Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mie Pangsit dan Anak Itu (Karya Tri Astoto Kodarie)

Puisi "Mie Pangsit dan Anak Itu" karya Tri Astoto Kodarie bercerita tentang momen sederhana di warung makan atau tempat makan pinggir jalan, di ...
Mie Pangsit dan Anak Itu

hidangan di atas meja belum kujamah
semangkuk mie pangsit yang penuh kuah
hiruk-pikuk di luar, calo-calo angkutan
kunikmati setiap sendok mie pangsit sampai keringatan

di hadapanku seorang anak jalanan
lahap menikmati mie pangsit, matanya berkeringat
tangan dan mulutnya berpacu penuh semangat
pada sendok terakhir ia nampak mendapatkan kedamaian
dua ribu perak semangkuk dan anak itu
merajut mimpi jalanan di pusaran waktu

mie pangsit masih tersisa
bau keringat anak itu masih terasa
kuaduk kuahnya bersama puisi
agar masih ada yang bisa kutangisi.

2004

Analisis Puisi:

Puisi "Mie Pangsit dan Anak Itu" karya Tri Astoto Kodarie menyajikan potret sederhana namun penuh makna dari kehidupan sehari-hari yang sering luput dari perhatian banyak orang. Lewat narasi tentang semangkuk mie pangsit dan kehadiran seorang anak jalanan, penyair menyelipkan berbagai tema sosial dan batiniah yang menggugah empati pembaca.

Hidangan Sederhana dan Mimpi Anak Jalanan

Puisi ini bercerita tentang momen sederhana di warung makan atau tempat makan pinggir jalan, di mana si aku lirik tengah menyantap semangkuk mie pangsit. Namun, peristiwa itu menjadi berbeda ketika hadir seorang anak jalanan di hadapannya. Anak tersebut juga menikmati mie pangsit, bukan hanya sebagai makanan, tetapi sebagai sumber kebahagiaan dan bahkan kedamaian di tengah kerasnya kehidupan jalanan.

Kehadiran anak jalanan ini menghadirkan kontras emosional: di satu sisi, ada kenikmatan makan yang biasa dirasakan oleh si aku lirik; di sisi lain, ada perjuangan eksistensial dari anak itu yang menyantap mie pangsit dengan semangat yang mengharukan. Peristiwa sederhana ini menjadi momen reflektif yang kuat.

Tema: Ketimpangan Sosial dan Kemanusiaan

Tema utama puisi ini adalah ketimpangan sosial dan kemanusiaan. Puisi ini mengangkat bagaimana sebuah hidangan sederhana seperti mie pangsit bisa memiliki makna yang sangat berbeda tergantung pada siapa yang memakannya. Bagi si aku lirik, mungkin itu hanyalah makanan biasa. Namun, bagi anak jalanan, mie pangsit adalah sumber kekuatan, kebahagiaan, bahkan mungkin satu-satunya kemewahan yang bisa diraihnya hari itu.

Ada pula tema empati, refleksi diri, dan kesadaran sosial. Penyair tidak hanya menggambarkan kejadian, tetapi turut mengaduk “kuahnya bersama puisi” — sebuah metafora akan keterlibatan emosional dan spiritual terhadap penderitaan sosial yang ia saksikan.

Makna Tersirat: Luka Sosial dan Kebutuhan Akan Rasa Kemanusiaan

Makna tersirat dari puisi ini tidak hanya sekadar menggambarkan peristiwa makan di warung, melainkan mengajak pembaca merenung tentang realitas sosial yang selama ini mungkin kita abaikan. Anak jalanan yang digambarkan dengan "mata berkeringat" dan "merajut mimpi jalanan" menjadi simbol dari jutaan anak di negeri ini yang berjuang hidup di tengah kerasnya kota.

Puisi ini juga menyentuh sisi personal pembaca: seberapa sering kita makan dengan nyaman, tanpa menyadari bahwa di sekeliling kita ada orang lain yang menjadikan makanan itu sebagai harapan hidup? Ketika “kuahnya diaduk bersama puisi”, penyair ingin menegaskan bahwa penderitaan sosial bukan hanya harus dilihat, tetapi juga dirasakan dan dituliskan agar tidak dilupakan.

Imaji: Visual dan Rasa yang Menggugah

Meskipun pendek, puisi ini kaya akan imaji yang kuat, terutama dalam menggambarkan suasana dan aktivitas. Imaji visual hadir dalam frasa “semangkuk mie pangsit yang penuh kuah”, “hiruk-pikuk di luar”, dan “mata anak itu berkeringat”. Imaji ini memperkuat realisme puisi, membuat pembaca dapat membayangkan suasana tempat makan, panasnya siang, dan ekspresi si anak.

Imaji rasa pun tersirat melalui "kenikmatan mie pangsit", yang dikontraskan dengan "bau keringat anak itu masih terasa". Aroma dan rasa bercampur dengan perasaan bersalah dan iba yang melekat di hati si aku lirik.

Majas: Metafora dan Simbol

Puisi ini menggunakan beberapa majas, terutama metafora dan simbolisme. Contohnya:
  • “mata berkeringat” bukan hanya menggambarkan kondisi fisik anak, tetapi juga bisa dimaknai sebagai kelelahan atau tangis yang ditahan.
  • “merajut mimpi jalanan di pusaran waktu” adalah metafora yang menggambarkan betapa berat dan tak tentu arah masa depan anak jalanan itu, namun mereka tetap bermimpi.
  • “kuaduk kuahnya bersama puisi” menjadi simbol dari upaya penyair menjadikan pengalaman itu sebagai bahan renungan, bukan hanya dibiarkan berlalu.
Ada pula kontras atau ironi yang halus: dua ribu perak untuk semangkuk mie pangsit mungkin tampak remeh bagi sebagian orang, namun bagi anak itu, itu adalah harga dari secercah kedamaian.

Amanat: Belajar Merasa, Belajar Peduli

Amanat dari puisi ini adalah ajakan untuk lebih peka terhadap realitas sosial di sekitar kita. Penyair menyuarakan empati dan menggugah pembaca untuk tidak memalingkan wajah dari kenyataan pahit yang dialami oleh mereka yang terpinggirkan. Kita diajak bukan hanya melihat, tetapi merasakan, bahkan jika perlu menangisi, seperti yang dilakukan aku lirik di akhir puisi.

Puisi ini ingin menyampaikan bahwa puisi — dan juga hidup — harus memiliki nurani. Dan dalam semangkuk mie pangsit yang sederhana pun, terdapat pelajaran besar tentang kehidupan, keadilan sosial, dan kemanusiaan.

Puisi “Mie Pangsit dan Anak Itu” adalah contoh kuat dari bagaimana puisi bisa menjadi medium refleksi sosial. Dengan tema ketimpangan sosial, makna tersirat tentang penderitaan dan empati, imaji yang hidup, dan penggunaan majas yang halus namun menyentuh, Tri Astoto Kodarie mengajak kita menyelami makna mendalam dari hal-hal yang sering kita anggap biasa.

Puisi ini mengingatkan bahwa makanan, aroma, dan tatapan seseorang bisa menyimpan luka, harapan, dan cerita yang panjang. Dan tugas kita bukan hanya memaknai puisi ini, tetapi juga menjadikannya sebagai panggilan untuk berbuat sesuatu — sekecil apa pun — untuk sesama.

Puisi: Mie Pangsit dan Anak Itu
Puisi: Mie Pangsit dan Anak Itu
Karya: Tri Astoto Kodarie

Biodata Tri Astoto Kodarie:
  • Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
© Sepenuhnya. All rights reserved.