Orang-Orang Malang
- Untuk Sapardi Djoko Damono
Merekalah orang-orang dijamah nasib malang
terhuyung di jalan kota sepanjang siang dan malam
atau mendekap di kaki lima atau kolong jembatan
matahari menyala, debu, oto-oto menderu
Merekalah orang-orang yang dijamah nasib malang
hidup baginya cuma bintar-bintar keparahan
terlempar dirinya dari kehidupan yang gairah
tertawanya tercekik di kerongkongan pecah
Merekalah orang-orang yang terusir dari tanahnya
dencar tembaga dan api yang marak mengancamnya
berarak memasuki kota dengan harapan berpendar di dada
disangka bisa melepas siksa di perut kota
Tapi kota bukanlah wajah yang ramah
menerimanya dengan tikaman belati yang parah
pandangan dari wajah yang luruh menatapku tajam
serasa menuntu dariku arti kemanusiaan
Merekalah orang-orang yang dijamah nasib malang
menjelujuri liku-liku kota bergumul nestapa yang sendu
adakah tangan akan belas mengulurkan kasih sayang
pandangannya yang pilu telah merapuh hatiku
Sumber: Sepi yang Menyekap Dingin Kian Mengendap (2002)
Analisis Puisi:
Dalam khazanah puisi sosial di Indonesia, puisi "Orang-Orang Malang" karya Herman KS hadir sebagai suara lirih yang menggugah kesadaran. Mengikuti jejak penyair besar seperti Sapardi Djoko Damono yang kerap menyelami kerinduan dan keberadaan manusia dengan cara halus, Herman KS mengambil jalur puitik yang tegas namun empatik. Puisi ini menggambarkan realitas orang-orang kecil yang hidup di pinggiran kota dan terpinggirkan oleh sistem sosial yang keras dan tak acuh.
Dengan struktur lima bait berisi empat baris per bait, puisi ini menjadi potret sosial yang jujur dan getir. Bukan sekadar narasi kemiskinan, melainkan juga gugatan halus tentang arti kemanusiaan yang mulai pudar di tengah hiruk-pikuk kota modern.
Tema
Puisi ini memiliki tema utama tentang ketimpangan sosial dan penderitaan kaum marginal. Herman KS menyoroti kehidupan mereka yang dijamah “nasib malang”—orang-orang miskin kota yang terusir dari tanahnya, yang hidup di kolong jembatan, kaki lima, atau pinggir jalan, namun tetap mencoba bertahan dalam kota yang tidak bersahabat.
Tema lain yang mengemuka adalah kritik sosial dan pengingatan terhadap nurani kemanusiaan. Penyair tampak mengajak pembaca untuk merenungi peran kita sebagai sesama manusia ketika berhadapan dengan mereka yang menderita.
Puisi ini bercerita tentang nasib orang-orang miskin dan terusir dari desa atau tanah kelahiran mereka, yang kemudian mencari harapan di kota besar. Namun, yang mereka temui bukanlah kehidupan yang membaik, melainkan penderitaan baru: kota menolak mereka dengan kekerasan simbolik dan nyata.
Para “orang malang” itu tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga batin—tertawa yang “tercekik di kerongkongan pecah”, mata yang “pilu”, pandangan yang menuntut arti kemanusiaan. Kisah ini menjadi semacam elegi untuk kehidupan yang tak adil dan penuh luka.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah sindiran sosial terhadap sistem kota atau masyarakat modern yang tidak inklusif. Mereka yang tidak berdaya seakan-akan tidak berhak atas tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup, atau bahkan pengakuan sebagai manusia seutuhnya.
Ada juga makna spiritual dan moral: bahwa sebagai manusia, kita seharusnya peka terhadap penderitaan orang lain. Kata-kata seperti “pandangan yang luruh menatapku tajam / serasa menuntut dariku arti kemanusiaan” menyiratkan bahwa keberadaan orang-orang malang itu sebenarnya adalah cermin bagi kita sendiri—apakah kita masih memiliki hati dan kepedulian.
