Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mesin dan Robot (Karya Wing Kardjo)

Puisi “Mesin dan Robot” karya Wing Kardjo merupakan kritik sosial yang tajam dan menyakitkan terhadap zaman industri dan ekonomi kapitalistik.
Mesin dan Robot (1)

Mesin-mesin dan robot bekerja lebih baik daripada buruh
tak perlu makan, tak perlu minum, tak perlu tidur, bisa
bekerja penuh sehari-semalam dalam tempat terang,
dalam tempat gelap dengan irama yang tetap.

Hanya diperlukan tenaga ahli, tak banyak, sekedar
melayani mesin agar terus berjalan. Bukankah surga.
Tak ada lagi tuntutan, tak ada lagi keluhan,
ancaman mogok yang seperti momok.

Di zaman ini segala jalan, lancar seperti sekunar. Kekurangan
modal? Panggil kapital asing, sebentar tentu datang mengulurkan
tangan. Lantas bikin proyek, misalnya membuka tambang, dan

agar aman, undang tenaga luar. Toh, kita mampu bayar. Sedang
lahan milik negara, kita hanya minta bagian, persis seorang
calo. Praktis dan sederhana, peran kita sebagai bangsa.

Mesin dan Robot (2)

Mesin-mesin dan robot tak punya istri, tak punya anak, tak
perlu takut pulang ke rumah tanpa bawa uang, tak perlu
kuatir dirongrong mertua dan sanak. Mesin-mesin dan
robot tak usah pulang ke rumah. Kalau nganggur tidur

di tempat kerja, tak baca koran di kantor, tak curi-curi waktu buat
main kartu. Majikan hanya menggerutu kalau kehabisan cerutu
atau bahan baku. Kewajiban pada negara? Sisihkan sekian persen
sebagai pajak, bisa kurangan kalau bayar uang siluman.

Pertanggungjawaban hanya dalam rapat persero, kalau perusahaan terbatas.
Ini kan perusahaan keluarga, seperti tertera dalam undang-undang negara:
perekonomian berasaskan kekeluargaan? Karena dalam lingkungan

terbatas, tak perlu pengawas. Usaha masih nasional, tak merugikan
kepentingan sosial. Layanan dan barang hanya buat orang-
orang berada. Wah, mewah dan mahal.

Sumber: Fragmen Malam, Setumpuk Soneta (1997)

Analisis Puisi:

Puisi “Mesin dan Robot” karya Wing Kardjo adalah karya yang memuat kritik sosial-ekonomi mendalam terhadap sistem industri modern dan kapitalisme global yang tidak manusiawi. Terdiri dari dua bagian, puisi ini mengurai bagaimana mesin dan robot telah menggantikan buruh manusia, serta bagaimana sistem ekonomi berjalan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial. Melalui bahasa lugas, metafora satir, dan nada sinis, Wing Kardjo menyuguhkan renungan pahit tentang kemajuan teknologi yang mengikis nilai-nilai kemanusiaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah dehumanisasi dalam masyarakat industri kapitalistik, di mana manusia mulai kehilangan nilai karena digantikan oleh mesin dan sistem ekonomi yang hanya mengutamakan efisiensi, keuntungan, dan kontrol modal. Tema sekunder yang turut muncul adalah ketimpangan sosial, eksploitasi sumber daya, dan kemunafikan dalam praktik ekonomi berlabel kekeluargaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menggambarkan ketimpangan yang terjadi antara penguasa modal dan kaum pekerja. Di balik retorika pembangunan dan efisiensi, tersembunyi sistem yang secara sistematis menyingkirkan manusia dari proses produksi. Teknologi yang seharusnya membantu manusia justru menggantikannya, sedangkan bangsa sendiri hanya menjadi “calo” di tanahnya sendiri, tidak berdaulat atas sumber dayanya.

Puisi ini juga menyindir bentuk pseudo-nasionalisme, seperti kalimat: “usaha masih nasional, tak merugikan kepentingan sosial”—yang sesungguhnya menutupi kenyataan bahwa hasil produksi hanya untuk kalangan elit. Puisi ini menekankan bahwa kehidupan sosial telah digerogoti oleh logika mekanistik dan pasar, bukan nilai kemanusiaan.

