlihatkan kebekuan ekspresi dalam sistem yang dikontrol. Puisi ini berbicara tentang bagaimana keteraturan formal bisa menjadi penjara, baik dalam estetika (puisi) maupun dalam sistem sosial (demokrasi yang hanya formalitas).
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini begitu kuat dan politis. Kardjo menyatakan bahwa puisi yang terlalu terikat bentuk (dalam hal ini soneta) kehilangan daya kritis dan keberpihakan sosialnya. “Memperkosa soneta” dalam konteks ini adalah tindakan radikal untuk membongkar pakem lama agar puisi tidak menjadi sekadar ornamen, tetapi menjadi alat perjuangan sosial.
Selain itu, ia mengibaratkan soneta yang kaku sebagai cerminan demokrasi yang hanya formalitas belaka. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang, justru menjadi penjara bagi suara-suara yang ingin merdeka.
Puisi ini bercerita tentang seorang penyair (atau pemikir) yang merasa terbelenggu oleh bentuk dan tatanan lama. Ia menggambarkan penderitaan sosial yang terus terjadi—anak-anak yang hidup di jalanan, pertumbuhan kota yang menggusur, hingga kerusakan sosial akibat pembangunan yang tidak berpihak. Di tengah realitas pahit ini, puisi ditantang untuk tidak lagi diam dalam bentuknya, melainkan menjadi suara perjuangan yang nyata.
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang menonjol antara lain:
- Struktur: Puisi ini berbentuk soneta dengan pola 4-4-3-3 baris (total 14 baris), tetapi isinya justru melawan konvensi soneta. Inilah kekuatan utamanya—struktur lawas digunakan untuk menyampaikan isi yang memberontak terhadap struktur itu sendiri.
- Diksi: Kata-kata seperti menggiring, menjinakkan, mengurung, merebut, pemiskinan, mabuk pembangunan, menunjukkan nada keras dan penuh kritik.
- Nada dan Suasana: Nada puisi ini sarkastik, tajam, dan penuh frustrasi, namun juga penuh semangat untuk merombak.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah ketegangan dan pemberontakan. Penyair menunjukkan kemuakan terhadap ketimpangan sosial dan keterkungkungan ekspresi. Suasana terasa seperti kritik tajam yang dilemparkan ke tengah-tengah keramaian birokrasi, estetika kosong, dan demokrasi yang pura-pura.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa puisi tidak boleh hanya bersembunyi dalam bentuk atau estetika. Ia harus menjadi alat perjuangan, penyampai suara rakyat, dan penggugah nurani sosial. Sama halnya, sistem politik tidak boleh hanya berlabel "demokrasi", tetapi harus benar-benar memberi ruang hidup yang layak bagi semua, terutama mereka yang terpinggirkan.
Imaji
Meskipun tidak terlalu puitis dalam artian konvensional, puisi ini tetap menyajikan imaji sosial yang kuat dan menyentuh:
- “Menyaksikan gedung-gedung merebut lengkung langit” → imaji visual tentang kota yang dibangun serampangan, menyingkirkan langit dan keindahan alam.
- “Anak-anak tumbuh dalam lingkungan kumuh” → imaji sosial yang menyedihkan.
- “Mabuk pembangunan menciptakan kerawanan” → imaji metaforis tentang pembangunan yang menipu dan membahayakan.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang khas untuk memperkuat pesan:
Metafora:
- “Memperkosa soneta” → metafora untuk tindakan merusak atau membebaskan puisi dari bentuk kaku.
- “Demokrasi hanya formal” → demokrasi diibaratkan sebagai struktur kosong yang tidak mewakili suara rakyat.
Sarkasme:
- “Soneta artifisial, demokrasi hanya formal” → sindiran keras terhadap kemunafikan dalam sastra dan politik.
Personifikasi:
- “Gedung-gedung merebut lengkung langit” → menggambarkan agresivitas pembangunan yang tak peduli alam.
Puisi “Memperkosa Soneta” karya Wing Kardjo adalah sebuah bentuk pemberontakan estetik dan politik dalam satu waktu. Menggunakan bentuk klasik soneta, penyair justru menabrak konvensi itu dari dalam, untuk menunjukkan bahwa baik puisi maupun demokrasi bisa kehilangan makna jika hanya sibuk menjaga bentuk luarnya saja.
Dengan bahasa tajam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung: apakah kita masih terjebak dalam struktur-struktur lama yang membungkam suara kemanusiaan? Wing Kardjo menyodorkan kemungkinan baru—bahwa puisi bisa menjadi senjata, dan estetika harus tunduk pada nilai keadilan sosial.