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang menonjol dalam "Orang-Orang Malang" adalah:
- Diksi: Kata-kata seperti "terhuyung", "dijamah", "terlempar", "tikaman", dan "bergumul nestapa" menciptakan kesan derita dan ketidakberdayaan.
- Pengulangan: Frasa tersebut diulang sebagai semacam refrain, mempertegas penderitaan mereka dan membentuk struktur retoris yang kuat.
- Suara lirikal: Penyair memakai sudut pandang orang pertama di bait keempat, menciptakan kedekatan emosional dengan pembaca.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa muram, getir, dan penuh kepedihan. Kota yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menjadi tempat baru penderitaan. Debu, deru oto (mobil), kolong jembatan, hingga pandangan tajam orang-orang malang menghadirkan suasana keras, penuh luka, dan sepi. Kota digambarkan sebagai ruang tanpa empati, penuh peluru sosial yang membunuh pelan-pelan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional:
- Visual: “terhuyung di jalan kota sepanjang siang dan malam”, “mendekap di kaki lima atau kolong jembatan”, “berarak memasuki kota” — menghadirkan potret nyata kehidupan jalanan.
- Auditif: “oto-oto menderu”, “tertawanya tercekik”, “dencar tembaga dan api” — menciptakan kebisingan dan kekerasan kota.
- Kinestetik: “terhuyung”, “menjelujuri liku-liku kota” — memberi gambaran gerak tubuh yang kelelahan dan tanpa arah.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan bahwa penderitaan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga sosial dan eksistensial.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “nasib malang”, “tikaman belati”, “siksa di perut kota” – menyiratkan penderitaan struktural dan kekerasan sistemik tanpa menyebutnya secara literal.
- Personifikasi: “kota bukanlah wajah yang ramah” – kota digambarkan seolah manusia yang mampu menolak atau menyakiti.
- Simbolisme: “matahari menyala, debu, oto-oto menderu” – simbol dari kerasnya kehidupan kota yang tak peduli pada yang lemah.
- Repetisi: Pengulangan frasa “Merekalah orang-orang yang dijamah nasib malang” menciptakan efek dramatik dan memperkuat empati pembaca.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan untuk melihat orang-orang miskin dan terusir dengan mata hati. Mereka bukan hanya statistik atau “bayangan” di pinggir jalan, melainkan manusia utuh yang patut mendapat tempat dalam ruang kemanusiaan kita.
Puisi ini juga menyampaikan pesan moral: bahwa sebuah kota atau peradaban tidak akan pernah benar-benar maju jika membiarkan sebagian warganya hidup dalam penderitaan. Kita semua diminta menjawab satu pertanyaan penting: masih adakah arti kemanusiaan dalam diri kita?
Puisi "Orang-Orang Malang" karya Herman KS adalah puisi sosial yang lugas sekaligus menyentuh. Dengan tema ketimpangan dan penderitaan, puisi ini bercerita tentang mereka yang terusir dan tak dianggap. Melalui makna tersirat yang mendalam dan unsur puisi yang kuat, puisi ini mengajak kita untuk menyimak realitas sosial yang sering kita abaikan.
Dengan penggunaan imaji dan majas yang menggugah, serta suasana kota yang keras dan tidak ramah, puisi ini berdiri sebagai potret nurani tentang dunia yang kehilangan empatinya. Seperti Sapardi Djoko Damono yang sering menulis dengan kesederhanaan namun menyayat, Herman KS juga mengingatkan kita bahwa kemanusiaan bukanlah konsep abstrak, melainkan tindakan nyata—seperti mengulurkan tangan kepada orang-orang malang yang menatap kita dengan mata penuh tanya.
Puisi: Orang-Orang Malang
Karya: Herman KS
Biodata Herman KS:
- Herman KS lahir pada tanggal 9 Oktober 1937 di Medan.