Puisi ini bercerita tentang bagaimana mesin dan robot menggantikan manusia dalam sistem produksi modern, di mana efisiensi lebih dipentingkan daripada keadilan atau kesejahteraan buruh. Mesin-mesin dianggap ideal karena tidak mengeluh, tidak mogok, dan tidak punya kebutuhan emosional. Sementara manusia—yang memiliki keluarga, tekanan sosial, dan kebutuhan hidup—perlahan tersingkir dari perannya sebagai aktor utama dalam pembangunan.

Bagian kedua puisi ini menyoroti hipokrisi kapitalisme, di mana pengusaha menyembunyikan praktik eksploitatif dengan dalih sistem “kekeluargaan” dan “nasionalisme ekonomi”, padahal hanya melayani kalangan berada. Penyair dengan cerdas mengangkat realitas ekonomi makro ke dalam struktur puisi yang menggugah.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bernuansa satir dan getir. Ada kesan cemas dan muak yang dibungkus dengan ironi, terutama dalam kalimat seperti “bukankah surga” atau “usaha masih nasional”. Suasana ini menggambarkan ketimpangan dan kepalsuan dalam wajah modernisasi, serta kritik terhadap masyarakat yang memuja pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan sosial.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kemajuan teknologi dan globalisasi ekonomi harus tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi yang hanya memuliakan efisiensi, tanpa ruang untuk kesejahteraan manusia, justru akan memperparah kesenjangan. Manusia bukan mesin, dan ketika mereka diperlakukan seperti robot, maka hilanglah martabat dan kemanusiaannya.

Ada pula sindiran terhadap pengambil kebijakan dan elit ekonomi yang sering menyatakan bahwa perekonomian "berasas kekeluargaan", padahal praktiknya eksklusif dan hanya menguntungkan segelintir orang.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji konkret dan simbolis:
  • Imaji visual dan mekanik: “mesin-mesin dan robot bekerja lebih baik daripada buruh”, “berulang irama”, “barang mewah dan mahal” — menggambarkan dunia industri modern yang kaku dan tidak manusiawi.
  • Imaji sosial-ekonomi: “tak usah pulang ke rumah”, “takut pulang tanpa bawa uang”, “tidur di tempat kerja” — membayangkan kehidupan buruh yang makin tertekan dan tergusur.
  • Imaji hukum dan bisnis: “rapat persero”, “uang siluman”, “perusahaan keluarga” — menciptakan suasana sistem ekonomi yang tertutup, manipulatif, dan oportunistik.

Majas

Beberapa majas penting yang digunakan Wing Kardjo antara lain:
  • Ironi: Misalnya pada kalimat “Bukankah surga” atau “usaha masih nasional, tak merugikan kepentingan sosial”, digunakan untuk menyindir praktik ekonomi yang munafik.
  • Metafora: “mesin tak punya istri, anak” menjadi metafora dari dunia tanpa emosi dan hubungan sosial—kontras dengan manusia yang berkeluarga dan penuh beban psikologis.
  • Sarkasme: “cukup bayar uang siluman” atau “pengusaha menghitung kekayaan dalam dolar” menyampaikan kekecewaan penyair terhadap korupsi dan moralitas ekonomi.

Unsur Puisi

  • Diksi: Lugas, langsung, dan sarat makna sosial-politik. Diksi seperti “robot”, “kapital asing”, “pajak”, “uang siluman” memperkuat konteks kritik struktural.
  • Gaya bahasa: Didominasi oleh gaya deskriptif yang satir dan realistis. Ada keseimbangan antara penceritaan dan pesan.
  • Struktur: Terbagi menjadi dua bagian, masing-masing mengandung argumen dan penjabaran kritik yang berlapis.
Puisi “Mesin dan Robot” karya Wing Kardjo merupakan kritik sosial yang tajam dan menyakitkan terhadap zaman industri dan ekonomi kapitalistik. Ia menyindir bagaimana teknologi dan modal asing mengikis peran manusia dalam tanahnya sendiri, menjadikan buruh tak lebih dari angka statistik.

Melalui bahasa puitik yang sinis namun jernih, Wing Kardjo berhasil menyampaikan bahwa pembangunan tanpa perikemanusiaan hanya akan menghasilkan bangsa yang jadi calo di tanah sendiri, sementara segelintir elite menumpuk kekayaan. Puisi ini mengajak kita berpikir: Apakah kemajuan harus dibayar dengan hilangnya nilai manusia?

Puisi Wing Kardjo
Puisi: Mesin dan Robot
Karya: Wing Kardjo

Biodata Wing Kardjo:
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja lahir pada tanggal 23 April 1937 di Garut, Jawa Barat.
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2002 di Jepang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.