Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menantimu di Pinggir Kolam (Karya Moh. Wan Anwar)

Puisi “Menantimu di Pinggir Kolam” karya Moh. Wan Anwar bercerita tentang seseorang yang sedang menunggu sosok yang tak kunjung datang, di sebuah ...
Menantimu di Pinggir Kolam

menantimu di sini, di belantara kota
di pinggir kolam yang tanpa teratai
air mancur mengguyuri nasib kita
udara yang kelam tiba-tiba mengepungku
- seperti ada yang gemetar
di balik hamburan kata, di sela lengking serapah
di antara orang-orang yang berderet
letih dan nanar itu
: kau belum juga tiba

orang-orang menatap kosong seperti mata manekin
sendiri-sendiri, larut dalam jeda
setelah seharian hanyut dalam putaran roda
juga aku yang terselip di kisaran mereka
: kau masih belum juga tiba

demikianlah memang, rencana selalu larut dalam cuaca
seperti juga maut, mungkin
akan tiba tanpa aba-aba

menantimu di taman ini, sore semakin rahasia
dan ketika kau tiba, tahulah
sesuatu yang lain pun akan segera tiba

Jakarta, 2000

Sumber: Sebelum Senja Selesai (2002)

Analisis Puisi:

Puisi “Menantimu di Pinggir Kolam” karya Moh. Wan Anwar adalah sebuah penggalan perenungan yang sangat kontemporer. Melalui diksi sederhana namun puitis, penyair menggambarkan kegelisahan eksistensial di tengah riuhnya kehidupan urban. Seolah-olah, penyair ingin mengatakan bahwa menanti seseorang—baik itu sosok literal maupun metaforis—adalah bagian dari proses manusia menghadapi dunia yang penuh jeda, diam, dan ketidakpastian.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penantian dan kesendirian di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota. Namun, di balik itu tersimpan refleksi yang lebih luas: tentang absurditas hidup, kehampaan, dan kemungkinan akan datangnya takdir secara mendadak. Tema penantian dalam puisi ini tidak hanya berkaitan dengan kehadiran seseorang, tetapi juga menyiratkan harapan atau bahkan kematian—sebagai sesuatu yang “akan tiba tanpa aba-aba”.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini begitu kuat. Penantian yang terus berlanjut dan ketiadaan yang tak kunjung terisi menggambarkan kegelisahan batin manusia modern. Ketika penyair berkata:

“demikianlah memang, rencana selalu larut dalam cuaca / seperti juga maut, mungkin / akan tiba tanpa aba-aba”

ia menyiratkan bahwa hidup tidak selalu dapat dikendalikan, bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada logika dan rencana. Kata “kau” bisa dimaknai sebagai kekasih, harapan, kematian, atau bahkan titik temu eksistensial, yang terus diharap tetapi selalu tak pasti datangnya.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang menunggu sosok yang tak kunjung datang, di sebuah taman kota yang suram, di tengah keramaian yang justru terasa sunyi. Dalam penantiannya, ia menyaksikan manusia-manusia lain yang juga sepi dalam keramaian:

“orang-orang menatap kosong seperti mata manekin / sendiri-sendiri, larut dalam jeda”

Cerita puisi ini bukan hanya soal waktu yang berlalu tanpa kabar, tapi juga perasaan menjadi kecil, asing, dan tersesat dalam rutinitas kota yang membatu.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah suram, dingin, dan gelisah. Kota digambarkan sebagai “belantara”, bukan sebagai tempat nyaman, tetapi medan yang mengasingkan. Suasana menjadi semakin kelam dengan larik:

“udara yang kelam tiba-tiba mengepungku / seperti ada yang gemetar”

Ada nuansa urban gothic, yaitu suasana kota yang gelap dan penuh alienasi. Pembaca diajak merasakan dinginnya sore yang penuh ketidakpastian.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah kesadaran untuk menerima ketidakpastian dalam hidup. Rencana dan penantian kadang tak berujung, namun justru dari sana manusia diajak untuk lebih menyadari eksistensinya. Kehadiran bisa begitu dinanti, tapi bisa juga tak pernah tiba. Maka manusia harus berdamai dengan jeda, diam, dan kemungkinan buruk yang datang tanpa aba-aba.

Imaji

Puisi ini menyajikan imaji visual dan suasana yang sangat kuat. Misalnya:
  • “air mancur mengguyuri nasib kita” → citraan visual dan simbolik: kehidupan yang terus berjalan sementara kita hanya diam menanti.
  • “mata manekin” → imaji ketidakpedulian dan kehampaan, mewakili manusia modern yang kehilangan rasa.
  • “udara kelam mengepung” → imaji atmosfer yang penuh tekanan dan kemurungan.
Semua imaji ini menambah kedalaman makna dan memperkuat suasana gelisah dalam puisi.

Majas

Puisi ini mengandung banyak majas simbolik dan metafora:

Metafora:
  • “belantara kota” → kota sebagai hutan yang menyesatkan.
  • “sore semakin rahasia” → sore menjadi waktu yang penuh misteri, mungkin merujuk pada menjelang ajal atau kesadaran yang mendalam.
Personifikasi:
  • “air mancur mengguyuri nasib kita” → air mancur seolah menjadi pelaku yang berinteraksi dengan takdir manusia.
Repetisi:
  • Pengulangan “kau (masih) belum juga tiba” menciptakan ritme penantian dan menegaskan harapan yang belum terpenuhi.
Puisi “Menantimu di Pinggir Kolam” adalah karya puitik yang merekam perasaan manusia urban dalam kesepian, penantian, dan kebingungan eksistensial. Lewat penggunaan bahasa simbolik, imaji kuat, dan suasana yang pekat dengan kesunyian, Moh. Wan Anwar berhasil mengajak pembaca masuk ke dunia batin yang terus menunggu—tanpa kepastian kapan harapan itu akan datang.

Puisi ini pada akhirnya menjadi refleksi tentang hidup itu sendiri, bahwa dalam segala hiruk-pikuk, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terus menanti: akan cinta, makna, harapan, atau takdirnya sendiri.

Puisi: Menantimu di Pinggir Kolam
Puisi: Menantimu di Pinggir Kolam
Karya: Moh. Wan Anwar

Biodata Moh. Wan Anwar:
  • Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
  • Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.
© Sepenuhnya. All rights reserved.