Analisis Puisi:
Puisi "Pada Dua Tiga Juli" karya Abdul Wachid B.S. adalah karya puitik yang memadukan keintiman personal dengan simbolisme waktu, alam, dan spiritualitas cinta. Dengan gaya bahasa yang lembut, kontemplatif, dan metaforis, puisi ini membawa pembaca menyelami dunia batin penyair pada momen penting yang dikaitkan dengan tanggal simbolik: dua tiga Juli. Sosok bernama "Henni" disebut berulang kali, memperkuat kesan bahwa puisi ini juga merupakan ekspresi kasih sayang yang mendalam terhadap seseorang.
Tema
Tema utama puisi ini adalah cinta yang mendalam dan transendental, disertai dengan harapan akan kesetiaan dan keteguhan dalam menjalani kehidupan bersama. Ada juga tema waktu sebagai simbol peristiwa penting, serta kerinduan dan refleksi emosional terhadap perjalanan cinta yang telah (atau akan) dimulai.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa setiap hubungan yang tulus membutuhkan kepercayaan dan pengorbanan, meskipun jalan hidup mungkin tidak selalu lurus dan pasti. Tanggal “dua tiga Juli” menjadi metafora untuk momen spesial yang mengubah arah hidup penyair. Sosok "Henni" hadir sebagai lambang cinta, harapan, bahkan spiritualitas, yang mengantar penyair ke gerbang kehidupan baru yang penuh makna.
Frasa seperti “bulan tak lagi menanti” atau “dan hidup baru saja dimulai” menandakan bahwa cinta telah menemukan wujudnya, bahwa pertemuan atau penyatuan telah terjadi — bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan cinta yang mencapai titik penting, sebuah momen transformasi yang terjadi pada tanggal simbolik (dua tiga Juli). Dari menanti lonceng berdentang, menerbangkan merpati, hingga akhirnya hidup dimulai kembali, penyair menggambarkan proses spiritual dan emosional yang dilewati bersama seorang kekasih. Tidak hanya bercerita tentang hubungan dua insan, puisi ini juga menyiratkan refleksi akan makna kesetiaan, keteguhan hati, dan pencarian makna sejati dalam cinta.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini bersifat melankolis namun optimistis, penuh harapan dan kesadaran akan waktu, serta romantis dan sakral. Lonceng yang berbunyi, rembulan yang menjadi melati, dan metafora perjalanan menciptakan kesan bahwa cinta bukan hanya hasrat, tetapi juga perjalanan spiritual yang menantang dan menenteramkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa cinta sejati membutuhkan kepercayaan, kesetiaan, dan pemahaman yang dalam, bahkan ketika jalannya berkelok. Penyair mengajak pembaca untuk menyadari bahwa hubungan bukan hanya soal kebersamaan, tapi juga soal pertumbuhan pribadi dan spiritual. Kepercayaan adalah fondasi, tetapi setia membutuhkan keputusan pada siapa ia ditaruhkan. Penyair juga menekankan bahwa waktu memiliki makna—bukan sekadar tanggal, tapi momentum yang bisa menjadi gerbang menuju kehidupan baru.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan simbol waktu, yang memperkuat nuansa emosional dan reflektif:
Imaji pendengaran:
- “lonceng akan bunyi dua dua kali”, “lonceng berkeloneng” → suara lonceng menjadi simbol waktu, peristiwa sakral, dan perubahan hidup.
Imaji visual:
- “wajah rembulan menjadi melati” → menggambarkan keindahan cinta dan penyatuan dua simbol feminitas.
- “merpati putih telah diterbangkan” → simbol perdamaian, kebebasan, dan niat baik dalam cinta.
Imaji gerak dan jarak:
- “berjengkal jarak antara rambutmu ke ujung kaki”, “mencari inti tak juga sampai” → menunjukkan kedalaman dan kompleksitas cinta yang tak terjangkau hanya dengan raga.
Imaji spiritual:
- “lantaran pertemuan serasa surga”, “sebadan satu jiwa” → menggambarkan cinta sebagai pengalaman metafisik dan suci.
Majas
Puisi ini mengandung berbagai majas yang memperkaya makna dan keindahan bahasa:
Metafora:
- “wajah rembulan menjadi melati” → menyamakan wajah kekasih dengan bunga, menyiratkan keindahan dan kemurnian.
- “loncatan cahaya lepas jeruji” → menyimbolkan kebebasan, harapan baru, atau pencerahan setelah keterkungkungan.
- “bulan tak lagi menanti” → bulan sebagai simbol waktu dan harapan yang kini telah terpenuhi.
Personifikasi:
- “detik jantungmu padaku terpatri” → memberikan sifat manusia pada detik dan jantung seolah menjadi entitas hidup yang sadar akan cinta.
- “hidup baru saja dimulai” → hidup digambarkan sebagai sesuatu yang bisa dimulai ulang, penuh harapan.
Pertanyaan Retoris:
- “pada siapa ditaruhkan? (jangan tanya pada kabut)” → menggugah pemikiran tentang kesetiaan dan arah dalam hubungan, tetapi tidak memberi jawaban pasti.
Simile dan ironi halus:
- “kau akan di mata terus” dan “kau akan menjadi puisi” → dua kemungkinan dari hubungan yang berjalan lurus atau berkelok, menyiratkan bahwa bahkan hubungan yang tak ideal pun bisa menjadi sumber keindahan.
Puisi "Pada Dua Tiga Juli" karya Abdul Wachid B.S. adalah refleksi indah tentang cinta, waktu, dan spiritualitas hubungan manusia. Dengan metafora yang kuat, ritme yang tenang, dan nada yang kontemplatif, penyair membawa kita menyelami kedalaman perasaan dan momen istimewa yang mengubah segalanya. Tanggal dua tiga Juli bukan sekadar penanda waktu, tapi menjadi simbol awal kehidupan baru, di mana cinta akhirnya menemukan bentuknya: tak lagi sekadar mimpi, tapi sebadan satu jiwa. Sebuah puisi yang tak hanya mengajak kita merenung, tapi juga merasakan — dalam hening, detik, dan lonceng yang berdentang.
Karya: Abdul Wachid B. S.